Tampilkan postingan dengan label tsaqofah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tsaqofah. Tampilkan semua postingan

31 Maret 2019

Keutamaan Istiqamah Dalam Takwa dan Ibadah

Istiqomah berasal dari bahasa arab “istaqama-yastaqimu-istiqamatan” yang berarti lurus, tegak, atau konsisten. Istiqomah merupakan salah satu petunjuk dari Allah SWT.

عن سفيان بن عبد الله رضي الله عنه قال: قلت: يارسول الله! قل لي في الاسلام قولا, لا أسأل عنه أحدا غيرك؟. قال: “قل آمنت بالله ثم استقم”

Dari Sufyan bin Abdullah radhiyallaahu’anhu, ia berkata: aku berkata wahai Rasulullah ! Katakanlah padaku tentang islam dengan sebuah perkataan yang mana saya tidak akan menanyakannya kepada seorangpun selainmu. Nabi menjawab: “katakanlah: Aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamahlah”. (HR Muslim)

Beberapa Fadhilah Orang yang Istiqamah

1. Orang-orang yang beriman yang senantiasa beramal shalih kemudian ia istiqomah insya Allah ia akan berhasil dengan kemenangan yang besar.

يَٰأيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواٱتَّقُوا ٱللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَٰلَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al-Ahzab [33] : 71)

2. Rizki barokah dan tercukupi

وَأَلَّوِ ٱسْتَقَٰمُوا عَلَى ٱلطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَٰهُم مَّاءً غَدَقًا

“Dan bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak).“ (QS. Al-Jin [72] : 16)

3. Diberi kemudahan dalam sakaratul maut.

إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسْتَقَٰمُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ ٱلْمَلَٰئِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِٱلْجَنَّةِ ٱلَّتِى كُنتُمْ تُوعَدُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu". (QS. Fushshilat [41] : 30)

Ayat ini berkaitan dengan sakaratul maut menurut Ibnu Katsir.

4. Ketika masuk alam kubur dan akan dibangkitkan dan dia dijamin masuk surga.

نَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَأَخْبَتُوا إِلَىٰ رَبِّهِمْ أُولَٰئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلْجَنَّةِ ۖ هُمْ فِيهَا خَٰلِدُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh dan merendahkan diri kepada Tuhan mereka, mereka itu adalah penghuni-penghuni surga; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Hud [11] : 23)

5. Kekal di Surga

إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسْتَقَٰمُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ. أُولَٰئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلْجَنَّةِ خَٰلِدِينَ فِيهَا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Sesungguhnya orang orang yang tetap istiqomah tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada pula berduka cita. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan” (QS Al Ahqaf : 13,14)

6. Pahala Investasi

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا

Jika seseorang melakukan safar, maka dia akan dicatat melakukan amalan sebagaimana amalan rutin yang dia lakukan ketika mukim tidak bepergian) dan dalam keadaan sehat”. (HR Bukhari no 2996).

7. Amal yang paling dicintai Allah

Dalam sebuah hadist digambarkan :

أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

“Berbuat sesuatu yang tepat dan benarlah kalian dan amal yang paling dicintai Allah adalah amalan yang terus menerus meskipun sedikit”. (HR Bukhari).

Hadist tersebut menunjukkan bahwa amalan yang kontinu atau terus-menerus ternyata lebih dicintai oleh Allah meskipun amalan itu sedikit. Artinya dalam beribadah bukan hanya sekedar banyaknya saja yang harus kita unggulkan, melainkan lebih baik kita menjaga kerutinannya. [Muhammad Tohir]

Wallahu A’lam


08 Oktober 2018

Tafsir An Nahl Ayat 18 Menurut Ibnu Katsir

Dalam surat An Nahl ayat 18, Allah SWT berfirman:

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوها إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ

"Jika kalian menghitung-hitung nikmat Allah niscaya kalian tidak akan mampu melakukannya, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang"

 أَيْ يَتَجَاوَزُ عَنْكُمْ، وَلَوْ طَالَبَكُمْ بِشُكْرِ جَمِيعِ نِعَمِهِ لَعَجَزْتُمْ عَنِ الْقِيَامِ بِذَلِكَ، وَلَوْ أَمَرَكُمْ بِهِ لَضَعُفْتُمْ وَتَرَكْتُمْ، وَلَوْ عَذَّبَكُمْ لَعَذَّبَكُمْ وَهُوَ غَيْرُ ظَالِمٍ لَكُمْ، وَلَكِنَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ، يَغْفِرُ الْكَثِيرَ وَيُجَازِي عَلَى الْيَسِيرِ، وَقَالَ ابْنُ جَرِيرٍ «1» : يَقُولُ إن الله لغفور لِمَا كَانَ مِنْكُمْ مِنْ تَقْصِيرٍ فِي شُكْرِ بَعْضِ ذَلِكَ إِذَا تُبْتُمْ وَأَنَبْتُمْ إِلَى طَاعَتِهِ واتباع مرضاته، رحيم بكم لا يعذبكم بعد الإنابة والتوبة.

