[Al Islam 635] Seusai menghadap presiden
SBY untuk audiensi tentang kesiapan penyelenggaraan perayaan puncak
Natal 2012, ketua panitia Perayaan Natal Nasional, Nafsiah Mboy yang
juga menteri kesehatan, menyatakan bahwa presiden SBY dan wapres
Boediono akan turut menghadiri perayaan puncak Natal nasional yang akan
diselenggarakan tanggal 27 Desember. Mboy juga menyatakan, “Presiden
mengharapkan penyelenggaraan puncak perayaan Natal 2012 bersifat
inklusif, dan dapat dirasakan semua pihak, tidak hanya oleh umat
Kristiani. ” (lihat, antaranews.com, 7/12).
Ancam Akidah Umat
Selama bulan Desember, negeri Islam ini yang mayoritas penduduknya
muslim, tampil bak negeri kristen di Eropa. Di toko-toko, supermarket,
perusahaan swasta, sampai instansi pemerintahan hari natal disambut
dengan meriah. Acara TV pun dipenuhi dengan film, dokumentar, talkshow,
berita, entertainment yang bertemakan natal.
Bagi pemeluk agama Nashrani tentu sah-sah saja merayakan natal. Tapi
‘memblow up’ demikian rupa kegiatan Natal, dan memberlakukannya untuk
dan agar diikuti oleh semua orang, bisa menyakiti umat Islam. Di super
market dan mall-mall yang tentu saja mayoritas pengunjungnya umat Islam
disuguhkan lagu-lagu natal terus menerus. Tidak hanya itu, karyawan
sampai satpam yang kita yakin mayoritasnya muslim “diharuskan” memakai
atribut Natal seperti topi Santa Claus, dll.
Umat pun diseru untuk mengucapkan selamat Natal dan bila perlu ikut
merayakan atau memfasilitasinya. Semua itu dikatakan sebagai wujud nyata
toleransi dan kerukunan antar umat beragama. Anggapan seperti itu
sangat berbahaya. Seolah-olah siapa yang tidak mau ikut merayakan atau
memberikan ucapan selamat Natal dianggap tidak toleran. Anggapan itu
jelas keliru dan dangkal.
Umat Islam harus mewaspadai seruan-seruan untuk merayakan atau
mengucapkan selamat Natal, termasuk harapan presiden SBY di atas. Sebab
dibalik seruan itu ada bahaya besar yang bisa mengancam aqidah umat
Islam. Seruan berpartisipasi dalam perayaan Natal, tidak lain adalah
kampanye ide pluralisme yang mengajarkan kebenaran semua agama. Menurut
paham pluralisme, tidak ada kebenaran mutlak. Semua agama dianggap
benar. Itu berarti, umat muslim harus menerima kebenaran ajaran umat
lain, termasuk menerima paham trinitas dan ketuhanan Yesus.
Seruan itu juga merupakan propaganda sinkretisme, pencampuradukan
ajaran agama-agama. Spirit sinkretisme adalah mengkompromikan hal-hal
yang bertentangan. Dalam konteks Natal bersama dan tahun baru,
sinkretisme tampak jelas dalam seruan berpartisipasi merayakan Natal dan
tahun baru, termasuk mengucapkan selamat Natal. Padahal dalam Islam
batasan iman dan kafir, batasan halal dan haram adalah sangat jelas.
Tidak boleh dikompromikan !
Paham pluralisme dan ajaran sinkretisme adalah paham yang sesat. Kaum
Muslimin haram mengambil dan menyerukannya. Allah SWT telah menetapkan
bahwa satu-satunya agama yang Dia ridhai dan benar adalah Islam. Selain
Islam tidak Allah ridhai dan merupakan agama yang batil (lihat QS Ali
Imran [3]: 19). Karena itu Allah SWT menegaskan:
] وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ [
Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidak
akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk
orang-orang yang merugi (TQS Ali Imran [3]: 85)
Haram Merayakan dan Mengucapkan Selamat Natal
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “selamat” artinya terhindar
dari bencana, aman sentosa; sejahtera tidak kurang suatu apa; sehat;
tidak mendapat gangguan, kerusakan dsb; beruntung; tercapai maksudnya;
tidak gagal. Dengan begitu ucapan selamat artinya adalah doa (ucapan,
pernyataan, dsb) yang mengandung harapan supaya sejahtera, tidak kurang
suatu apa, beruntung, tercapai maksudnya, dsb.
