Mafahim Islam bukanlah pemahaman kepasturan, bukan pula informasi-informasi kegaiban tanpa dasar. Mafahim Islam tidak lain adalah pemikiran-pemikiran yang memiliki penunjukan-penunjukan nyata, yang dapat dita-ngkap akal secara langsung, selama masih berada dalam batas jangkauan akalnya. Namun bila hal-hal tersebut bera-da di luar jangkauan akalnya, maka hal itu akan ditunjukkan secara pasti oleh sesuatu yang dapat diindera, tanpa ra-sa keraguan sedikitpun.
Karena itu, seluruh mafahim Islam berada di bawah penginderaan secara langsung, atau pada sesuatu yang dapat diindera secara langsung yang menunjukkan adanya pemahaman itu. Dengan kata lain, seluruh pemikiran Islam merupakan mafahim. Sebab dapat dijangkau oleh akal, atau ditunjuk oleh sesuatu yang dapat dijangkau oleh akal. Ti-dak ada satu pemikiranpun di dalam Islam yang tidak memiliki mafhum. Artinya, pemikiran itu memiliki fakta dalam benak dan dapat dijangkau oleh akal. Atau dapat diterima dengan sikap pasrah (memuaskan akal dan jiwanya) dan di percaya secara pasti, bahwa faktanya ada di dalam benak dan apa yang menunjuknya dapat dijangkau oleh akal.
Dengan demikian, di dalam Islam tidak ditemukan hal-hal ghaib yang tidak masuk akal sama sekali (sema-cam dogma yang dipaksakan, pen.). Tetapi masalah-masalah ghaib yang diharuskan Islam untuk diimani adalah ma-salah ghaib yang dapat diterima melalui perantaraan akal, yaitu melalui sumber yang dapat dibuktikan kebenarannya melalui akal, yang tidak lain adalah Al-Qur'an dan Hadits-hadits mutawatir.
Berdasarkan hal ini, maka pemikiran-pemikiran Islam bersifat nyata, faktual, dan ada di dalam kehidupan. Sebab, semua pemikiran-pemikiran ini memiliki fakta di dalam benak, didasarkan pada proses penginderaan dan ber-sandarkan pada akal. Karena itu, sebenarnya akal manusia menjadi asas bangunan Islam, yakni aqidah dan syari'at Islam.
Aqidah dan hukum-hukum Islam merupakan pemikiran yang memiliki fakta dan dapat dijangkau dengan riil, baik itu berupa hal-hal ghaib ataukah hal-hal nyata, juga keputusan akal terhadap sesuatu (ide), atau hukum atas se-suatu (pemecahan masalah), atau berita dari dan tentang sesuatu. Semuanya ini ada faktanya dan pasti adanya. Dengan kata lain, pemikiran-pemikiran Islam, hukum-hukumnya, hal-hal yang real inderawi, atau hal-hal ghaib, se-muanya adalah kenyataan yang memiliki fakta di dalam benak dan bersandarkan pada akal manusia.
Aqidah Islamiyah adalah keimanan kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Hari Kiamat, dan Qadla-Qadar. Pembenaran terhadap semua ini dibangun dari kenyataan yang ada, dan tiap-tiap da-ri keimanan tersebut memiliki fakta di dalam benak.
Iman kepada Allah, Al-Qur'an, dan kenabian Muhammad saw dibina di atas penemuan bahwa wujud (eksis-tensi) Allah itu azali, tidak ada awal dan akhir bagi-Nya. Dan akal telah menemukan secara inderawi bahwa Al-Qur'an itu Kalamullah berdasarkan kemu'jizatannya bagi manusia yang dapat diindera di setiap waktu. Akalpun telah mene-mukan secara inderawi bahwa Muhammad saw adalah Nabi Allah dan Rasul-Nya berdasarkan bukti yang nyata bahwa beliau adalah yang membawa Al-Quran sebagai kalamullah yang membuat manusia tak berdaya untuk membuat yang semisalnya. Maka ketiga hal ini, yaitu wujud (eksistensi) Allah, Al-Qur'an sebagai Kalamullah, dan Nabi Muhammad se-bagai Rasulullah, dapat ditangkap oleh akal dengan perantaraan indera dan dapat diimani. Dengan demikian tiga hal di atas memiliki fakta yang dapat diindera dalam benak dan merupakan fakta yang nyata.
