Oleh Agus Trisa
Islam adalah sebuah agama yang di dalamnya tidak hanya terdapat
hubungan antara manusia dengan Allah, tetapi juga mengatur hubungan
dirinya dengan orang lain. Di dalam Islam juga terdapat fikrah
(pemikiran) dan thariqah (metode penerapan fikrah). Realitas masyarakat
saat ini adalah masyarakat yang beragama Islam tetapi menggunakan
ideologi sekuler.
Sehingga bisa dipastikan bahwa orang-orang yang setiap hari rajin salat, zakat, sedekah, zikir, menunaikan haji, dan lain sebagainya kebanyakan adalah orang-orang yang tidak menyetujui politik Islam, ekonomi Islam, sistem sosial Islam, politik luar negeri Islam, dan lain sebagainya. Akibatnya adalah terjadinya ketimpangan sosial. Perbuatan tidak menerapkan syariat Islam itulah yang telah menyebabkan masyarakat jatuh ke dalam ketimpangan sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya.
Berdasarkan realitas tersebut, ada para aktivis muslim yang merasa “peduli’ terhadap kondisi tersebut. Tetapi ada semacam kebingungan, bagaimana mengubah realitas yang tidak Islami itu menjadi sesuatu yang Islami. Kemudian dipikirkanlah berbagai cara sehingga menghasilkan sebuah uslub amar makruf nahi munkar dengan menyatu ke dalam sistem. Perbuatan menyatu ke dalam sistem tersebut berangkat dari asal pemikiran yang sederhana.
Para aktivis itu pun kemudian berpikir bahwa: bagaimana mengubah realitas jika kita tidak masuk ke dalam sistem? Bagaimana akan mengubah realitas jika tidak diubah dari dalam? Mereka juga berpikir: Benar, Islam harus diterapkan menyeluruh, tetapi jika tidak bisa menyeluruh apakah harus meninggalkan semua syariat Islam itu alias tidak berbuat apa-apa?
Pemikiran-pemikiran seperti itu terus mengacaukan para aktivis sehingga menjadi sesuatu yang menyulitkan untuk berpikir jernih. Lalu dibuatlah pemikiran-pemikiran yang khas, yaitu menggunakan ‘kaidah daripada’. Para aktivis itu berpikir: ‘daripada tidak berbuat apa-apa, mendingan menyatu ke dalam sistem agar bisa berbuat apa-apa’, ‘daripada hanya berwacana tentang penegakan Islam, mendingan bekerja nyata’, ‘daripada berwacana tentang kesejahteraan rakyat, mendingan bekerja untuk kesejahteraan rakyat’, dan sebagainya.
Ada juga yang berpemikiran: ‘daripada dipimpin oleh orang kafir, mendingan dipimpin oleh orang yang beragama Islam’, ‘daripada dipimpin orang yang sekulernya banyak, mendingan dipimpin oleh orang yang sekulernya sedikit’, ‘daripada dipimpin orang laki-laki kafir, mendingan dipimpin perempuan tapi muslim’, dan sebagainya. Kaidah-kaidah sejenis selalu mengacaukan pra aktivis sehingga mereka pun terjebak di dalamnya. Merasa kesulitan keluar, dan malu untuk cabut dari pemikirannya, maka ditanggalkanlah berbagai atribut perjuangan Islam dan diadopsilah pragmatisme politik sekuler dengan menyatukan diri ke dalam sistem sekuler tersebut. Masya Allah..
Seolah-olah para aktivis itu dihadapkan pada sesuatu yang sama-sama buruk. Seolah-olah masuk ke dalam sistem itu buruk, dan berada di luar sistem itu juga buruk, tetapi keburukan di luar sistem itu lebih besar sehingga lebih memilih masuk ke dalam sistem yang dinilai keburukannya lebih kecil.
Ada juga asumsi-asumsi lain seperti berikut: Indonesia adalah negara sekuler. Agar jangan sampai dikuasai orang-orang yang sekulernya banyak, mendingan masuk ke sistem sekuler itu dan ‘menyekulerkan diri’ agar rakyat memilih dirinya yang lebih sedikit sekulernya.
