Oleh Muhammad Salim At-Tohiry
Alhamdulillah, sekarang
sudah memasuki tanggal 20 Sya’ban, yang artinya kita sudah semakin dekat dengan
Ramadhan yang penuh berkah. Ya, tersisa 10 hari lagi. Semoga Allah memanjangkan
umur kita dan diberi kesempatan untuk meraup keuntungan akhirat di bulan
turunnya Al-Qur’an ini.
Tak bisa dipungkiri
ketika bicara bulan Ramadhan, maka kita akan begitu sering mendengar ayat
puasa. Ayat yang sudah tidak asing, sering dibacakan, diperdengarkan, bahkan
mungkin kita pun sudah menghafalnya. Adalah surah Al Baqarah ayat 185 yang
penulis maksud. Berikut penulis kutipkan teks dan terjemahnya;
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Tak ayal, setiap orang
beriman begitu semangat dalam menjalankan kewajiban puasa di bulan ini. Tak
peduli disaat puasa perut terasa perih karena kosong tak berisi. Kita juga
terlalu ambil pusing meski tak sahur, dan kita tetap berani ambil resiko
menjalan kefardhuan puasa di bulan Ramadhan. Apalagi kalau cuma ejekan temen,
itu tak menjadi pertimbangan sama sekali.
Saat ditanya, kenapa
mau melakukan itu padahal puasa itu kadang tak jarang membuat kepala pusing?
Sering jua membuat badan kita lemas tak bertenaga? Kenapa? Maka akan banyak
jawaban, dan dari semua jawaban akan ditemui satu jawaban besar, kita meyakini
bahwa itu adalah perintah Allah, dan perintah Allah tak boleh ditentang dan
wajib ditaati. Termasuk puasa Ramadhan.
Kita bahagia mendengar
jawaban itu, dan sangat senang ketika orang beramai-ramai membaca ayat Al
Qur’an dan mengamalkannya. Dan kita juga tahu bahwa tujuan puasa di bulan
Ramadhan –seperti tertera di dalam firman Allah— adalah agar kita menjadi
orang-orang yang bertaqwa. Karena manusia bertaqwa adalah manusia yang paling
mulia disisi Allah SWT diantara semua manusia dari suku dan bangsa yang telah
diciptakan oleh Allah SWT.
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
(QS. Al-Hujuurat: 13)
Taqwa yang Sebenarnya
Penggunaan kata taqwa
sudah sering kita dengar di dalam khutbah jum’at. Para khatib akan mengajak dan
menyeru para jemaah agar menjadi orang yang bertawqa, yakni menjadi orang yang
menjalan setiap perintah Allah dan menjauhi segala larangannya.
Dari pengertian
sederhana ini, ada dua sisi penting di dalam kata taqwa. Pertama, menjalankan
perintah Allah SWT, dan yang kedua adalah menjauhi setiap apa yang dilarang
oleh Allah SWT. Maka, tak bisa dikatakan bertaqwa orang yang tak mau
melaksanakan apa yang telah Allah perintahkan. Dan juga tak dikatakan bertaqwa
mereka yang menentang dan mengabaikan larangan Allah SWT. Karena taqwa itu
sendiri adalah konsekuensi dari keislaman kita, dimana islam menuntut kita
untuk pasrah dan tunduk kepada ketentuan Allah, dan karena kita adalah hamba
yang diciptakan dan hidup untuk beribadah kepada-Nya.
Penulis rasa, tak ada
seorang muslimpun yang menentang hal ini, dikarenakan ini sudah menjadi ma’lum min al-diini bi dharurah, sesuatu
yang diketahu secara umum oleh kaum muslimin. Lebih dari itu, Allah sendiri
yang menerangkan kepada Rasulullah SAW bahwa tidak dikatakan sebagai orang yang
beriman jika tak mau bertahkim, menjadikan perintah dan larangan Allah dan
Rasulnya sebagai standar dalam memutuskan suatu perkara.
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap
putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (QS.
An-Nisa’: 65)
Di dalam ayat ini,
begitu terang bagaimana keimanan tak bisa hanya sekedar pengakuan mulut semata,
namun ia menuntut kepada ketundukan dan kepatuhan kepada Allah beserta
Rasul-Nya. Penerimaan ini harus dengan kepasrahan dalam jiwa dengan sebenar-benar
pasrah.