“Allah mengampuni kalian. Kalau lah Allah meminta kalian untuk mensyukuri segala nikmat darinya niscaya kalian akan gagal untuk melakukannya. Kalau Allah memerintahkan untuk mensyukuri segala nikmat-Nya niscaya kalian akan dibuat lelah karenanya dan akhirnya kalian berhenti melakukannya, kalau Allah ingin mengadzab kalian pastilah kalian sudah ditimpa adzab, dan Allah tidak lah berlaku Dzalim kepada kalian, Akan tetapi Allah itu Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Ia mengampuni yang banyak (dosa), dan membalas yang sedikit (kebaikan). Berkata Ibnu Jarir Ath-Thabari, ‘Sesungguhnya Allah pasti mengampuni segala yang ada pada diri kalian, yakni kelalaian kalian dalam bersyukur atas nikmat Allah jika kalian bertaubat dan kembali untuk taat kepadanya dan mencari ridho-Nya. Semoga rahmat Allah untuk kalian, Allah tidak akan mengadzab kalian setelah penyesalan dan taubat kalian’,”. (Maktabah Syamilah v.3)

14 September 2016

Download MP3 Kajian Hadits Masjid Unpad Bandung (On Going)

Bismillah...
Langsung saja, yang ingin donwload rekaman kajian Hadits di Masjid Unpad Bandung. Kajian ini dilaksanakan setiap malam Rabu, dari ba'da maghrib hingga setengah sepuluh malam. Dibagi menjadi dua sesi, kajian ini dihadirkan oleh panitia untuk pemula, seperti saya. Sesi pertama adalah Syarah Al Manzhumah Al Baiquniyah oleh Al Ustadz Yuana Ryan Tresna -hafidzahullah-, mahasiswa Doktoral bidang Penelitian Balaghah pada Hadits-Hadits Qudsi. Beliay juga merupakan murid dari Al Ustadz DR. Ahmad Luthfi Fathullah, MA -hafidzahullah-, seorang pakar Hadits asli Indonesia. 
Sesi kedua adalah pembacaan Hadits Jami' Al Kabir (Sunan Tirmidzi) oleh Al Ustadz Fadhil Al Makkiy, Lc -hafidzahullah-, beliau adalah alumni Madrasah Shaulatiyah Makkah. Perlu diketahui Al Ustadz Fadhil Al Makkiy -hafidzahullah- adalah pemegang sanad beberapa kitab, termasuk sunan Tirmidzi. Oleh karena itu, pembacaan hadits ini juga sekaligus pemberian ijazah sanad kepada para thullab yang mengikuti kajian hingga selesai dibaca seluruh hadits dalam Sunan Tirmidzi. 
Kajian hadits ini baru berjalan 2 pertemua, dan insya Allah akan terus diupdate.
Saya mohon maaf jika kualitas suara kurang baik. Saya juga mohon maaf, jika ada bagian-bagian yang tidak sempat direkam.
Untuk mendownload semua file sekaligus, silahkan klik kanan atas box list file.
Untuk mendownload file satu-persatu, silahkan klik tombol panah kecil disamping kan setiap file yang ingin didownload.
Semoga bermanfaat!


11 Oktober 2015

Hubungan Ahli Fiqih dan Ahli Hadits Zaman Dulu

Entah siapa yang memulai, dikotomi antara muhaddits dan faqih hari-hari ini anginnya terasa cukup kencang saja. Meskipun sebenarnya hal itu bukanlah hal baru. Memang, dari namanya saja sudah beda, muhaddits adalah ulama yang intens dalam membahas hadits, sedangkan faqih adalah ulama yang intens membahas fiqih.

Perbedaan itu akan menjadi harmoni jika keduanya bekerja sama dengan apik, dan itulah yang terjadi pada ulama’-ulama’ Islam terdahulu. Sebut saja Imam Abu Hanifah (w. 150 H); seorang faqih dan al-A’masy (w. 148 H); seorang ahli hadits.

Hal itu sebagaimana diceritakan oleh al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H) dalam kitabnya Nashihatu Ahli al-Hadits [1].

Suatu ketika al-A’masy (w. 148 H) duduk bersama Imam Abu Hanifah (w. 150 H). datanglah seorang laki-laki bertanya sesuatu hukum kepada al-A’masy. Al-‘Amasy berkata; wahai nu’man! (Imam Abu Hanifah), jawablah pertanyaan itu! Akhirnya Imam Abu Hanifah menjawab pertanyaan itu dengan baik. Al-A’masy kaget dan bertanya, dari mana kamu dapat jawaban itu wahai Abu Hanifah? Imam Abu Hanifah menjawab, dari hadits yang engkau bacakan kepada kami.

Al-A’masy (w. 148 h) menimpali:

نعم نحن صيادلة وأنتم أطباء

Iya benar, kami ini apoteker dan kalian adalah dokternya

Selain itu, tak bisa dipungkiri juga, ada ulama yang selain faqih juga muhaddits. Tapi itu sangat sedikit jumlahnya. Sebut saja Imam Syafi’i (w. 204 H).

Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) berkata tentang Imam Syafi’i (w. 204 H), sebagaimana dinukil oleh al-Hafidz Ibnu Asakir (w. 571 H) [2]

كان الفقهاء أطباء والمحدثون صيادلة فجاء محمد بن إدريس الشافعي طبيبا صيدلانيا

Dahulu Ahli Fiqih itu dokter, sedangkan muhaddits adalah apotekernya. Sehingga datanglah Imam as-Syafi’i, beliau adalah dokter sekaligus apoteker

Pemisahan tugas muhaddits dan faqih bukanlah sesuatu yang negatif. Karena dari situlah para ulama sadar diri atas keilmuan yang dikuasainya. Sehingga antara muhadits dan faqih itu bisa saling bersinergi dalam kebaikan.

Terjadi masalah jika seorang apoteker merasa tidak butuh dokter, bahkan malah buka prakter kedokteran sendiri di apoteknya. Dikotomi muhaddits dan faqih menjadi negatif jika salah satu dari keduanya merasa tidak butuh dengan yang lain.

Kita dapati saat ini ada yang berkata, “Seorang faqih itu haruslah seorang muhaddits, tetapi muhaddits tidak harus seorang faqih. Karena seorang muhaddits itu otomatis pasti seorang faqih”. Muhaddits-muhaddits saat ini [atau yang digelari muhaddits oleh murid-muridnya] beranggapan sinis terhadap fiqih islam, ulama’-ulama’ fiqih dan madzhab-madzhab fiqih.

Merasa sudah mengikuti hadits maka berlepas diri dari pemahaman ulama fiqih dan madzhab ulama terdahulu, dengan membuat madzhab ahli hadits.