Padahal, tidak jelas di dalam pandangan mereka: yang bahaya itu yang bagaimana dan yang tidak bahaya itu yang bagaimana. Mereka sebenarnya tidak memiliki kejelasan akan hal tersebut. Sehingga muncullah asumsi-asumsi yang kabur tentang berbagai macam definisi yang tidak sesuai dalam pandangan syariat.
Walhasil, pragmatisme menjadi sesuatu yang akan menjadikan para aktivis menjadi orang-orang yang mudah terbeli, bahkan membeli. Mereka mudah untuk dibeli orang lain, mudah ditawar pihak lain. Inilah pragmatisme politik itu. Bahkan kadang-kadang pragmatisme politik ini dibumbui dengan berbagai macam dalil atau ‘dalil’ yang mereka anggap bisa memperkuat argumen pragmatisme politik mereka.
Beberapa ‘dalil’ itu antara lain kaidah syara’ yang sangat terkenal, yaitu:
1) Idzaa ta’aarodho syarrooni au dhororooni dafa’a asyaddadh dhororoini wa a’zhomasy syarroini
(Jika ada dua keburukan atau kemadharatan bertemu maka yang lebih berat madharatnya dan lebih besar keburukannya harus dihilangkan)
2) Idzaa ta’aarodho mafsadataani ruu’iya a’ zhomuhumaa dhororon bi irtikaabi akhoffihimaa
(Jika ada dua kemafsadatan bertemu maka yang harus diperhatikan adalah yang lebih besar mafsadatnya, dengan melaksanakan yang lebih ringan-kemafsadatannya)
Kaidah yang atas, pada intinya memerintahkan kita agar kita memilih kemadharatan yang lebih kecil daripada kita mengalami kemadharatan yang lebih besar. Asumsinya begini: berjuang di dalam sistem kufur merupakan suatu kemudharatan. Tetapi ketika orang-orang yang tidak berpihak pada Islam berkuasa dalam sistem kufur ini, maka ini merupakan kemadharatan yang lebih besar daripada kemadharatan yang pertama. Sehingga, berdasarkan hal tersebut, mereka (orang-orang pragmatis) lalu menerapkan kaidah syara’ di atas. Asumsinya: dengan berjuang di dalam sistem kufur maka telah memilih kemudharatan atau kemafsadatan yang lebih kecil daripada kemudharatan/kemafsadatan yang kedua.
Ada juga kaidah yang lain yang juga digunakan mereka (orang-orang pragmatis), yaitu sebagai berikut.
3) Maa laa yudroku kulluhu laa yutroku jalluhu
(Apa-apa yang tidak bisa diraih semuanya jangan ditinggalkan semuanya)
Asumsi orang-orang pragmatis begini: Kita (orang Islam) ingin meraih semua kekuasaan di negeri ini untuk diterapkan syariat Islam. Tetapi tidak bisa, sebab dihalang-halangi orang-orang yang tidak berpihak pada Islam. Dengan berdasarkan kaidah di atas, kita (umat Islam) jangan meninggalkan kekuasaan semuanya, paling tidak, ada satu atau dua kekuasaan yang bisa dipegang orang-orang yang memperjuangkan syariat Islam.
Demikianlah. Pragmatisme politik diberi ‘lipstik’ kaidah-kaidah syara’ untuk metode ‘dakwah’ mereka. Lalu bagaimana sebenarnya mendudukkan kaidah-kaidah di atas? Apakah benar demikian? Jika iya, berarti kaidah itu sah (legal) untuk dijadikan alasan pragmatisme politik. Apakah demikian?
Hakikat Dhoror
Dalam kaidah pertama dan kedua, disebutkan istilah dhoror. Apa yang dimaksud dengan dhoror itu? Menurut ulama ushul yang banyak membuat berbagai kaidah-kaidah syara’, yang dimaksud dengan dhoror adalah: Sampainya batas ketika sesuatu yang dilarang itu diperoleh, maka akan menemui kecelakaan atau kebinasaan atau nyaris binasa. Atau bisa juga bermakna: Suatu keterpaksaan yang sangat mendesak yang dikhawatirkan akan menimbulkan kebinasaan atau kematian. Pemahaman ini bisa kita lihat dalam kitab Asybah wan Nazhooir karya Imam As Suyuthi.
