Bantahan Terhadap Pendapat Yang Membolehkan Musyarakah dengan Kelompok Sekuler dan/atau Menganggap Negara Islam Tidak Penting dengan Dalih Fatwa Ibnu Taimiyah
Oleh KH Musthafa A. Murtadlo
Oleh KH Musthafa A. Murtadlo
Allah menolong negara yang adil walaupun (negara itu) kafir dan tidak akan menolong negara zalim walaupun negara itu Mukmin (Syaikhul Islam Ibn Taimiyah).
Pernyataan di atas adalah benar pernyataan Syaikhul Islam Ibn Taimiyah dalam salah satu kitabnya, Majmû’ al-Fatâwâ (VI/322).
Pertanyaannya
adalah, apa makna sebenarnya dari pernyataan tersebut? Benarkah bagi
Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah—dengan ungkapan tersebut—sistem yang tidak
islami atau sistem Islam itu bukanlah suatu hal urgen dan yang urgen
adalah keadilan? Bisakah ungkapan di atas dijadikan hujjah bagi kebolehan ber-musyârakah dengan sistem yang tidak islami dan berkoalisi dengan partai sekular?
Mengurai Masalah
Sebagaimana
diketahui, taraf pemikiran umat Islam saat ini begitu merosot tajam
hingga hampir mencapai titik nadir. Dampaknya, bermunculanlah pemikiran
dan gagasan aneh yang tidak pernah dikenal oleh generasi Islam
sebelumnya. Misalnya, kebolehan melakukan musyârakah (bergabung) dengan pemerintahan yang tidak islami, koalisi partai Islam dengan partai sekular dan lain sebagainya. Gagasan-gagasan aneh dan menyimpang ini juga lahir akibat diabaikannya mabâdi’ asy-syarî’ah
(prinsip-prinsip syariah) demi apa yang mereka sebut dengan
‘kemaslahatan’. Kemaslahatan telah mereka posisikan seolah-olah lebih
tinggi di atas hukum syariah. Akibatnya, suatu perkara yang
jelas-jelas haram bisa mengalami metamorfosis menjadi halal jika dalam
perkara yang haram tersebut terdapat kemaslahatan. Begitu pula
sebaliknya.
Ironisnya, para pengusung gagasan-gagasan di atas juga mengetengahkan sejumlah argumentasi untuk membenarkan pendapat mereka. Mengenai musyârakah dengan pemerintahan yang tidak islami misalnya, mereka beralasan dengan kisah Nabi Yusuf as. Menurut mereka, Nabi Yusuf as. telah ber-musyârakah dengan pemerintahan yang tidak islami yang ada di Mesir saat itu. Mereka
juga beralasan dengan kisah Raja Najasyi yang memerintah dengan
hukum-hukum kufur, padahal pada saat kematiannya terbukti telah memeluk
agama Islam. Menurut mereka, dua kisah ini membuktikan bahwa musyârakah dengan pemerintahan yang tidak islami bukanlah perkara terlarang. Dalam
prespektif itu pulalah ungkapan yang dikutip oleh Syaikhul Islam Ibn
Taimiyah di atas dikemukakan. Dengan ungkapan di atas seakan-akan Ibnu
Taimiyah melegalkan musyârakah dalam pemerintahan yang tidak islami dan berkoalisi dengan partai-partai sekular.
Makna Sebenarnya
Lengkapnya, pernyataan Ibn Taimiyah di atas adalah sebagai berikut:
فَإِنَّ
النَّاسَ لَمْ يَتَنَازَعُوا فِي أَنَّ عَاقِبَةَ الظُّلْمِ وَخِيمَةٌ
وَعَاقِبَةُ الْعَدْلِ كَرِيمَةٌ وَلِهَذَا يُرْوَى: اللهُ يَنْصُرُ
الدَّوْلَةَ الْعَادِلَةَ وَإِنْ كَانَتْ كَافِرَةً وَلاَ يَنْصُرُ
الدَّوْلَةَ الظَّالِمَةَ وَإِنْ كَانَتْ مُؤْمِنَةً
Sesungguhnya
manusia tidak berselisih pendapat, bahwa dampak kezaliman itu sangatlah
buruk, sedangkan dampak keadilan itu adalah baik. Oleh
karena itu, dituturkan, “Allah menolong negara yang adil walaupun negara
itu kafir dan tidak akan menolong negara zalim, walaupun negara itu
Mukmin.”[1]
Untuk memahami maksud ungkapan di atas secara tepat, paling tidak ada 3 hal yang mesti kita perhatikan.
Pertama: bentuk ungkapan dan konteksnya. Dalam ungkapan di atas, Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah menggunakan kata yurwâ (diriwayatkan). Dalam ilmu ushulul-hadits, kata tersebut disebut dengan sighât at-tamrîdh yang lazim digunakan untuk meriwayatkan khabar dha’îf (lemah), tanpa sanad dari Nabi saw.[2] Ibn Taimiyah adalah ulama hadis. Beliau juga tentu menerapkan kaidah tersebut. Karena itu, bisa dipastikan,kata yurwâ menunjukkan bahwa beliau tidak yakin terhadap maqbûl
(diterima)-nya ’sanad’ ungkapan tersebut. Ini saja sebenarnya sudah
lebih dari cukup untuk menolak pendapat sebagian orang yang menjadikan
ungkapan Ibn Taimiyah di atas sebagi hujjah atas kebolehan ber-musyârakah dengan pemerintahan yang tidak islami, atau berkoalisi dengan partai-partai sekular.