Dari sinilah pentingnya kita belajar kembali sejarah ulum al-hadits dan tokoh-tokohnya dari ulama terdahulu. Hal itu untuk menegaskan kembali bahwa justru berkembangnya ulum al-hadits itu berada di tangan ulama, yang mana kebanyakan  ulama itu juga mengikuti salah satu madzhab dalam fiqihnya.

Al-Imam ad-Dzahabi (w. 748 H) meninyindir Ahli Hadits di zamannya, beliau berkata [3]:

وكم من رجل مشهور بالفقه والرأي في الزمن القديم أفضل في الحديث من المتأخرين، وكم من رجل من متكلمي القدماء أعرف بالأثر من سنية زماننا

Banyak dari ulama yang terkenal dalam bidang fiqih dan ra’yu di zaman terdahulu, mereka lebih utama dalam hadits daripada ulama saat ini. Banyak dari ulama yang terkenal ahli ilmu kalam zaman terdahulu, mereka lebih banyak pengetahuannya tentang hadits daripada orang yang mengaku mengikuti sunnah zaman kita ini.

Itu ahli hadits abad ke-8 Hijriyyah pada masa Imam ad-Dzahabi (w. 748 H). Bagaimana dengan ahli hadits era maktabah syamilah? []

Sumber dan Judul Asli: Sejarah Perjalanan Ilmu Hadits (bag. 1) oleh Hanif Luthfi, Lc


[1] Abu Bakar al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H), Nashihatu Ahli al-Hadits, (Maktabah al-Manar, 1408), hal. 44

[2] Ibnu Asakir Ali bin Hasan Hibatullah (w. 571 H), Tarikh Dimasyqi, (Bairut: Daar al-Fikr, 1415 H), hal. 51/ 334

[3] Syamsuddin Muhammad bin Ahmad ad-Dzahabi al-Hafidz (w. 748 H), Zaghlul Ilmi, (Maktabah al-Shahwah al-Islamiyyah), hal. 32

10 Oktober 2015

Pengantar Ulumul Hadits: Sejarah dan Lingkup Kajiannya

Ummat islam memahami bahwa Allah SWT mengutus Rasulullah SAW sebagai pembawa kabar gembira sekaligus pemberi peringatan. Beliaulah yang mengajarkan dan mencontohkan pertama kali pokok-pokok ajaran dalam islam. Tentang keimanan, ibadah, mu’amalah, pakaian, minuman, peragaulan, peperangan, hingga masalah daulah (negara). Kam muslimin wajib menerima segala apa yang beliau perintah, dan meninggalkan apa yang beliau larang, sebagaimana firman Allah SWT.

وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

“Dan apa saja yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kalian, maka ambillah (laksanakanlah), dan apa saja yang kalian di larang untuk mengerjakannya, maka berhentilah (tinggalkanlah)!” (QS. Al-Hasyr: 7)

Karena begitu pentingnya ilmu ini, maka saya menuliskan pengantar tentangnya, yaitu sejarah, pengertian, dan lingkup kajian ulumul hadits. Ini bukan tulisan ilmiah, dan ditulis bukan oleh ahlinya. Tulisan ini hanya catatan seorang hamba yang faqir ilmu, ditulis dengan ringkas dan sederhana, untuk memudahkan penulis dalam mengingat pembahasannya. Besar harapan pembaca budiman bisa mengambil faidah dari tulisan ini. Bagi para Asatidz, kyai, dan masyaikh, mohon berkenan memberikan masukan dan kritik jika ditemukan kesalahan di dalam tulisan ini. Semoga Allah mengapuni dosa penulis dan memberikan kita semua ilmu yang bermanfaat. Aamiin!

1. Sejarah Ulumul Hadits

Menurut Thahan, pokok-pokok dalam masalah penyampaian riwayat dan berita dapat ditemukan dalam Al Qur’an dan Hadits Nabi SAW[i]. Dalam Surah Al Hujurat ayat ke-6, Allah SWT berfirman:

يَا أيُهَا الذِيْنَ ءَامَنُوْا إنْ جَاءَكمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَنُوْا

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu seorang yang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.” (QS. Al-Hujurat ayat 6)

Ayat ini menegaskan kepada orang-orang beriman untuk mengklarifikasi setiap pengambilan berita/riwayat, menjaga kebenarannya dan teliti dalam menyampaikannya kepada orang lain.

Rasulullah SAW juga bersabda:

نضر الله امرءً سمع منا شيئًا فبلغه كما سمع، فربّ مبلغٍ أوعى من سامع

Mudah-mudahan Allah memberi cahaya kepada seseorang yang mendengar sesuatu dari kami dan dia menyampaikannya sebagaimana yang ia dengarkan. Berapa banyak orang yang disampaikan lebih memahami daripada yang mendengarkan (secara langsung).” (HR. at-Tirmidzi)

Dikarenakan berita tidak mungkin diterima kecuali dengan mengenal sanad (jalan periwayatan)nya, maka muncullah ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil, perbincangan tentang keadaan para perawi, mengenal riwayat yang muttashil (bersambung) atau munqathi’ (terputus) dari sanad-sanad, mengenal ‘illah yang tersembunyi dan lain-lain. Akan tetapi, semua ini masih dalam lingkup yang sangat kecil disebabkan oleh sedikitnya perawi yang bermasalah di permulaan munculnya ilmu ini.[ii]

Kemudian, para ulama mulai melebarkan pembahasan ini hingga muncullah perhatian yang besar terhadap berbagai cabang ilmu yang berkait dengan hadits; dari sisi dhabt (akurasi) hadits, metode pengambilan dan penyampaian hadits, pengetahuan tentang nasikh dan mansukh, hadits gharib dan lain-lain. Hanya saja, saat itu, semua ini dilakukan oleh para ulama secara lisan.