Cakupan dhoror itu ada dua aspek: pertama, memang secara jelas ditunjukkan bahayanya (baik oleh benda/perbuatan); dan yang kedua, dikatakan dhoror karena ada qarinah atau indikasi yang menyertainya. Contoh pada aspek yang pertama bisa terjadi pada benda dan perbuatan, tidak dikhususkan pada salah satunya. Pada benda, misalnya racun. Sedangkan pada perbuatan, misalnya seseorang yang membongkar rahasia kekuatan pasukan Islam (dalam suatu medan jihad) ketika dirinya ditawan musuh. Keduanya sama-sama merupakan hal yang berbahaya.
Contoh pada aspek yang kedua: mata uang dollar itu mubah, halal zatnya (bendanya). Tetapi bisa haram memperjualbelikannya karena akan membahayakan stablitas keuangan negara. Ada lagi, seseorang yang memberikan informasi tentang usaha-usaha dakwah kepada orang kafir. Pada dasarnya hukum memberikan informasi tentang aktivitas dakwah itu mubah, tetapi tetap saja tidak dibenarkan, karena bisa menggerus dakwah Islam.
Jadi, dhoror itu bisa menimpa diri sendiri, bisa juga menimpa orang lain. Ingat, sekali lagi batasan dhoror adalah sampainya seseorang atau orang lain dalam kebinasaan atau kematian atau nyaris binasa seperti kelumpuhan dan lain sebagainya.
Pertanyaannya:
Apakah kalau kaum muslimin tidak berkecimpung di politik praktis maka akan mengakibatkan kaum muslimin di Indonesia ditimpa berbagai dhoror? Atau kaum muslimin di Indonesia akan binasa atau mati seluruhnya? Atau kaum muslimin akan mengalami kondisi yang mengakibatkan diri mereka tersiksa secara fisik hingga mengalami kelumpuhan atau kesakitan yang luar biasa?
Jawabannya, belum pasti. Karena belum pasti, maka kaidah di atas tidak bisa diberlakukan.
Jadi, jika seseorang tidak berada dalam konteks dhoror tersebut, maka dalam konteks seperti ini tidak ada pilihan: mana di antara keduanya yang paling ringan dhoror-nya. Bahkan cara ini tergolong cara yang bodoh dalam menghadapi dan menyelesaikan persoalan.
Misalnya, lokaslisasi pelacuran adalah haram. Keberadaan lokalisasi pelacuran itu dilegalkan dengan alasan menghindari dhoror yang lebih besar, yaitu terjadinya seks liar atau transasksi seks bebas. Atau melegalkan ATM Kondom dengan alasan menghindari dhoror yang lebih besar, yaitu tersebarnya virus HIV/AIDS. Penerapan kaidah syara’ seperti ini jelas keliru, bodoh, dan serampangan. Sebab, kedua dhoror tersebut merupakan bentuk pelanggaran syariat, yang sebenarnya bisa dihindari dan tidak engharuskan memilih salah satu di antara keduanya. Bahkan menghilangkannya pun bisa.
Jadi, tidak bisa kita mengatakan: daripada dikuasai orang-orang yang sekulernya banyak, mendingan dikuasai orang-orang yang sekulernya sedikit. Atau: daripada virus HIV/AIDS tersebar, mendingan legalkan ATM Kondom atau lokalisasi pelacuran. Atau yang lainnya.
Melaksanakan Kewajiban yang Sukar Dilaksanakan
Berkaitan dengan kaidah syara’ yang kedua, yaitu: jika tidak bisa diraih semuanya, maka jangan ditinggalkan semuanya, maka jawabannya adalah sebagai berikut.