Yang menjadi problem
saat ini adalah, pemahaman sebagian kaum muslimin terhadap perkara ini sudah
sedemikian rendah. Bahkan hampir-hampir tak mengenalnya lagi sebagai bagian
dari keimanan. Mereka mengambil sebagian dari syari’at Islam, menjalankan
perintah yang mereka mau jelankan, dan meninggalkan yang juga mereka ingin
tinggalkan. Jika mereka ingin melanggar perintah dan larangan Allah mudah saja
bagi mereka.
Tiga
Tipe Muslim Tidak Taat
Tentu bagi kita tak
serta merta langsung menyalahkan mereka salah –meski itu memang salah—, namun
harus kita pahami keadaan mereka terlebih dahulu apa sebabnya, baru kemudian
kita tentukan sikap kita kepada mereka. Menurut penulis, ada beberapa tiga tipe
dengan masing-masing alasan kaum muslimin menjadi melanggar perintah dan
larangan Allah.
- Mereka tidak tahu
Menurut penulis,
kelompok kaum muslimin yang tidak mengamalkan syari’at islam karena tidak tahu
hanyalah korban. Mereka sebenarnya adalah orang-orang yang begitu besar
cintanya kepada Allah, Rasul, dan Islam, hanya saja pengetahuan mereka terhadap
syari’at yang membuat mereka terhalang dari mengamalkan islam dengan sempurna.
Biasanya mereka adalah orang-orang yang nurut kepada tokoh dan pembesar serta
dianggap berkompeten dibidang agama.
Untuk kasus ini, yang
salah tentu saja mereka yang tahu tapi tak memberi tahu. Memahami keadaan
seharusnya, namun diam saja tak mengusahakan realisasinya. Yang salah adalah
kita, jika kita hanya diam tak melakukan apa-apa, dan penanggung dosa adalah
orang yang bisu tak bicara disaat ada sebagain saudaranya berada dalam ketidak
tahuan akan agama.
- Mereka tahu, hanya saja merasa tak mampu menjalankan.
Dengan berkelit lidah
mereka berhujjah bahwa Islam itu mudah, dan Allah tak membebani hukum diluar
batas kemampuan manusia. Golongan ini menganggap mereka tak salah karena punya
jaminan berupa ayat ke-286 dari surah Al-Baqarah. Di dalam ayat ini Allah
berfirman:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya.”
Apakah ayat ini salah?
Tentu saja tidak. Yang rusak itu cara memahaminya. Kesalahan paling mendasar dari
kelompok ini, mereka mengira batas kemampuan yang dimaksud adalah dalam
pandangan masing-masing manusia, sehingga ketika seseorang “merasa” tak mampu menurut
mereka maka tak mengapa untuk tak menjalankan apa yang seharusnya dilaksanakan.
Sebagai contoh, mereka
tidak mau meninggalkan riba’ karena itu adalah sumber pendapatan utama mereka,
kemudian beralasan, “kalau kami tinggalkan riba’, lalu kami makan apa?
Bagaimana dengan anak dan istri kami? Apa mau mereka kelaparan? Padahal islam
itu mudah, dan riba’ tidak mengapa jika hanya sedikit, lebih-lebih dalam keadaan terpaksa. Bukankah Allah tidak
membebani sesuatu di luar batas kemampuan hamba?”
Atau contoh lain,
seorang wanita yang tidak mengenakan jilbab memberi bantahan ketika dinasihati
untuk menutup auratnya, “saya sebenarnya ingin menutup aurat, hanya saja saya
belum siap. Saya tidak mampu untuk menanggung ejekan dari teman-teman, apalagi
kalau berjilbab akan membuat aktivitas saya terganggu. Dan ini menyulitkan.
Tidak berjilbabnya saya tidak bisa dikatakan salah, karena islam itu memberikan
kemudahan bagi penganutnya!”