Perayaan Natal adalah peringatan kelahiran Yesus Kristus (nabi Isa
al-Masih as) yang dalam pandangan Nashrani dianggap sebagai anak Tuhan
dan Tuhan Anak. Lalu bagaimana mungkin, umat Islam disuruh mendoakan
agar orang yang berkeyakinan bahwa Isa as adalah anak Tuhan, Tuhan anak
dan meyakini ajaran Trinitas, agar orang itu selamat, tidak kurang suatu
apa dan beruntung? Padahal jelas-jelas Allah SWT menyatakan mereka
adalah orang kafir (QS al-Maidah [5]: 72-75) yang di akhirat kelak akan
dijatuhi siksaaan yang teramat pedih.
Umat Nashrani menganggap Isa bin Maryam as sebagai anak Allah.
Anggapan seperti itu merupakan kejahatan yang besar. Allah SWT
menegaskan:
] تَكَادُ السَّمَوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ
مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا (90) أَنْ
دَعَوْا لِلرَّحْمَنِ وَلَدًا (91) وَمَا يَنْبَغِي لِلرَّحْمَنِ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا [
hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwa Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. (TQS Maryam [19]: 90-92)
Bagaimana bisa kita diminta mengucapkan selamat kepada orang yang
meyakini, merayakan dan menyerukan sesuatu yang di hadapan Allah
merupakan kejahatan besar seperti itu?
Tentang Perayaan Natal Bersama (PNB), PNB adalah salah satu media
untuk menyebarkan misi Kristen, agar umat manusia mengenal doktrin
kepercayaan Kristen, bahwa dengan mempercayai Tuhan Yesus sebagai juru
selamat, manusia akan selamat. MUI telah mengeluarkan fatwa melarang
umat Islam untuk menghadiri PNB. Fatwa itu dikeluarkan Komisi Fatwa MUI pada 7 Maret 1981,
yang isinya antara lain menyatakan: (1) Mengikuti upacara Natal bersama
bagi umat Islam hukumnya haram (2) Agar umat Islam tidak terjerumus
kepada syubhat dan larangan Allah SWT, dianjurkan untuk tidak mengikuti
kegiatan-kegiatan Natal.
Dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid II, oleh Tim PP Muhammadiyah
Majlis Tarjih, yang diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah (1991), hal.
238-240, sudah diterangkan, bahwa hukum menghadiri PNB adalah Haram.
Muhammadiyah dalam hal ini juga mengacu kepada fatwa MUI itu.
Allah SWT berfirman:
]وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا[
Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan
apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan
perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan
menjaga kehormatan dirinya. (QS al-Furqan [25]: 72).
Makna ayat ini bahwa mereka tidak menghadiri az-zûr. Jika mereka melewatinya, mereka segera melaluinya, dan tidak mau terkotori sedikit pun oleh az-zûr itu (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, iii/1346).
Menurut sebagian besar mufassir, makna kata az-zûr (kepalsuan) di sini adalah syirik (Imam asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, iv/89).
Menurut beberapa mufassir seperti Abu ‘Aliyah, Thawus, Muhammad bin
Sirrin, adh-Dhahhak, ar-Rabi’ bin Anas, dan lainnya, az-zûr itu adalah hari raya kaum Musyrik. (Tafsir Ibnu Katsir, iii/1346).
Kata lâ yasyhadûna, menurut jumhur ulama’ bermakna lâ yahdhurûna az-zûr, tidak menghadirinya (Fath al-Qadîr, iv/89). Hal itu lebih sesuai dengan konteks kalimatnya, dimana sesudahnya ayat tersebut menyatakan (artinya) “Dan
apabila mereka melewati (orang-orang) yang mengerjakan
perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan
menjaga kehormatan dirinya” (QS al-Furqan [25]: 72).