Kaidah: maa laa yudroku kulluhu laa yutroku jalluhu, adalah sebuah kaidah kaidah syara’ yang memerintahkan kita melaksanakan kewajiban, karena kewajiban itu memang wajib dilaksanakan meski kewajiban itu memang sukar untuk dilakukan. Sehingga, apa pun yang terjadi, kewajiban syara’ itu memang harus dilaksanakan, sekalipun sulit. Mengapa? Sebab, sukarnya melaksanakan kewajiban tidak akan menggugurkan kewajiban secara keseluruhan.
Menurut Imam As Suyuthi, kaidah syara’ ini digali dari hadis Rasulullah saw., “Idzaa amartukum bi amrin fa’tu minhu mastaho’tum (Jika aku memerintahkan kepada kalian suatu urusan/perintah, tunaikanlah urusan/perintah itu sesuai dengan kemampuan kalian).”
Oleh karena itu, maksud dari kaidah syara’ tersebut adalah bahwa kewajiban itu memang harus ditunaikan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Artinya, kita harus mengerahkan kekuatan semaksimal mungkin untuk melaksanakan kewajiban tersebut, sekalipun sulit dilakukan.
Penerapan kaidah ini, misalnya sebagai berikut.
Misalnya kita dipenjara. Padahal waktu salat tiba. Sementara itu kita tidak diperbolehkan keluar untuk mengambil air wudhu. Maka kondisi itu tidak akan bisa menghapus kewajiban seseorang untuk mendirikan salat. Sebab, tidak bisa dilakukannya wudhu atau tayamum tetap tidak bisa menggugurkan kewajiban salat. Artinya, jika tidak bisa melaksanakan kewajiban salat secara ideal, jangan ditinggalkan semua (kewajiban salat itu). Tetapi, tetaplah salat, sekalipun sulit dilakukan atau dengan kondisi yang tidak ideal.
Atau begini: ketika seseorang baru masuk Islam dan belum menguasai bacaan-bacaan salat, dia tetap wajib salat meskipun dia harus dipandu oleh orang, dan tetap berusaha untuk menghafalnya.
Kaidah ini tidak bisa diberlakukan pada: keterlibatan kaum muslim di pemerintahan kufur. Sebab, masih ada kemungkinan lain untuk meraih kekuasaan, tanpa harus terlibat di dalamnya. Yaitu meraih kekuasaan dengan jalan umat, bukan parlemen atau melalui sistem kufur tersebut. Jadi, konteks yang ditinggalkan bukan sistem kufurnya, tetapi cara untuk meraih kekuasaan tersebut.
Artinya: Jika tidak bisa melaksanakan semua kewajiban syariat (secara kaffah), jangan ditinggalkan semua kewajiban itu, sebab masih ada kewajiban lain yang bisa ditunaikan, yaitu meraih kekuasaan dengan jalan umat.
Dikatakan meninggalkan semuanya (meninggalkan upaya meraih kekuasaan), jika seseorang berdiam diri dan tidak melakukan apapun. Ini dikatakan meninggalkan semua upaya untuk meraih kekuasaan.
Jadi, maknanya bukan: karena kita tidak bisa meraih semua kekuasaan, maka harus mengambil salah satu kekuasaan.
Ini tidak benar. Sehingga penggunaan kaidah-kaidah di atas sebagai ‘dalil’ untuk memperkuat argumen pragmatisme politik, jelas sesuatu yang serampangan.
Dalam pandangan Hizbut Tahrir, dalil syariat itu hanya ada empat, yaitu Alquran, Sunnah, Ijma’ sahabat, dan qiyas syar’i. Sedangkan yang lain, seperti syar’u man qablana (syariat-umat-umat terdahulu), mazhab sahabat, ‘urf, mashalih mursalah, dan sebagainya bukanlah dalil syariat, tetapi sesuatu yang dianggap dalil padahal bukan dalil. Apalagi kaidah syara’, jelas itu bukan dalil. Sebab, pada dasarnya kaidah syariat adalah setiap kadiah yang digali dari dalil-dalil syariat.