Bisa pula, dengan dalil
Al Baqarah 286 itu kelompok ini menganggap tidak masalah melanggar sebagian
nash syara’ jika itu mendatangkan maslahat menurut akal mereka. Pemahaman yang
terakhir ini diwakili oleh kelompok pragmatis, menuhankan tujuan –meski baik—
dan menghalalkan segala cara demi mencapainya. Na’dzubillah min dzalik
Semua ini adalah
pemahaman yang keliru dan jauh dari kebenaran. Menjadikan akal manusia untuk
menentukan mampu atau tidaknya manusia dalam mengamalkan syara’ adalah sebuah
kekeliruan terbesar. Seharusnya mereka memahami bahwa setiap perintah dan
larangan yang telah Allah turunkan itu pasti bisa dilaksanakan. Tentu saja
Allah sudah mengukur dan mengetahu kemampuan manusia, sehingga Allah menetapkan
syari’at yang bisa ditunaikan oleh manusia.
Allah menyuruh kita
berpuasa, itu artinya kita mampu untuk berpuasa. Allah menyuruh kita shalat,
hal ini menunjukan manusia itu kuasa untuk menegakan shalat. Atau, Allah
mewajibkan manusia untuk tidak memakan yang haram juga karena itu berada dalam
kemampuan manusia. Begitu seharusnya memahami perintah dan larangan Allah.
Adapun kondisi manusia yang dianggap tidak mampu dan berhak memperoleh rukshah
(keringan) pun juga harus merujuk kepada ketentuannya Allah SWT. Bukan akal manusia.
- Mereka tahu, mereka juga merasa mampu, hanya saja menurut mereka sebagian syari’at Islam sudah tak relevan dengan zaman.
Mereka menganggap Islam
hanya sebagai ajaran yang lebih mengedepankan spritualitas, hanya mengajarkan
cinta, kasih, berbudi pekerti. Adapun ayat dan hadits yang berbicara dalam
ranah praktis dan dianggap bertentangan dengan semangat keberagaman,
kebangsaan, kemanusiaan, dan kesetaraan,
harus ditafsir ulang agar sesuai dengan yang diinginkan.
Inilah kelompok sekuler
dan liberal dari kalangan kaum muslimin. Pada hakikatnya kelompok yang berpaham
seperti ini adalah kaum munafikin yang berusaha merusak islam, mulai pondasi
hingga cabangnya. Ketika islam mengharamkan orang kafir sebagai pemimpin kaum
muslimin, maka mereka ada di garda terdepan untuk menentang dan mereduksi
pamahaman kaum muslimin. Begitu pula dalam kasus adanya aliran sesat, maka
golongan ini akan membela dan mendukung eksistensi kesesatan dengan alasan
kebebasan beragama dan hak asasi manusia. Akhirnya kemudian, setiap yang
menyeru manusia untuk taat kepada Allah disetiap tempat dan waktu, tak
pilih-pilih terhadap nash, dianggap sebagai aliran keras, fundamentalis, radikal, dan istilah-istilah lain.
Sebenarnya ada satu lagi
golongan yang mereka tahu, mereka merasa mampu, namun karena nafsu saja mereka
melanggar perintah Allah, dan mereka sadar bahwa mereka berdosa. Untuk golongan
ini, hanya hidayah Allah lah yang akan menyelamatkan mereka.
Menggapai
Ridha Allah dengan Bertaqwa
Seperti yang telah
penulis uraikan, bahwa Allah lah penentu segala sesuatu. Allah yang menciptakan
manusia, alam semesta dan kehidupan ini, dan Allah Maha Mengetahui apa yang
baik dan buruk bagi manusia. Begitu pula, Allah –dengan kebijaksanaan-NYa—
menetapkan suatu perintah dan larang bagi manusia karena hanya Dia yang
mengerti tentang manusia. Keyakinan ini harus ditanamkan dalam keimanan kita, jangan
sampai tidak.
Keimanan kita kepada
Allah, Al-Qur’an dan Rasul, mengharuskan kita untuk menerima begitu saja setiap
yang bersumber dari ketiganya. Karena memang iman menuntut yang demikian.