Walaupun hadits kebanyakan disampaikan secara lisan, bukan berarti penulisan hadits sama sekali tidak ada. Bahkan sejak masa awal-awal islam sekalipun, para shahabat sudah menulis hadits Nabi Muhammad SAW, meski hanya untuk kepentingan pribadi saja. Karena waktu itu Rasul melawang para shahabatnya menulis hadits karena khawatir tercampur dengan Al Qur’an. Seperti dalam sabdanya:

لَا تَكْتُبُوا عَنِّي وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ وَحَدِّثُوا عَنِّي وَلَا حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ قَالَ هَمَّامٌ أَحْسِبُهُ قَالَ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

“Jangan kalian tulis sesuatu yang telah kalian terima dariku selain Al Qur’an. Barangsiapa menuliskan yang ia terima dariku selain al Qur’an, hendaklah ia hapus. Ceritakan saja yang kalian terima dariku, tidak mengapa. Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya dari neraka.” (HR Muslim)

Barulah kemudian, di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz lah penulisan hadits secara massal dilakukan. Hal itu diperintahkan oleh sang Khalifah karena setelah masa wafatnya Rasul hingga zaman beliau telah beredar banyak sekali hadits palsu yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu demi berbagai tujuan. [iii]

Demi meneliti kualitas hadits yang dihimpun, para ulama menciptakan beberapa kaidah dan ilmu pengetahuan seputar hadits, yang dengannya mereka dapat membagi-bagi hadits sesuai dengan kualitasnya. Kaidah-kaidah ini sangat berguna dalam menyeleksi periwayatan sebuah hadits. Disinilah mulai lahir ilmu hadits dirayah, meski masih dalam bentuk yang sangat sederhana, dan kemudian disempurnakan oleh para ulama yang muncul pada abad ke 2 dan 3 Hijriyah.[iv]

Menurut Luthfi, Imam Syafi’i (w. 204 H) bisa dikatakan merupakan ulama yang pertama menulis ilmu mushtalah hadits dalam pengertian saat ini, yaitu ketika menulis kitab ar-Risalah. Meski kitab itu berbicara mengenai ushul fiqih, tetapi di dalamnya terdapat kaedah-kaedah ilmu hadits; seperti syarat-syarat hadits bisa dijadikan hujjah, kehujjahan hadits ahad, syarat-syarat ketsiqahan seorang rawi, hukum meriwayatkan hadits dengan maknanya saja, hukum riwayat hadits rawi mudallis, hukum hadits mursal dan lain sebagainya.[v]

Hingga akhirnya, ketika ilmu ini telah matang, istilah sudah mulai baku di kalangan ulama dan setiap disiplin ilmu mulai berdiri sendiri, pada abad IV Hijri, para ulama mulai menuliskan ilmu musthalah dalam buku-buku yang tersendiri. Dan yang pertama kali dikenal menulis ilmu ini dalam sebuah buku tersendiri adalah al-Qadhi Abu Muhammad al-Hasan bin Abdirrahman bin Khallad al-Ramahurmuzi rahimahullahu (w. 360 H) dalam kitabnya “al-Muhaddits al-Fâshil baina ar-Râwi wa al-Wâ’iy”.[vi]

Ulama selanjutnya yang menulis ilmu mushtalah hadits adalah Imam Abu Abdillah Muhammad bin Abdurrahman al-Hakim an-Naisaburi (w. 405 H), beliau menulis kitab yang berjudul Ma’rifat Ulum al-Hadits. Imam al-Hakim mengumpulkan paling tidak 52 bab ulum al-hadits. Adapun ulama yang cukup komplit menulis ilmu musthalah hadits adalah Imam al-Khatib al-Baghdadi Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Tsabit as-Syafi’i (w. 463 H), beliau menulis beberapa kitab tentang ilmu musthalah hadits. Diantara kitab itu adalah al-Kifayah fi Ilmi ar-Riwayah, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi wa Adab as-Sami’, ar-Rihlah fi Thalab al-Hadits, Taqyid al-Ilmi, al-Mazid fi Muttashil al-Asanid.

Maka tak heran banyak ulama setelahnya mengambil banyak faedah dari kitab-kitab al-Khatib al-Baghdadi as-Syafi’i (w. 463 H) tersebut. Imam Abu Bakr Muhammad bin Nuqthah (w. 629 H) mengatakan:

ولا شبهة عند كل لبيب أن المتأخرين من أصحاب الحديث عيال علي أبي بكر الخطيب

“Tidak bisa dipungkiri, Ulama ahli hadits saat ini semuanya merujuk kepada Ali Abu Bakar al-Khatib”[vii]

2. Hadits dan Ilmu Hadits

Hadits secara bahasa berarti al-Jadid (baru). Sedangkan menurut istilah, hadits adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir (diamnya) maupun sifatnya.[viii] Pengertian ini adalah apa yang dikemukakan oleh Ahli Hadits. Adapun menurut Ahli Ushul, hadits adalah semua perkataan Nabi SAW, perbuatan dan taqrirnya yang berkaitan dengan hukum-hukum syara’ dan ketetapannya.”[ix]

Perbedaan antara keduanya adalah, jika ahli hadits menganggap setiap hal yang melekat pada Nabi SAW (sekalipun kebiasaan yang bersifat kemanusiaan) sebagai hadits, sedangkan menurut ahli ushul, hadits hanyalah yang berkaitan dengan posisi Muhammad SAW sebagai pembuat undang-undang di samping Allah SWT, dan tidak termasuk didalamnya kebiasaan dan sifat beliau kemanusiaan Nabi SAW.