Jadi, penerapan kaidah-kaidah di atas untuk memperkuat argumen pragmatisme politik, jelas tidak tepat.
Wallahu a'lam..
Sehingga bisa dipastikan bahwa orang-orang yang setiap hari rajin salat, zakat, sedekah, zikir, menunaikan haji, dan lain sebagainya kebanyakan adalah orang-orang yang tidak menyetujui politik Islam, ekonomi Islam, sistem sosial Islam, politik luar negeri Islam, dan lain sebagainya. Akibatnya adalah terjadinya ketimpangan sosial. Perbuatan tidak menerapkan syariat Islam itulah yang telah menyebabkan masyarakat jatuh ke dalam ketimpangan sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya.
Berdasarkan realitas tersebut, ada para aktivis muslim yang merasa “peduli’ terhadap kondisi tersebut. Tetapi ada semacam kebingungan, bagaimana mengubah realitas yang tidak Islami itu menjadi sesuatu yang Islami. Kemudian dipikirkanlah berbagai cara sehingga menghasilkan sebuah uslub amar makruf nahi munkar dengan menyatu ke dalam sistem. Perbuatan menyatu ke dalam sistem tersebut berangkat dari asal pemikiran yang sederhana.
Para aktivis itu pun kemudian berpikir bahwa: bagaimana mengubah realitas jika kita tidak masuk ke dalam sistem? Bagaimana akan mengubah realitas jika tidak diubah dari dalam? Mereka juga berpikir: Benar, Islam harus diterapkan menyeluruh, tetapi jika tidak bisa menyeluruh apakah harus meninggalkan semua syariat Islam itu alias tidak berbuat apa-apa?
Pemikiran-pemikiran seperti itu terus mengacaukan para aktivis sehingga menjadi sesuatu yang menyulitkan untuk berpikir jernih. Lalu dibuatlah pemikiran-pemikiran yang khas, yaitu menggunakan ‘kaidah daripada’. Para aktivis itu berpikir: ‘daripada tidak berbuat apa-apa, mendingan menyatu ke dalam sistem agar bisa berbuat apa-apa’, ‘daripada hanya berwacana tentang penegakan Islam, mendingan bekerja nyata’, ‘daripada berwacana tentang kesejahteraan rakyat, mendingan bekerja untuk kesejahteraan rakyat’, dan sebagainya.
Ada juga yang berpemikiran: ‘daripada dipimpin oleh orang kafir, mendingan dipimpin oleh orang yang beragama Islam’, ‘daripada dipimpin orang yang sekulernya banyak, mendingan dipimpin oleh orang yang sekulernya sedikit’, ‘daripada dipimpin orang laki-laki kafir, mendingan dipimpin perempuan tapi muslim’, dan sebagainya. Kaidah-kaidah sejenis selalu mengacaukan pra aktivis sehingga mereka pun terjebak di dalamnya. Merasa kesulitan keluar, dan malu untuk cabut dari pemikirannya, maka ditanggalkanlah berbagai atribut perjuangan Islam dan diadopsilah pragmatisme politik sekuler dengan menyatukan diri ke dalam sistem sekuler tersebut. Masya Allah..
Seolah-olah para aktivis itu dihadapkan pada sesuatu yang sama-sama buruk. Seolah-olah masuk ke dalam sistem itu buruk, dan berada di luar sistem itu juga buruk, tetapi keburukan di luar sistem itu lebih besar sehingga lebih memilih masuk ke dalam sistem yang dinilai keburukannya lebih kecil.
Ada juga asumsi-asumsi lain seperti berikut: Indonesia adalah negara sekuler. Agar jangan sampai dikuasai orang-orang yang sekulernya banyak, mendingan masuk ke sistem sekuler itu dan ‘menyekulerkan diri’ agar rakyat memilih dirinya yang lebih sedikit sekulernya.
Padahal, tidak jelas di dalam pandangan mereka: yang bahaya itu yang bagaimana dan yang tidak bahaya itu yang bagaimana. Mereka sebenarnya tidak memiliki kejelasan akan hal tersebut. Sehingga muncullah asumsi-asumsi yang kabur tentang berbagai macam definisi yang tidak sesuai dalam pandangan syariat.