Kedua: makna ungkapan. Seandainya dari sisi ’sanad’ ungkapan tersebut maqbûl
(padahal faktanya tidak), kita tetap harus mengkomparasikan ungkapan
tersebut dengan pandangan Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah tentang adil dan
keadilan. Dalam kitab As-Siyâsah asy-Syar’iyyah, Ibn Taimiyyah menjelaskan adil dan keadilan sebagai berikut:[3]
Inilah
pendapat Ibn Taimiyah tentang adil dan keadilan. Pendapat ini kurang
lebih sama dengan pendapat para fukaha dan para mufassir tentang
keadilan.[4] Imam
al-Qurthubi, misalnya, menuturkan riwayat dari Ibn Athiyah yang
menegaskan, bahwa adil adalah setiap hal yang difardhukan baik akidah
maupun syariah.[5]
Perlu dicatat, bahwa makna syar’i
keadilan itu tidak berbeda dengan makna keadilan secara bahasa.
Al-Hafidz al-Jurjani menegaskan, bahwa keadilan itu secara bahasa adalah
istiqamah, dan dalam syariah berarti istiqamah di jalan yang haq serta
jauh dari hal-hal yang dilarang.[6] Jadi makna konprehensif dari kata keadilan secara syar’i tidak keluar dari lingkup iltizâm terhadap apa yang ditunjuk oleh al-Kitab dan as-Sunnah; baik dalam akidah maupun ibadah, akhlak dan muamalah serta nizhâm yang lain.[7]
Dengan
demikian, kita tidak ragu sama sekali untuk menyatakan bahwa maksud
ungkapan Ibn Taimiyah di atas bukan untuk melegalisasi pemerintahan yang
tidak islami atau musyârakah dengan pemerintahan yang tidak islami atau berkoalisi dengan partai-partai sekular.
Ketiga: ungkapan di atas bukanlah fatwa Ibnu Taimiyah mengenai kebolehan melakukan musyârakah
dengan pemerintahan yang tidak islami atau kebolehan berkoalisi dengan
partai-partai sekular sehingga seseorang menyatakan bahwa kita boleh
bertaklid pada fatwa seorang ulama. Sebab, pernyataan tersebut hanyalah
pernyataan yang dikutip oleh Ibnu Taimiyah dengan shighât at-tamrîdh, sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Alhasil dengan “munâqasyah” di atas, bisa kita simpulkan bahwa ungkapan yang dikutip oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmû’ al-Fatâwâ di atas tidak bisa dijadikan argumen atas kebolehan musyârakah dengan pemerintahan yang tidak islami atau kebolehan koalisi dengan partai-partai sekular. Apalagi konteks
ungkapan Ibn Taimiyah di atas pada dasarnya hanyalah ungkapan
hiperbolik yang menjelaskan keutamaan adil serta dorongan agar seseorang
berbuat adil, tidak lebih. Ungkapan ini disitir oleh Imam Ibnu Taimiyah pada bab qâ’idah fi al-hisbah (kaidah dalam masalah hisbah/peradilan). Jadi,
ungkapan ini hanya berhubungan dengan topik peradilan dan hal-hal yang
berkaitan dengan peradilan, yakni keharusan seorang qâdhi
(hakim) menegakkan keadilan dan rasa aman di tengah-tengah masyarakat.
Tentu ungkapan di atas sama sekali tidak berhubungan dengan kebolehan
seorang Muslim melakukan musyârakah dengan pemerintahan yang tidak islami, atau melakukan koalisi dengan partai-partai sekular (kafir).
Khatimah
Lalu
bagaimana kewajiban kita? Kewajiban kita adalah mengubah masyarakat
yang tidak islami menjadi masayarakat yang islam. Di dalam sebuah hadis
yang diriwayatkan oleh Sulaiman Ibnu Buraidah dituturkan bahwa Nabi saw.
pernah bersabda:[8]
أُدْعُهُمْ إِلَى
الإِسْلاَمِ فَإِنْ أَجَـابُوكَ فأَقْبِلْ مِنْهُمْ و كُفَّ عَنْهُمْ
ثُمَّ أُدْعُهُمْ إِلَى التَّحَوّلِ مِنْ دَارِهِمْ الى
دَارِالمُهَاجِرِيْنَ و أَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ
فَلَهُمْ ما لِلْمُهَاجِرِيْنَ وَ عَلَيْهِمْ مَا عَلَى الْمُهَاجِريْنَ
Serulah
mereka pada Islam. Jika mereka menyambutnya, terimalah mereka dan
hentikanlah peperangan terhadap mereka, kemudian ajaklah mereka
berpindah dari negerinya (dâr al-kufr) ke Dâr al-Muhâjirîn (Dâr al-Islâm; yang berpusat di Madinah); beritahukanlah
kepada mereka bahwa jika mereka telah melakukan semua itu maka mereka
akan mendapatkan hak yang sama sebagaimana yang dimiliki kaum Muhajirin
dan juga kewajiban yang sama seperti halnya kewajiban kaum Muhajirin.