Istilah-istilah lain yang sering digunakan untuk menyebut hadits adalah As Sunnah. Menurut An Nabhani, secara bahasa makna As Sunnah adalah jalan, sedangkan secara syar’i As Sunnah digunakan untuk hal-hal yang masuk kategori ibadah yang bersifat nafilah yang dinukil dari Nabi Alaihis-salam. Kadang digunakan untuk apa saja yang bersumber dari Rasul, baik perkataan, perbuatan atau takrir, semua itulah yang disebut As Sunnah.[x]

Selain itu, kata yang juga memiliki makna yang sama dengan hadits adalah Khabar dan Atsar. Istilah ini kadang digunakan sebagai kata lain hadits, namun kadang juga bisa berbeda arti dari hadits. Menurut Thahan, kata khabar digunakan untuk menyebut berita selain dari Nabi SAW dan sedangkan atsar untuk sesuatu yang disandarkan kepada Shahabat dan tabi’in baik berupa perkataan dan perbuatan.[xi]

Adapu ilmu hadits menurut As-Suyuthi adalah: “Ilmu yang membahas tata cara persambungan hadits sampai kepada Rasulullah SAW dari sisi seluk beluk perawinya; kedhabitan, keadilan, dan bersambung tidaknya nata rantai sanad.”[xii] Jadi, ilmu hadits adalah ilmu yang berkaitan dengan hadist.

3. Lingkup Kajian Ulumul Hadits

Kata ulum merupakan bentuk plural dari kata ilmu. Sederhananya, ulumul hadits adalah ilmu-ilmu yang berkaitan langsung degan hadits Nabi SAW. Secara garis besar, ilmu hadits diklasifikasikan dalam dua ilmu besar, yaitu ilmu Riwayah dan ilmu Dirayah. Ilmu riwayah adalah ilmu yang ilmu yang mempelajari perkataan, perbuatan taqrir (sikap diam) dan sifat-sifat Nabi. Dengan kata lain ilmu hadist riwayah adalah ilmu yang membahas segala sesuatu yang datang dari Nabi baik perkataan, perbuatan, ataupun takrir. Sedang Ilmu Hadist Dirayah adalah ilmu yang mempelajari tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara-cara menerima dan menyampaikan hadist dan sifat-sifat perawinya. Oleh karena itu yang menjadi objek pembahasan dari ilmu hadist dirayah adalah keadaan matan, sanad dan rawi hadist.

Secara umum, kajian dalam ulumul hadits mencakup banyak cabang ilmu, berikut penulis ringkas dari Zein, di antaranya:

1) Ilmu Rijalul Hadits, berbicara tentang seluk beluk perawi hadits sebagai kapasitasnya sebagai perawi hadits, hingga sejarah kehidupannya.

2) Ilmu Tarikhur Ruwah, bicara tentang sejarah hidup para rawi, dimana dilahirkan, dari siapa mereka menerima hadits, siapa saja yang mengambil hadits dari mereka, hingga kapan dan dimana mereka meninggal dunia.

3) Ilmu Jarh wat Ta’dil, yaitu alat untuk mengungkap sisi negatif (jarh) dan positif (ta’dil) yang melekat pada diri para rawi. Sudut pandang yang digunakan ada dua, yakni ‘Adalah (integritas keagamaan) dan Dhabit (Kapasitas intelektual)

4) Ilmu Asbabul Wurud, yaiut ilmu yang berkaitan dengan sebab-sebab suatu hadits dikeluarkan oleh Nabi Muhammad SAW.

5) Ilmu an Nasikh wal Mansukh, berbicara tentang saling menghapusnya hadits terhadap hadits lain karena adanya pertentangan secara lahiriyah dan tidak memungkinkan untuk dilakukan kompromi.

6) Ilmu ‘Ilal Hadits, membahas tentang hal-hal tersembunyi yang bisa membuat hadits shahih menjadi tercemar.

7) Ilmu Gharibul Hadits, ilmu yang berbicara tentang kosakata – kosakata yang sulit dipahami karena kata tersebut tidak dikenal atau memang asing.

8) Ilmu Mukhtaliful Hadits, ilmu tentang pertentangan antar hadits secara lahiriyah, namun kemudian dihilangkan pertentangannya atau keduanya dikompromikan, baik dengan cara men-ta’yid kemutlakannya, men-takhshish ke-umumannya, atau dengan cara membawanya kepada beberapa kejadian yang relevan dengan hadits tersebut, dan lain-lain.

9) Ilmu At Tash-hif wat Tahrif, ilmu yang bicara tentang perubahan yang terjadi pada hadits baik berupa titik atau syakal, dan juga bentuknya karena disebabkan kesalahan dalam membaca ataupun saat mendengarkannya.

Selain cabang-cabang ilmu di atas, dalam ulumul hadits juga dibicarakan tentang hadits dari sisi banyaknya periwayatan (mutawattir, ahad, ‘aziz, gharib, dan masyhur), kualitas hadits (shahih, hasan, shahih li ghairihi, hasan li ghairihi, dhaif, dan maudhu’), diterima atau ditolak (maqbul dan mardud), hadits ditinjau dari ketersambungan sanad (muttashil, marfu’, munqathi’, dll), serta bahasan-bahasan lain yang masih sangat banyak. Allahu a’lam bish shawab.[Muhammad Tohir]


[i] DR. Mahmud Thahan. Ilmu Hadits Praktis (Terjemah Taysir Musthalah Hadits. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, hal. 6

[ii] Ibid, hal. 8

[iii] KH. Ma’shum Zein, MA. Ilmu Memahami Hadits Nabi. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, hal. 84

[iv] Ibid, hal. 85

[v] Hanif Luthfi, Lc. Sejarah Perjalanan Ilmu Hadits. http://rumahfiqih.com, diakses pada Sabtu, 10 Oktober 2015