Walhasil, pragmatisme menjadi sesuatu yang akan menjadikan para aktivis menjadi orang-orang yang mudah terbeli, bahkan membeli. Mereka mudah untuk dibeli orang lain, mudah ditawar pihak lain. Inilah pragmatisme politik itu. Bahkan kadang-kadang pragmatisme politik ini dibumbui dengan berbagai macam dalil atau ‘dalil’ yang mereka anggap bisa memperkuat argumen pragmatisme politik mereka.
Beberapa ‘dalil’ itu antara lain kaidah syara’ yang sangat terkenal, yaitu:
1) Idzaa ta’aarodho syarrooni au dhororooni dafa’a asyaddadh dhororoini wa a’zhomasy syarroini
(Jika ada dua keburukan atau kemadharatan bertemu maka yang lebih berat madharatnya dan lebih besar keburukannya harus dihilangkan)
2) Idzaa ta’aarodho mafsadataani ruu’iya a’ zhomuhumaa dhororon bi irtikaabi akhoffihimaa
(Jika ada dua kemafsadatan bertemu maka yang harus diperhatikan adalah yang lebih besar mafsadatnya, dengan melaksanakan yang lebih ringan-kemafsadatannya)
Kaidah yang atas, pada intinya memerintahkan kita agar kita memilih kemadharatan yang lebih kecil daripada kita mengalami kemadharatan yang lebih besar. Asumsinya begini: berjuang di dalam sistem kufur merupakan suatu kemudharatan. Tetapi ketika orang-orang yang tidak berpihak pada Islam berkuasa dalam sistem kufur ini, maka ini merupakan kemadharatan yang lebih besar daripada kemadharatan yang pertama. Sehingga, berdasarkan hal tersebut, mereka (orang-orang pragmatis) lalu menerapkan kaidah syara’ di atas. Asumsinya: dengan berjuang di dalam sistem kufur maka telah memilih kemudharatan atau kemafsadatan yang lebih kecil daripada kemudharatan/kemafsadatan yang kedua.
Ada juga kaidah yang lain yang juga digunakan mereka (orang-orang pragmatis), yaitu sebagai berikut.
3) Maa laa yudroku kulluhu laa yutroku jalluhu
(Apa-apa yang tidak bisa diraih semuanya jangan ditinggalkan semuanya)
Asumsi orang-orang pragmatis begini: Kita (orang Islam) ingin meraih semua kekuasaan di negeri ini untuk diterapkan syariat Islam. Tetapi tidak bisa, sebab dihalang-halangi orang-orang yang tidak berpihak pada Islam. Dengan berdasarkan kaidah di atas, kita (umat Islam) jangan meninggalkan kekuasaan semuanya, paling tidak, ada satu atau dua kekuasaan yang bisa dipegang orang-orang yang memperjuangkan syariat Islam.
Demikianlah. Pragmatisme politik diberi ‘lipstik’ kaidah-kaidah syara’ untuk metode ‘dakwah’ mereka. Lalu bagaimana sebenarnya mendudukkan kaidah-kaidah di atas? Apakah benar demikian? Jika iya, berarti kaidah itu sah (legal) untuk dijadikan alasan pragmatisme politik. Apakah demikian?
Hakikat Dhoror
Dalam kaidah pertama dan kedua, disebutkan istilah dhoror. Apa yang dimaksud dengan dhoror itu? Menurut ulama ushul yang banyak membuat berbagai kaidah-kaidah syara’, yang dimaksud dengan dhoror adalah: Sampainya batas ketika sesuatu yang dilarang itu diperoleh, maka akan menemui kecelakaan atau kebinasaan atau nyaris binasa. Atau bisa juga bermakna: Suatu keterpaksaan yang sangat mendesak yang dikhawatirkan akan menimbulkan kebinasaan atau kematian. Pemahaman ini bisa kita lihat dalam kitab Asybah wan Nazhooir karya Imam As Suyuthi.
