Ikhwani fillah rahmatullah 'alaikum, pada kesempatan kali ini saya akan memposting makalah yang berkenaan dengan Ibadah. Makalah ini sudah cukup lama sebenarnya, sekitar 1 tahun lebih. Makalah ini dipresentasikan dalam mata kuliah fiqih, yang saat itu dibimbing oleh Bapak Hasbullah, M. Ag. Dan saya posting disini dalam bentuk artikel panjan karena menurut saya masih layak dan relevan. Jika ada hal yang keliru, saya sangat senang jika ada yang berkenan untuk memluruskan dan share ilmunya. Saya jika tidak menolak jika ada yang memberikan kritik dan saran, insyaAllah saya akan mencoba merenungkan setiap masukan dari sahabat-sahabat sekalian. Akhirnya saya berharap, semoga makalah ini bermanfaat, terutama bagi saya sendiri. Amin Ya Rabbal 'Alamin.
Pendahuluan
Jika kita bertanya apa
tujuan dari hidup ini?, maka jawabannya dapat kita lihat dalam firman Allah
dalam al-Qur’an al-Karim.
“dan
aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku.” (QS. Asz-Dzariyat: 56)
Dalam ayat ini dengan
sangat jelas bahwa manusia –beserta jin— sebagai makhluk diciptakan tidak lain
hanya unutk beribadah kepada Allah SWT.
Maka, sangatlah
penting bagi kita memahami apa sebenarnya Ibadah itu dan segala hal yang
berkaitan dengannya. Oleh karena itu pula, penulias melalui makalah ini mencoba
memberikan sedikit penjelasan mengenai ibadah dan masalah yang berkaitan
dengannya.
Dalam tulisan ini penulis akan memaparkan
mengenai permasalahan seputar ibadah, yang mana penulis menjadikan silabus mata
kuliah Fiqih sebagai rumusan masalah. Permasalahan tersebut adalah:
- Apa pengertian ibadah?
- Apa hakikat ibadah?
- Apa saja klasifikasi ibadah?
- Apa syarat diterimanya sebuah ibadah?
- Pengertian Ibadah
Secara bahasa (etimologi), kata-kata عُبُودَة، عُبُودِيَّة، عَبْدِيَّة (‘Abdiyah,
‘Ubudiyah, ‘Ubudah) dalam bahasa Arab, adalah Kepatuhan. Iaitu menyerah dan pasrah kepada pihak lain
hingga dapat dipergunakan dengan mudah dan menurut kehendak pihak tersebut.[1]
Dalam Mukhtarus Shihhah, ibadah diartiakan dengan tunduk dan patuh.
Sedangkan menurut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak
definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definsi itu antara lain adalah:
1.
Ibadah adalah taat kepada Allah
dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya.
2.
Ibadah adalah merendahkan diri
kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai
dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.
3.
Ibadah adalah sebutan yang
mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik
berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. Yang ketiga ini
adalah definisi yang paling lengkap.[2]
Hal ini senada dengan
definisi yang dikemukakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Menurut beliau, Ibadah
adalah suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan
diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin)
maupun yang nampak (lahir).[3]
Dari definisi diatas
terlihat bahwa ibadah mencakup semua amal yang kita lakukan, baik itu amal hati
maupun amal perbuatan yang dibatasi oleh dengan perintah dan larangan Allah.
- Hakikat Ibadah
Abul A’la al-Maududi
memberikan penjelasan yang sangat gamblang di dalam buku Dasar-Dasar Islam
mengenai apa sebenarnya ibadah itu. Beliau menuliskan:
Ibadah yang sebenarnya ialah bahwa anda mengikuti aturan dan hukum Tuhan dalam hidup anda,
dalam setiap langkah dan setiap keadaan, dan melepaskan diri anda dari ikatan setiap hukum yang
bertentangan dengan hukum Allah.