[vi] DR. Mahmud Thahan. Op. cit

[vii] Hanif Luthfi, Lc. Op.cit

[viii] DR. Mahmud Thahan. Op. cit, hal. 13

[ix] KH. Ma’shum Zein, MA. Op. cit, hal. 3

[x] Taqiyuddin An Nabhani. Asy-Syakhsiyah Al-Islamiyah. , hal. 54

[xi] DR. Mahmud Thahan. Op. cit, hal. 14

[xii] KH. Ma’shum Zein, MA. Op. cit, hal. 81

10 Januari 2015

Memahami Pengertian Riba, Hukum, dan Macam-Macanya [Part 2]

Definisi Riba

Secara literal, riba bermakna tambahan (al-ziyadah)[1]. Sedangkan menurut istilah; Imam Ibnu al-‘Arabiy mendefinisikan riba dengan; semua tambahan yang tidak disertai dengan adanya pertukaran kompensasi.[2] Imam Suyuthiy dalam Tafsir Jalalain menyatakan, riba adalah tambahan yang dikenakan di dalam mu’amalah, uang, maupun makanan, baik dalam kadar maupun waktunya[3]. Di dalam kitab al-Mabsuuth, Imam Sarkhasiy menyatakan bahwa riba adalah al-fadllu al-khaaliy ‘an al-‘iwadl al-masyruuth fi al-bai’ (kelebihan atau tambahan yang tidak disertai kompensasi yang disyaratkan di dalam jual beli). Di dalam jual beli yang halal terjadi pertukaran antara harta dengan harta. Sedangkan jika di dalam jual beli terdapat tambahan (kelebihan) yang tidak disertai kompensasi, maka hal itu bertentangan dengan perkara yang menjadi konsekuensi sebuah jual beli, dan hal semacam itu haram menurut syariat.[4] Dalam Kitab al-Jauharah al-Naiyyirah, disebutkan; menurut syariat, riba adalah aqad bathil dengan sifat tertentu, sama saja apakah di dalamnya ada tambahan maupun tidak. Perhatikanlah, anda memahami bahwa jual beli dirham dengan dirham yang pembayarannya ditunda adalah riba; dan di dalamnya tidak ada tambahan[5].
Di dalam Kitab Nihayat al-Muhtaaj ila Syarh al-Minhaaj, disebutkan; menurut syariat, riba adalah ‘aqd ‘ala ‘iwadl makhshuush ghairu ma’luum al-tamaatsul fi mi’yaar al-syar’ haalat al-‘aqd au ma ta`khiir fi al-badalain au ahadihimaa” (aqad atas sebuah kompensasi tertentu yang tidak diketahui kesesuaiannya dalam timbangan syariat, baik ketika aqad itu berlangsung maupun ketika ada penundaan salah satu barang yang ditukarkan)[6].

Sengsara karena riba'.
Dalam Kitab Hasyiyyah al-Bajairamiy ‘ala al-Khathiib disebutkan; menurut syariat, riba adalah ‘aqd ‘ala ‘iwadl makhshuush ghairu ma’luum al-tamaatsul fi mi’yaar al-syar’ haalat al-‘aqd au ma ta`khiir fi al-badalain au ahadihimaa” (aqad atas sebuah kompensasi tertentu yang tidak diketahui kesesuaiannya dalam timbangan syariat, baik ketika aqad itu berlangsung maupun ketika ada penundaan salah satu barang yang ditukarkan, maupun keduanya)”. Riba dibagi menjadi tiga macam; riba fadlal, riba yadd, riba nasaa`[7]. Pengertian riba semacam ini juga disebutkan di dalam Kitab Mughniy al-Muhtaaj ila Ma’rifat al-Faadz al-Minhaaj.[8]

Hukum Riba

Seluruh ‘ulama sepakat mengenai keharaman riba, baik yang dipungut sedikit maupun banyak. Seseorang tidak boleh menguasai harta riba; dan harta itu harus dikembalikan kepada pemiliknya, jika pemiliknya sudah diketahui, dan ia hanya berhak atas pokok hartanya saja.

Al-Quran dan Sunnah dengan sharih telah menjelaskan keharaman riba dalam berbagai bentuknya; dan seberapun banyak ia dipungut. Allah swt berfirman;
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبا لا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

"Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,” padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. [TQS Al Baqarah (2): 275].
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لا تَظْلِمُونَ وَلا تُظْلَمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. [TQS Al Baqarah (2): 279].

Di dalam Sunnah, Nabiyullah Mohammad saw:
دِرْهَمُ رِبَا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتٍّ وَثَلَاثِيْنَ زِنْيَةً

“Satu dirham riba yang dimakan seseorang, dan dia mengetahui (bahwa itu adalah riba), maka itu lebih berat daripada enam puluh kali zina”. (HR Ahmad dari Abdullah bin Hanzhalah).
الرِبَا ثَلاثَةٌَ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أَيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ, وَإِنَّ أَرْبَى الرِّبَا عَرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمَ

“Riba itu mempunyai 73 pintu, sedang yang paling ringan seperti seorang laki-laki yang menzinai ibunya, dan sejahat-jahatnya riba adalah mengganggu kehormatan seorang muslim”. (HR Ibn Majah).
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّباَ وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ, وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ

“Rasulullah saw melaknat orang memakan riba, yang memberi makan riba, penulisnya, dan dua orang saksinya. Belia bersabda; Mereka semua sama”. (HR Muslim)

Di dalam Kitab al-Mughniy, Ibnu Qudamah mengatakan, “Riba diharamkan berdasarkan Kitab, Sunnah, dan Ijma’. Adapun Kitab, pengharamannya didasarkan pada firman Allah swt,”Wa harrama al-riba” (dan Allah swt telah mengharamkan riba) (Al-Baqarah:275) dan ayat-ayat berikutnya. Sedangkan Sunnah; telah diriwayatkan dari Nabi saw bahwasanya beliau bersabda, “Jauhilah oleh kalian 7 perkara yang membinasakan”. Para shahabat bertanya, “Apa itu, Ya Rasulullah?”. Rasulullah saw menjawab, “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan haq, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari peperangan, menuduh wanita-wanita Mukmin yang baik-baik berbuat zina”. Juga didasarkan pada sebuah riwayat, bahwa Nabi saw telah melaknat orang yang memakan riba, wakil, saksi, dan penulisnya”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]…Dan umat Islam telah berkonsensus mengenai keharaman riba.”[9]