Cakupan dhoror itu ada dua aspek: pertama, memang secara jelas ditunjukkan bahayanya (baik oleh benda/perbuatan); dan yang kedua, dikatakan dhoror karena ada qarinah atau indikasi yang menyertainya. Contoh pada aspek yang pertama bisa terjadi pada benda dan perbuatan, tidak dikhususkan pada salah satunya. Pada benda, misalnya racun. Sedangkan pada perbuatan, misalnya seseorang yang membongkar rahasia kekuatan pasukan Islam (dalam suatu medan jihad) ketika dirinya ditawan musuh. Keduanya sama-sama merupakan hal yang berbahaya.
Contoh pada aspek yang kedua: mata uang dollar itu mubah, halal zatnya (bendanya). Tetapi bisa haram memperjualbelikannya karena akan membahayakan stablitas keuangan negara. Ada lagi, seseorang yang memberikan informasi tentang usaha-usaha dakwah kepada orang kafir. Pada dasarnya hukum memberikan informasi tentang aktivitas dakwah itu mubah, tetapi tetap saja tidak dibenarkan, karena bisa menggerus dakwah Islam.
Jadi, dhoror itu bisa menimpa diri sendiri, bisa juga menimpa orang lain. Ingat, sekali lagi batasan dhoror adalah sampainya seseorang atau orang lain dalam kebinasaan atau kematian atau nyaris binasa seperti kelumpuhan dan lain sebagainya.
Pertanyaannya:
Apakah kalau kaum muslimin tidak berkecimpung di politik praktis maka akan mengakibatkan kaum muslimin di Indonesia ditimpa berbagai dhoror? Atau kaum muslimin di Indonesia akan binasa atau mati seluruhnya? Atau kaum muslimin akan mengalami kondisi yang mengakibatkan diri mereka tersiksa secara fisik hingga mengalami kelumpuhan atau kesakitan yang luar biasa?
Jawabannya, belum pasti. Karena belum pasti, maka kaidah di atas tidak bisa diberlakukan.
Jadi, jika seseorang tidak berada dalam konteks dhoror tersebut, maka dalam konteks seperti ini tidak ada pilihan: mana di antara keduanya yang paling ringan dhoror-nya. Bahkan cara ini tergolong cara yang bodoh dalam menghadapi dan menyelesaikan persoalan.
Misalnya, lokaslisasi pelacuran adalah haram. Keberadaan lokalisasi pelacuran itu dilegalkan dengan alasan menghindari dhoror yang lebih besar, yaitu terjadinya seks liar atau transasksi seks bebas. Atau melegalkan ATM Kondom dengan alasan menghindari dhoror yang lebih besar, yaitu tersebarnya virus HIV/AIDS. Penerapan kaidah syara’ seperti ini jelas keliru, bodoh, dan serampangan. Sebab, kedua dhoror tersebut merupakan bentuk pelanggaran syariat, yang sebenarnya bisa dihindari dan tidak engharuskan memilih salah satu di antara keduanya. Bahkan menghilangkannya pun bisa.
Jadi, tidak bisa kita mengatakan: daripada dikuasai orang-orang yang sekulernya banyak, mendingan dikuasai orang-orang yang sekulernya sedikit. Atau: daripada virus HIV/AIDS tersebar, mendingan legalkan ATM Kondom atau lokalisasi pelacuran. Atau yang lainnya.
Melaksanakan Kewajiban yang Sukar Dilaksanakan
Berkaitan dengan kaidah syara’ yang kedua, yaitu: jika tidak bisa diraih semuanya, maka jangan ditinggalkan semuanya, maka jawabannya adalah sebagai berikut.
Kaidah: maa laa yudroku kulluhu laa yutroku jalluhu, adalah sebuah kaidah kaidah syara’ yang memerintahkan kita melaksanakan kewajiban, karena kewajiban itu memang wajib dilaksanakan meski kewajiban itu memang sukar untuk dilakukan. Sehingga, apa pun yang terjadi, kewajiban syara’ itu memang harus dilaksanakan, sekalipun sulit. Mengapa? Sebab, sukarnya melaksanakan kewajiban tidak akan menggugurkan kewajiban secara keseluruhan.