Setiap gerakan yang anda lakukan haruslah selaras dengan garis-garis yang telah ditentukan Allah bagi anda. Setiap
tindakan anda harus sesuai dengan cara yang telah ditentukan Allah. Dengan demikian, maka hidup anda yang anda
tempuhi dengan cara
demikian inilah yang disebut 'ibadat. Dalam hidup yang demikian, maka tidur anda, bangun anda, makan dan minum anda,
bahkan berjalan dan berbicara anda, semuanya adalah 'ibadat.[4]
Pekerjaan-pekerjaan anda yang umumnya anda sebut sebagai pekerjaan yang bersifat duniawi,
sesungguhnya semuanya adalah
pekerjaan-pekerjaan keagamaan dan 'ibadah, asalkan dalam mengerjakannya
anda menjaga diri pada batas-batas yang telah ditentukan Allah, dan dalam setiap langkah selalu memperhatikan apa yang
diperbolehkan Allah dan apa yang dilarangNya, apa yang halal dan apa yang haram, apa yang diwajibkan dan apa
yang dilarang, perbuatan dan
tindakan apa yang membuat Allah suka kepada anda dan perbuatan serta tindakan mana yang membuatNya tidak
senang terhadap anda.[5]
Demikianlah, segala sesuatu yang kita lakukan sebenarnya merupakan ibadah
jika kita melaksanakannya karena dilandasi harapan mendapatkan ridho Allah swt.
Sehingga manusia selama hidupnya bernilai ibadah seperti dalam tujuan diciptakannya!
- Klasifikasi ibadah
Ibadah sebagai media mendekatkan diri kepada Allah dapat diklasifikasikan
menjadi dua, sebagai berikut:
1.
Ibadah Mahdhah
Ibadah mahdhah adalah ibadah yang telah ditentukan secara baku
pelaksanaannya, baik waktu maupun cara. Seperti shalat, puasa, dan rukun islam
yang lain.
2.
Ibadaqh Ghairu Mahdhah
Merupakan amal ibadah yang tidak baku, namun tetap ada syari’at yang mengaturnya.
Seperti bersedekah, silaturahim, dan ibadah bersifat mu’amalah yang lain.
- Syarat diterimanya Ibadah
Sebuah ibadah diterima jika memenuhi dua syarat, yakni ikhlas dan sesuai
dengan syara’. Dua syarat ini telah Allah Subhanahu wa Ta’ala abadikan
dalam firmanNya di ayat terakhir surat Al Kahfi dalam satu kesempatan
sekaligus.
“Sesungguhnya Sesembahan kalian adalah sesembahan yang esa,
barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Robbnya maka hendaklah ia beramal
ibadah dengan amalan yang sholeh dan tidak menyekutukan Robbnya
dalam amal ibadahnya dengan suatu apapun” (QS. Al Kahfi: 110).
Ibnu Katsir Asy Syafi’i rohimahullah seorang pakar tafsir yang
tidak diragukan lagi keilmuannya mengatakan, “Maka hendaklah ia mengerjakan
amal yang sholeh”, maksudnya adalah mencocoki syariat Allah (mengikuti
petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Dan “janganlah ia
mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”, maksudnya
selalu mengharap wajah Allah semata dan tidak berbuat syirik pada-Nya.”
Kemudian beliau mengatakan, “Inilah dua rukun diterimanya ibadah, yaitu harus
ikhlas karena Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam.”[6]
- Ikhlas
Banyak ummat islam yang
salah dalam memahami makna dari ikhlas. Mereka menganggap ikhlas itu tidak
merasa berat, nikmat ketika melaksanakan, bahkan ada yang
menggambarkan ikhlas dengan sebuah analogi (maaf) seperti saat kita membuang air. Ini
adalah kekeliruan. Karena ibadah tidak berdasarkan apakah kita merasa ringan
atau tidak, tapi karena kesadaran kita bahwa sebuah amal itu diperintahkan oleh
Allah, dan malakukannya hanya untuk mengharapkan ridho Allah semata. Jika
kemudian kita merasa ringan dan nikmat menjalankan, maka itu lebih baik. Lihat
misalnya firman Allah dalam masalah jihad, menunjukan bahwa kita diperintahkan
untuk mentaati perintahnya meskipun itu berat bagi kita.
“Berangkatlah kamu baik dalam Keadaan merasa ringan maupun
berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang
demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS.