Imam al-Syiraaziy di dalam Kitab al-Muhadzdzab menyatakan; riba merupakan perkara yang diharamkan. Keharamannya didasarkan pada firman Allah swt, “Wa ahall al-Allahu al-bai` wa harrama al-riba” (Allah swt telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba)[Al-Baqarah:275], dan juga firmanNya, “al-ladziina ya`kuluuna al-riba laa yaquumuuna illa yaquumu al-ladziy yatakhabbathuhu al-syaithaan min al-mass” (orang yang memakan riba tidak bisa berdiri, kecuali seperti berdirinya orang yang kerasukan setan)”. [al-Baqarah:275]…..Ibnu Mas’ud meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw melaknat orang yang memakan riba, wakil, saksi, dan penulisnya”. [HR. Imam Bukhari dan Muslim][10]
Imam al-Shan’aniy di dalam Kitab Subul al-Salaam mengatakan; seluruh umat telah bersepakat atas haramnya riba secara global[11].
Di dalam Kitab I’aanat al-Thaalibiin disebutkan; riba termasuk dosa besar, bahkan termasuk sebesar-besarnya dosa besar (min akbar al-kabaair). Pasalnya, Rasulullah saw telah melaknat orang yang memakan riba, wakil, saksi, dan penulisnya. Selain itu, Allah swt dan RasulNya telah memaklumkan perang terhadap pelaku riba. Di dalam Kitab al-Nihayah dituturkan bahwasanya dosa riba itu lebih besar dibandingkan dosa zina, mencuri, dan minum khamer.[12] Imam Syarbiniy di dalam Kitab al-Iqna’ juga menyatakan hal yang sama[13].Mohammad bin Ali bin Mohammad al-Syaukaniy menyatakan; kaum Muslim sepakat bahwa riba termasuk dosa besar.[14]
Imam Nawawiy di dalam Syarh Shahih Muslim juga menyatakan bahwa kaum Muslim telah sepakat mengenai keharaman riba jahiliyyah secara global[15]. Mohammad Ali al-Saayis di dalam Tafsiir Ayaat Ahkaam menyatakan, telah terjadi kesepakatan atas keharaman riba di dalam dua jenis ini (riba nasii’ah dan riba fadlal). Keharaman riba jenis pertama ditetapkan berdasarkan al-Quran; sedangkan keharaman riba jenis kedua ditetapkan berdasarkan hadits shahih[16]. Abu Ishaq di dalam Kitab al-Mubadda’ menyatakan; keharaman riba telah menjadi konsensus, berdasarkan al-Quran dan Sunnah[17].
Jenis-jenis Riba
Riba terbagi menjadi empat macam; (1) riba nasiiah (riba jahiliyyah); (2) riba fadlal; (3) riba qaradl; (4) riba yadd.
Riba Nasii`ah. Riba Nasii`ah adalah tambahan yang diambil karena penundaan pembayaran utang untuk dibayarkan pada tempo yang baru, sama saja apakah tambahan itu merupakan sanksi atas keterlambatan pembayaran hutang, atau sebagai tambahan hutang baru. Misalnya, si A meminjamkan uang sebanyak 200 juta kepada si B; dengan perjanjian si B harus mengembalikan hutang tersebut pada tanggal 1 Januari 2009; dan jika si B menunda pembayaran hutangnya dari waktu yang telah ditentukan (1 Januari 2009), maka si B wajib membayar tambahan atas keterlambatannya; misalnya 10% dari total hutang. Tambahan pembayaran di sini bisa saja sebagai bentuk sanksi atas keterlambatan si B dalam melunasi hutangnya, atau sebagai tambahan hutang baru karena pemberian tenggat waktu baru oleh si A kepada si B. Tambahan inilah yang disebut dengan riba nasii’ah.

Adapun dalil pelarangannya adalah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim;
الرِّبَا فِيْ النَّسِيْئَةِ

” Riba itu dalam nasi’ah”.[HR Muslim dari Ibnu Abbas]

Ibnu Abbas berkata: Usamah bin Zaid telah menyampaikan kepadaku bahwa Rasulullah saw bersabda:
آلاَ إِنَّمَا الرِّبَا فِيْ النَّسِيْئَةِ

Ingatlah, sesungguhnya riba itu dalam nasi’ah”. (HR Muslim).

Riba Fadlal. Riba fadlal adalah riba yang diambil dari kelebihan pertukaran barang yang sejenis. Dalil pelarangannya adalah hadits yang dituturkan oleh Imam Muslim.
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, semisal, setara, dan kontan. Apabila jenisnya berbeda, juallah sesuka hatimu jika dilakukan dengan kontan”.HR Muslim dari Ubadah bin Shamit ra).
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ فَمَنْ زَادَ أَوْ اسْتَزَادَ فَهُوَ رِبًا

“Emas dengan emas, setimbang dan semisal; perak dengan perak, setimbang dan semisal; barang siapa yang menambah atau meminta tambahan, maka (tambahannya) itu adalah riba”. (HR Muslim dari Abu Hurairah).
عن فضالة قال: اشتريت يوم خيبر قلادة باثني عشر دينارًا فيها ذهب وخرز، ففصّلتها فوجدت فيها أكثر من اثني عشر ديناراً، فذكرت ذلك للنبي صلّى الله عليه وسلّم فقال: ”لا تباع حتى تفصل“

“Dari Fudhalah berkata: Saya membeli kalung pada perang Khaibar seharga dua belas dinar. Di dalamnya ada emas dan merjan. Setelah aku pisahkan (antara emas dan merjan), aku mendapatinya lebih dari dua belas dinar. Hal itu saya sampaikan kepada Nabi saw. Beliau pun bersabda, “Jangan dijual hingga dipisahkan (antara emas dengan lainnya)”. (HR Muslim dari Fudhalah)