Adapun Iman kepada malaikat, kitab-kitab sebelum Al-Qur'an (seperti Taurat dan Injil), Nabi dan Rasul sebelum Rasulullah saw (seperti Musa, Isa, Harun, Nuh, Adam as), dibangun berdasarkan khabar dari Al-Qur'an dan Hadits mutawatir. Kaum muslimin diperintahkan membenarkan adanya semua itu. Dan itu semua memiliki fakta dalam be-nak, karena bersandarkan pada sesuatu yang terindera, yaitu Al-Qur'an dan Hadits mutawatir. Berarti seluruhnya me-rupakan mafahim, sebab merupakan fakta dari ide-ide (Islam), yang dapat dijangkau dalam benak.
Sedangkan Iman kepada Qadla dan Qadar, dibangun di atas akal berdasarkan pengamatan terhadap perbua-tan manusia; bahwa perbuatan yang telah dilakukan oleh manusia atau telah menimpa dirinya (arti Qadla); dan ber-dasarkan penangkapan secara aqliy dan inderawi, bahwa khasiat (karakteristik) yang dimiliki benda bukanlah di cipta-kan oleh benda itu sendiri (arti Qadar). Buktinya, suatu pembakaran tidak akan terjadi kecuali dengan derajat panas atau aturan tertentu (misalnya pembakaran kayu perlu derajat panas tertentu yang lain dengan pembakaran besi, pen.). Seandainya khasiyat itu diciptakan oleh api itu sendiri, maka kebakaran itu dapat terjadi sesuai dengan kehen-daknya, tanpa tergantung pada derajat panas atau aturan tertentu. Dengan demikian maka jelaslah bahwa khasiat itu diciptakan Allah SWT, bukan ciptaan yang lainnya. Oleh karena Qadla dan Qadar dapat ditangkap oleh akal secara langsung dengan perantaraan indera. Maka, keduanya itu diimani, menjadi fakta dalam benak, dan merupakan fakta yang terindera. Dengan demikian, keduanya merupakan mafahim, sebab merupakan fakta dari ide, yang dijangkau dalam benak.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka aqidah Islam merupakan mafahim yang pasti adanya dan pasti penun-jukannya. Aqidah Islam memiliki fakta dalam benak seorang muslim yang dapat menginderanya, atau mengindera sesuatu yang dapat menunjukkannya. Dengan demikian Aqidah Islam akan dapat memberikan pengaruh besar terhadap manusia.
Sedangkan hukum-hukum syara', kedudukannya adalah sebagai pemecah terhadap kenyataan atau proble-matika hidup manusia. Di dalam menyelesaikan semua problema hidup ini diharuskan terlebih dahulu mengkaji dan memahami masalah yang dihadapi. Lalu mempelajari hukum-hukum Allah yang berkaitan dengan problema tersebut, dengan memahami nash-nash syara' yang berkaitan dengannya. Kemudian pemahaman tersebut dipertimbangkan untuk mengetahui apakah itu hukum Allah atau bukan. Jika penerapan itu tepat, menurut pandangan seorang mujtahid, maka pemahaman itu pun merupakan hukum Allah. Jika tidak tepat, maka dicarilah makna atau nash lain, hingga ditemukan yang tepat dengan kenyataan itu. Dengan demikian, maka hukum-hukum Syara' merupakan pemi-kiran yang memiliki fakta dalam benak (mafhum), sebab hukum-hukum syara' merupakan pemecahan yang dapat di indera untuk suatu masalah yang nyata, yang dipahami dari nash-nash yang ada. Maka berdasarkan hal ini hukum-hukum syara' adalah merupakan mafahim.
Dengan demikian sesungguhnya aqidah Islam dan hukum-hukum syara' bukanlah pengetahuan yang semata-mata untuk dihafal, dan bukan pula sekedar pemuas akal. Tetapi, keduanya merupakan mafahim yang mendorong manusia untuk berbuat, menjadikan perbuatannya selalu terkait, terikat, dan teratur karenanya. Atas dasar inilah, maka seluruh ajaran Islam merupakan mafahim yang mengatur kehidupan manusia, bukan sekedar informasi atau pengetahuan semata.
0 komentar :
Posting Komentar
Ikhwah fillah, mohon dalam memberikan komentar menyertakan nama dan alamat blog (jika ada). Jazakumullah khairan katsir