At-Taubah: 41)
Ikhlas merupakan sebuah kata yang hampir bisa dipastikan setiap muslim
pernah mendengarnya. Walau demikian, ikhlas merupakan salah satu perkara yang
tergolong mudah untuk diucapkan tapi sangat sulit pada pelaksanaan.
Ar-Raghib berkata dalam kitab Mufradat, “ikhlas adalah menyingkirkan
segala sesuatu selain Allah.”
Abu al-Qasim al-Qusyairi menyatakan bahwa seseorang yang ikhlas adalah
yang berkeinginan untuk menegaskan hak-hak Allah dalam setiap perbuatan
ketaatannya. Dengan ketaatannya itu ia ingin mendekatkan diri kepada Allah,
bukan kepada yang lain. Ia berbuat bukan untuk makhluk, bukan untuk mendapatkan
pujian dari manusia, atau sanjungan dari siapapun. Satu-satunya yang ia
harapkan hanya kedekatan kepada Allah swt.” [7]
An Nawawi Asy Syafi’i rohimahullah menukil dalam kitabnya At
Tibyan perkataan ustadz Abu Qosim Al Qusairiy rohimahullah, beliau
mengatakan, “Ikhlas adalah engkau mentauhidkan/menunggalkan niatmu dalam
keta’atan kepada Allah Subahanahu wa Ta’ala yaitu engkau berniat
mendekatkan diri kepada Allah dengan amal ketaatanmu tanpa mengharapkan dari
mahluk suatu apapun dari hal tersebut berupa pujian dari manusia dan lain
sebagainya”[8]
Jadi, ikhlas dalam beribadah berarti menjalankan
sebuah amalan karena dilandasi untuk memenuhi seruan Allah kepada kita, bukan
karena yang lain. Dengan pemahaman bahwa apa yang Allah perintahkan dan yang
dilarang-Nya merupakan jalan bagi kita untuk bertaqarrub kepada Allah. Maka,
jika ada orang yang menjalankan sebuah amal karena ingin diperhatikan orang lain,
maka amalnya tertolak dan sia-sia belaka.
“dan Sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan
kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan),
niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu Termasuk orang-orang yang
merugi.” (QS. Az-Zumar: 65)
- Sesuai Syara’
Sebagaimana definisi ikhlas di atas, ibadah hanya untuk mendapatkan ridho
Allah swt., sedangkan ridho Allah bersesuaian dengan apa yang telah
disyari’atkan. Sesuatu yang diharamkan atau dilarang oleh Allah pasti tidak
diridhoi oleh-Nya. Begitu pula sebaliknya, apa yang diperintahkan oleh Allah
pasti akan diridhoi oleh-Nya. Maka ibadahpun harus dilandasi oleh perintah dan
larangan Allah swt. Jadi, seseorang beribadah harus sesuai dengan apa yang
telah disyari’atkan oleh Allah dalam al-Qur’an maupun melalui hadist Rasulullah
saw., kita tidak boleh kita melakukan sebuah ibadah dengan mengada-ada.
Rasulullah saw. bersabda:
“barangsiapa
mengerjakan amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amaal itu
tertolak.” (HR. Muslim)
Syaikh Yusuf
Qardhawi, dalam buku Ibadah dalam Islam menuliskan:
Imam Ibnu Taimiyah berkata: Landasan pokok bagi agama itu ada dua,
yaitu: pertama, kita tidak beribadah melainkan hanya kepada Allah. Dan kedua,
kita tidak beribadah kepada-Nya melainkan dengan cara yang disyari’atkan-Nya,
bukan dengan cara yang dibuat manusia.[9]
Dengan demikian, niat yang ikhlas saja tidak cukup dalam melaksanakan
amal agar bernilai ibadah. Namun juga harus dilihat juga apakah yang kita
lakukan dibolehkan oleh syari’at atau malah dilarang?
Simpulan
Ibadah adalah setiap bentuk amal yang bersesuaian dengan perintah dan
larangan Allah swt. Ibadah, sebagaimana makna harfiahnya, merupakan bentuk
ketundukan kita sebagai hamba kepada Allah swt. Tentu, sebagai hamba menyadari
segala kekurangan dan keterbatasan. Oleh karena itu, Allah memberikan paanduan
melalui para Rasul bagaimana cara kita mendekatka diri kepada-Nya. Itulahah
esensi dari diutusnya para Utusan.