Hadis tersebut menjelaskan dengan shârih (jelas) kewajiban seorang Muslim untuk mengubah sistem yang tidak islami menjadi sistem Islam.
Nabi saw. juga memerintahkan kaum Muslim untuk memerangi para penguasa yang telah menampakkan kekufuran nyata (kufr[an] bawâh[an]). Imam al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadis dari Ubadah bin Shamit yang berkata:[9]
دَعَانَا
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ
فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي
مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا
وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ اْلأَمْرَ أَهْلَهُ إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا
بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
Nabi
saw. pernah mengundang kami. Lalu kami mengucapkan baiat kepada beliau
dalam segala sesuatu yang diwajibkan kepada kami: bahwa kami berbaiat
kepada beliau untuk selalu mendengarkan dan taat [kepada Allah dan
Rasul-Nya], baik dalam kesenangan dan kebencian kami, kesulitan dan
kemudahan kami; beliau juga menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut
suatu urusan dari ahlinya kecuali jika kalian (kita) melihat kekufuran
secara nyata [dan] memiliki bukti yang kuat dari Allah (HR al-Bukhari).
Hadis
ini menunjukkan bahwa seorang Muslim wajib mencabut kekuasaan dari
seorang penguasa yang telah terjatuh pada kekufuran yang nyata (kufr[an] bawâh[an]).
Pada
saat yang sama, Nabi saw. tetap memerintahkan kaum Muslim untuk menaati
penguasa zalim dan fasik, sepanjang dia masih menerapkan syariah Islam
dalam kehidupan negara dan masyarakat. Nash-nash yang
berbicara masalah ini sangatlah banyak. Di antaranya adalah hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:[10]
مَنْ
كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ لَيْسَ
أَحَدٌ مِنْ النَّاسِ خَرَجَ مِنْ السُّلْطَانِ شِبْرًا فَمَاتَ عَلَيْهِ
إِلاَّ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
Siapa saja membenci sesuatu yang ada pada pemimpinnya (Imam/Khalifah), hendaklah ia bersabar. Sebab,
tak seorang pun boleh memisahkan diri dari jamaah, sekalipun hanya
sejengkal, kemudian dia mati, maka matinya adalah seperti mati Jahiliah.
Terkait dengan hadis ini Imam al-Hafidz an-Nawawi[11] menegaskan, “Ahlus Sunnah wal Jamaah bersepakat, bahwa penguasa (Imam/Khalifah) itu tidak diturunkan hanya karena kefasikannya.” Selanjutnya Imam an-Nawawi[12] menegaskan: Sebab
mengapa penguasa (Imam/Khalifah) yang fasik tersebut tidak diturunkan
serta mengapa haram keluar dari kekuasannya adalah akan berakibat pada
terjadinya fitnah, tertumpahnya darah dan kerusakan karena
permusuhan…Karena itu, kerusakan yang terjadi akibat penurunan
Khalifah/Imam adalah lebih besar daripada kalau mereka dibiarkan (tetap
berkuasa). Wallâhu a’lam bi ash-shawâb.
Catatan kaki:
1 Ibnu Taimiyyah, Majmû’ al-Fatâwâ, VI/322.
2 Jamaluddin al-Qashimi, Qawâ’id at-Tahdîts fî Fununi Musthalah al-Hadîts, 1/77.
3 Lihat: Ibn Taimiyyah, As-Siyâsah asy-Syar’iyyah, Dar al-Ma’arif li ath-Thiba’ah wa an-Nasyr, Beirut, tt., hlm. 15 dan 156; Al-Jurjani, At-Ta’rîfât, hlm. 147.
4 Syaikh Ihsan Abdul Mun’im Samarah, Mafhûm al-‘Adâlah al-Ijtimâ’iyah fî al-Fikri al-Islâmi al-Mu’âshir, hlm. 49.
5 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, X/165-166.
6 Al-Jurjani, At-Ta’rîfât, hlm. 152.
7 Dr. Muhammad Sidiq Afifi, Al-Mujtama al-Islâmi wa al-‘Alaqah ad-Dauwiyyah, 91.
8 Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahîh Muslim, V/139.
9 Al-Bukhari, Al-Jâmi’ash-Shahîh, VI/2588, hadis nomor 6647.
10 Ibid, VI/2588, hadis nomor 6645.
11 Al-Hafizh an-Nawawi, Shahîh Muslim bi Syarhi an-Nawâwi, juz 6 hal 314
12 Ibid.
0 komentar :
Posting Komentar
Ikhwah fillah, mohon dalam memberikan komentar menyertakan nama dan alamat blog (jika ada). Jazakumullah khairan katsir