Menurut Imam As Suyuthi, kaidah syara’ ini digali dari hadis Rasulullah saw., “Idzaa amartukum bi amrin fa’tu minhu mastaho’tum (Jika aku memerintahkan kepada kalian suatu urusan/perintah, tunaikanlah urusan/perintah itu sesuai dengan kemampuan kalian).”
Oleh karena itu, maksud dari kaidah syara’ tersebut adalah bahwa kewajiban itu memang harus ditunaikan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Artinya, kita harus mengerahkan kekuatan semaksimal mungkin untuk melaksanakan kewajiban tersebut, sekalipun sulit dilakukan.
Penerapan kaidah ini, misalnya sebagai berikut.
Misalnya kita dipenjara. Padahal waktu salat tiba. Sementara itu kita tidak diperbolehkan keluar untuk mengambil air wudhu. Maka kondisi itu tidak akan bisa menghapus kewajiban seseorang untuk mendirikan salat. Sebab, tidak bisa dilakukannya wudhu atau tayamum tetap tidak bisa menggugurkan kewajiban salat. Artinya, jika tidak bisa melaksanakan kewajiban salat secara ideal, jangan ditinggalkan semua (kewajiban salat itu). Tetapi, tetaplah salat, sekalipun sulit dilakukan atau dengan kondisi yang tidak ideal.
Atau begini: ketika seseorang baru masuk Islam dan belum menguasai bacaan-bacaan salat, dia tetap wajib salat meskipun dia harus dipandu oleh orang, dan tetap berusaha untuk menghafalnya.
Kaidah ini tidak bisa diberlakukan pada: keterlibatan kaum muslim di pemerintahan kufur. Sebab, masih ada kemungkinan lain untuk meraih kekuasaan, tanpa harus terlibat di dalamnya. Yaitu meraih kekuasaan dengan jalan umat, bukan parlemen atau melalui sistem kufur tersebut. Jadi, konteks yang ditinggalkan bukan sistem kufurnya, tetapi cara untuk meraih kekuasaan tersebut.
Artinya: Jika tidak bisa melaksanakan semua kewajiban syariat (secara kaffah), jangan ditinggalkan semua kewajiban itu, sebab masih ada kewajiban lain yang bisa ditunaikan, yaitu meraih kekuasaan dengan jalan umat.
Dikatakan meninggalkan semuanya (meninggalkan upaya meraih kekuasaan), jika seseorang berdiam diri dan tidak melakukan apapun. Ini dikatakan meninggalkan semua upaya untuk meraih kekuasaan.
Jadi, maknanya bukan: karena kita tidak bisa meraih semua kekuasaan, maka harus mengambil salah satu kekuasaan.
Ini tidak benar. Sehingga penggunaan kaidah-kaidah di atas sebagai ‘dalil’ untuk memperkuat argumen pragmatisme politik, jelas sesuatu yang serampangan.
Dalam pandangan Hizbut Tahrir, dalil syariat itu hanya ada empat, yaitu Alquran, Sunnah, Ijma’ sahabat, dan qiyas syar’i. Sedangkan yang lain, seperti syar’u man qablana (syariat-umat-umat terdahulu), mazhab sahabat, ‘urf, mashalih mursalah, dan sebagainya bukanlah dalil syariat, tetapi sesuatu yang dianggap dalil padahal bukan dalil. Apalagi kaidah syara’, jelas itu bukan dalil. Sebab, pada dasarnya kaidah syariat adalah setiap kadiah yang digali dari dalil-dalil syariat.
Jadi, penerapan kaidah-kaidah di atas untuk memperkuat argumen pragmatisme politik, jelas tidak tepat.
Wallahu a'lam..
Sumber: disini
0 komentar :
Posting Komentar
Ikhwah fillah, mohon dalam memberikan komentar menyertakan nama dan alamat blog (jika ada). Jazakumullah khairan katsir