Keimanan kepada syari’at Islam tidak cukup dilandaskan kepada akal semata,
namun juga harus disertai sikap penyerahan total dan penerimaan secara mutlak
terhadap segala yang datang dari sisi-Nya. (lihat kembali Surah An-Nisa’ ayat
65)
Ketika seorang muslim
telah memahami seperti ini, maka ia akan memecahkan segala problem yang
dihadapinya dengan syari’at Islam sehingga ia memahami bahwa islam tak sekedar
“agama masjid”, namun juga islam sebagai sebuah idelogi. Dimana ia menjadikan
syara’ sebagai panduan dalam setiap aktivitas manusia. Karena ia tahu, islam bukan sekedar informasi tanpa implementasi.. Pandangan semacam inilah
yang menjadi dasar berdirinya hadharah
islam, suatu peradaban yang berasaskan kepada mabda’ islam, sebuah kehidupan yang unik.
Tolok ukur perbuatan
seorang mukmin adalah ketentuan Allah. Ia sami’na
wa atha’na terhadap yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya. Dan ketaatan ini
akan diwujudkan dalam setiap keadaannya, dimana saja dan kapan saja. Karena ia
tahu, Allah Maha Melihat sehingga ia tak berani melanggar syara’ yang Allah
berikan.
Orang beriman akan
memandang hidup adalah dalam rangka menabung pahala yang akan dicairkan kelak
di hari kiamat. Karena ia tahu Allah menciptakan manusia hanya untuk beribadah.
Ia mengerti benar makna ibadah dan bagaimana wujud ibadah itu tampak dalam hidupnya.
Kaum Mukminin tak pilah pilih terhadap nash syara’, semua diambil dan
dilaksanakan, karena ia juga tahu bahwa kufur kepada sebagian ayat di dalam
kitab suci, sama saja dengan kufur kepada sebagian ayat yang lain.
Dia akan menjalankan
puasa Ramadhan dengan penuh semangat, karena telah jelas di dalam Al-Qur’an
kewajibannya, serta telah banyak hadits yang menggambarkan keutamaannya. Begitu
pula, tidak akan berani orang beriman untuk tarkus
shalah karena ia yakin bahwa shalat perintah dari Allah SWT. Bagitu pula
seharusnya, seorang mukmin akan menjauhi riba’, tak akan mendekati –apalagi
melakukan— zina, dan bersama-sama kaum muslimin yang lain melakukan amar ma’ruf dan nahi ‘anil mungkar, serta bersama penguasanya ia berjihad memerangi
orang kafir, menjalankan hukuman potong tangan bagi pencuri, qishash bagi pembunuh, rajam bagi
pezina, dan bersatu di bawah satu bendera dan negara “laa ilaha illallah”.
Penutup
Semua hukum-hukum Islam
akan ditegakan oleh orang beriman, baik itu menyangkut urusan dirinya dengan
Allah, dengan dirinya sendiri, ataupun menyangkut urusan dirinya dengan orang
lain. Ia akan memperjuangkan tegaknya hukum Allah di muka bumi, meski harus
mempertaruhkan nyawa, apalagi jika hanya sekedar uang dan pikiran. Karena ia
sangat sadar, apa yang ada dan dimiliki di dunia ini adalah fana. Ssedangkan semua
yang dilakukan pernah di lakukan manusia dunia akan diminta pertanggung
jawaban.
Dan orang bertaqwa
sangat takut jika Allah murka kepadanya, tidak ridha kepadanya, karena
keberanian dirinya melalaikan dan mengabaikan syari’at Islam saat hidup di
dunia. Tak mau menuntut ilmu, tak mau mengamalkan, tak mau mendakwahkan,. Padahal
keridhaan Allah adalah puncak kebahagian bagi orang beriman lagi bertaqwa.
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya
mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama
yang lurus. Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan
orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di
dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. Sesungguhnya orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.
Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga 'Adn yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka
dan merekapun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang
yang takut kepada Tuhannya.” (TQS.
Al-Bayyinah: 5-8)
Dan dengan keimanan dan
amal shalih yang menjadi habbits, kita semua berharap termasuk menjadi bagian orang-orang terbaik
yang diridhoi di sisi Allah SWT dan diberi balasan surge ‘Adn, bukan sebaliknya, menjadi seburuk-buruk makhluk yang kekal di
dalam neraka karena kufur dan tak patuh kepada Allah. Semoga! []
0 komentar :
Posting Komentar
Ikhwah fillah, mohon dalam memberikan komentar menyertakan nama dan alamat blog (jika ada). Jazakumullah khairan katsir