Allah swt.
berfirman:
“dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat
(untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut[10] itu”.
(QS. An-Nahl: 36)
Ada dua hal yang menjadi syarat sebuah ibadah itu diterima atau tidak.
Apabila salah satunya tidak terpenuhi maka amal yang kita lakukan akan sia-sia
belaka. Dua syarat itu adalah:
Pertama , ikhlas. Jadi, ibadah akan bernilai jika kita
melaksanakannya dengan niat untuk taqarrub kepada Allah swt., bukan untuk
mendapatkan pujian dan sanjungan dari manusia.
Kedua, sesuai dengan syari’at Allah swt. Sebagai al-Khaliq
yang telah menciptakan manusia, tentu hanya Allah yang tahu bagaimana cara kita
mendekatkan diri kepada-Nya. Oleh karenaya, Allah telah menurunkan seperangkat
ajaran dan aturan sebagai pedoman dalam hidup agar hidup ini benar-benar
menjadi ibadah seperti tujuan diciptakannya kita. Maka, wajib mengikuti
ketentuan yang telah ada.
[2] http://abuafif.wordpress.com/2007/08/09/pengertian-ibadah-dalam-islam.html,
diakses 3 maret 2010
[3] http://muslim.or.id/aqidah/memahami-pengertian-ibadah.html,
di akses 3 maret 2010
[4]
Abul a’la al-Maududi, Dasar-Dasar Islam, (versi Ebook, tp, tt), hal 74
[5] Ibid,
hal 74
[6] http://buletin.muslim.or.id/manhaj/dua-syarat-diterimanya-ibadah,
di akses tanggal 3 Maret 2010
[7]
Umar Sulaiman al-Asyqar, Ikhlas: Memurnikan Niat, Meraih Rahmat, (versi
ebook, sarambi, 2006), hal. 24
[9] Yusuf
Qardhawi, Ibadah dalam Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 2001), hal. 297
[10] Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain
dari Allah swt. (keterangan dalam Al-Qur’an Digital)
Dalam E-Book Hadits Shahih Bukhari dan Dasar-Dasar Islam, pada bagian “Penjelasan Makna Thoghut dan Para Pembelanya” tertulis kutipan dari Catatan kaki dalam kitab Fathul Majid, karangan Abdur Rohman bin Hasan Alu Asy-Syaikh, cet. Darul Fikri 1399 H, hal. 287 sebagai berikut:
Syeikh Muhammad bin Hamid
Al-Faqiy mengatakan tentang definisi Thoghut: “Yang dapat disimpulkan dari
perkataan ulama’ salaf, bahwasanya thoghut itu adalah segala sesuatu yang menyelewengkan
dan menghalangi seorang hamba untuk beribadah kepada Alloh, dan memurnikan
agama dan ketaatan hanya kepada Alloh dan rosulNya saja. Sama saja apakah
thoghut itu berupa jin atau berupa manusia atau pohon atau batu atau yang
lainnya. Dan tidak diragukan lagi masuk dalam pengertian ini; memutuskan hukum
dengan undang-undang di luar Islam dan syari’atnya, dan undang-undang yang
lainnya yang dibuat oleh manusia untuk menghukumi pada permasalah darah, seks
dan harta, untuk menyingkirkan syari’at Alloh seperti melaksanakan hukum hudud,
pangharaman riba, zina, khomer dan lainnya yang dihalalkan dan dijaga oleh
undang-undang tersebut.
Dan undang-undang
itu sendiri adalah thoghut, dan orang-orang yang
membuat dan menyerukannya adalah thoghut. Dan hal-hal yang serupa dengan
itu seperti buku-buku yang dibuat berdasarkan akal manusia untuk memalingkan
dari kebenaran yang dibawa oleh rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, baik
dengan sengaja maupun tidak sengaja, semuanya itu adalah thoghut.”
0 komentar :
Posting Komentar
Ikhwah fillah, mohon dalam memberikan komentar menyertakan nama dan alamat blog (jika ada). Jazakumullah khairan katsir