Berdasarkan ayat ini pula, banyak fuqaha’ yang menyatakan haramnya
menghadiri perayaan hari raya kaum kafir. Imam Ahmad berkata: “Kaum Muslimin telah diharamkan untuk merayakan hari raya orang-orang Yahudi dan Nasrani.“ Imam Baihaqi menyatakan, “Jika kaum Muslimin diharamkan memasuki gereja, apalagi merayakan hari raya mereka.” Al-Qadhi Abu Ya’la al-Fara’ berkata, “Kaum Muslim telah dilarang untuk merayakan hari raya orang-orang kafir atau musyrik”.
Imam Malik menyatakan, “Kaum Muslimin dilarang untuk merayakan
hari raya kaum musyrik atau kafir, atau memberikan sesuatu (hadiah),
atau menjual sesuatu kepada mereka, atau naik kendaraan yang digunakan
mereka untuk merayakan hari rayanya. Sedangkan memakan makanan yang
disajikan kepada kita hukumnya makruh, baik diantar atau mereka
mengundang kita.” (Ibnu Tamiyyah, Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, hal. 201).
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengatakan, “Sebagaimana mereka (kaum
Musyrik) tidak diperbolehkan menampakkan syiar-syiar mereka, maka tidak
diperbolehkan pula bagi kaum Muslimin menyetujui dan membantu mereka
melakukan syiar itu serta hadir bersama mereka. Demikian menurut
kesepakatan ahli ilmu.” (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ahkâm Ahl al-Dzimmah, i/235).
Rasul saw sejak awal melarang kaum muslim ikut merayakan hari raya
ahlul Kitab dan kaum musyrik. Dari Anas ra bahwa ketika Rasulullah saw
datang ke Madinah, mereka memiliki dua hari raya (hari raya Nayruz dan
Mihrajan) yang mereka rayakan, maka Rasul saw bersabda:
«قَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا : يَوْمَ الْأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ»
“Sungguh Allah SWT telah mengganti dua hari itu dengan dua hari
yang yang lebih baik daripada keduanya, yaitu Idul Adha dan idul
Fithri.” (HR. Abu Dawud dan an-Nasa’i dengan sanad yang shahih).
Wahai Kaum Muslimin
Sungguh amat berbahaya bila hari ini umat justru diseru agar
menggadaikan akidahnya dengan dalih toleransi dan kerukunan umat
beragama. Begitulah yang terjadi ketika hukum-hukum Allah dicampakkan.
Tidak ada lagi kekuasaan berupa al-Khilafah yang melindungi aqidah umat
ini. Islam dan ajarannya serta umat Islam terus dijadikan sasaran.
Karena itu kita harus makin gigih menjelaskan Islam dan menyerukan
syariah dan Khilafah. Sebab hanya dengan syariah dan Khilafahlah, aqidah
umat Islam terjaga sekaligus menjamin kesejahteraan dan keamanan umat
manusia baik muslim maupun orang-orang kafir. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []
Komentar:
“Kadang-kadang saya pun merasa frustasi (dalam) memberantas korupsi”,
kata Presiden saat memberi sambutan pada puncak peringatan Hari
Antikorupsi dan Hari HAM se-Duna di Istana Negara, Senin (10/12)
(Republika, 11/12).
- Seharusnya Presiden memberi contoh mulai dari dirinya sendiri, para pejabat tinggi dan orang-orang dekat Presiden.
- Wajar saja frustasi, sebab memang hampir mustahil memberantas korupsi dalam sistem kapitalisme demokrasi. Karena faktor utama korupsi adalah sistem politik biaya tinggi yaitu sistem demokrasi.
- Jika benar-benar serius memberantas korupsi, campakkan kapitalisme demokrasi, terapkan Syariah Islamiyah dalam bingkai Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah.
0 komentar :
Posting Komentar
Ikhwah fillah, mohon dalam memberikan komentar menyertakan nama dan alamat blog (jika ada). Jazakumullah khairan katsir