Dari Said bin Musayyab bahwa Abu Hurairah dan Abu Said:
أن رسول الله صلّى الله عليه وسلّم بعث أخا بني عدي الأنصاري فاستعمله على خيبر، فقدم بتمر جنيب [نوع من التمر من أعلاه وأجوده] فقال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: ”أكلّ تمر خيبر هكذا“؟ قال: لا والله يا رسول الله، إنا لنشتري الصاع بالصاعين من الجمع [نوع من التمر الرديء وقد فسر بأنه الخليط من التمر]، فقال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: ”لا تفعلوا ولكن مثلاً بمثل أو بيعوا هذا واشتروا بثمنه من هذا، وكذلك الميزان“

“Sesungguhnya Rasulullah saw mengutus saudara Bani Adi al-Anshari untuk dipekerjakan di Khaibar. Kamudia dia datang dengan membawa kurma Janib (salah satu jenis kurma yang berkualitas tinggi dan bagus). Rasulullah saw bersabda, “Apakah semua kurma Khaibar seperti itu?” Dia menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah . Sesunguhnya kami membeli satu sha’ dengan dua sha’ dari al-jam’ (salah satu jenis kurma yang jelek, ditafsirkan juga campuran kurma). Rasulullah saw bersabda, “Jangan kamu lakukan itu, tapi (tukarlah) yang setara atau juallah kurma (yang jelek itu) dan belilah (kurma yang bagus) dengan uang hasil penjualan itu. Demikianlah timbangan itu”. (HR Muslim).
Riba al-Yadd. Riba yang disebabkan karena penundaan pembayaran dalam pertukaran barang-barang. Dengan kata lain, kedua belah pihak yang melakukan pertukaran uang atau barang telah berpisah dari tempat aqad sebelum diadakan serah terima. Larangan riba yadd ditetapkan berdasarkan hadits-hadits berikut ini;
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ

“Emas dengan emas riba kecuali dengan dibayarkan kontan, gandum dengan gandum riba kecuali dengan dibayarkan kontan; kurma dengan kurma riba kecuali dengan dibayarkan kontan; kismis dengan kismis riba, kecuali dengan dibayarkan kontan (HR al-Bukhari dari Umar bin al-Khaththab)
الْوَرِقُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالتَّمْرُِالتَّمْرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ

“Perak dengan emas riba kecuali dengan dibayarkan kontan; gandum dengan gandum riba kecuali dengan dibayarkan kontan kismis dengan kismis riba, kecuali dengan dibayarkan kontan; kurma dengan kurma riba kecuali dengan dibayarkan kontan“. [Ibnu Qudamah, Al-Mughniy, juz IV, hal. 13]

Riba Qardl. Riba qaradl adalah meminjam uang kepada seseorang dengan syarat ada kelebihan atau keuntungan yang harus diberikan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman. Riba semacam ini dilarang di dalam Islam berdasarkan hadits-hadits berikut ini;

Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Burdah bin Musa; ia berkata, ““Suatu ketika, aku mengunjungi Madinah. Lalu aku berjumpa dengan Abdullah bin Salam. Lantas orang ini berkata kepadaku: ‘Sesungguhnya engkau berada di suatu tempat yang di sana praktek riba telah merajalela. Apabila engkau memberikan pinjaman kepada seseorang lalu ia memberikan hadiah kepadamu berupa rumput ker­ing, gandum atau makanan ternak, maka janganlah diterima. Sebab, pemberian tersebut adalah riba”. [HR. Imam Bukhari]

Juga, Imam Bukhari dalam “Kitab Tarikh”nya, meriwayatkan sebuah Hadits dari Anas ra bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, “Bila ada yang memberikan pinjaman (uang maupun barang), maka janganlah ia menerima hadiah (dari yang meminjamkannya)”.[HR. Imam Bukhari]

Hadits di atas menunjukkan bahwa peminjam tidak boleh memberikan hadiah kepada pemberi pinjaman dalam bentuk apapun, lebih-lebih lagi jika si peminjam menetapkan adanya tambahan atas pinjamannya. Tentunya ini lebih dilarang lagi.

Pelarangan riba qardl juga sejalan dengan kaedah ushul fiqh, “Kullu qardl jarra manfa’atan fahuwa riba”. (Setiap pinjaman yang menarik keuntungan (membuahkan bunga) adalah riba”.[Sayyid Saabiq, Fiqh al-Sunnah, (edisi terjemahan); jilid xii, hal. 113]

Praktek-praktek riba yang sering dilakukan oleh bank adalah riba nasii’ah, dan riba qardl; dan kadang-kadang dalam transaksi-transaksi lainnya, terjadi riba yadd maupun riba fadlal. Seorang Muslim wajib menjauhi sejauh-jauhnya praktek riba, apapun jenis riba itu, dan berapapun kuantitas riba yang diambilnya. Seluruhnya adalah haram dilakukan oleh seorang Muslim. [Syamsuddin Ramadhan An Nawiy- Lajnah Tsaqafiyyah]


[1] Imam Thabariy, Tafsir al-Thabariy, juz 6, hal. 7; Ibnu al-‘Arabiy, Ahkaam al-Quraan, juz 1, hal. 320; Mohammad Ali As-Saayis, Tafsiir Ayaat al-Ahkaam, juz 1, hal. 16; Subulus Salam, juz 3, 16; al-Mabsuuth, juz 14, hal. 461; Abu Ishaq, Al-Mubadda’, juz 4, hal. 127; al-‘Inayah Syarh al-Hidayah, juz 9, hal. 291; al-Jauharah al-Nayyiirah, juz 2, hal. 298; Mughniy al-Muhtaaj ila Syarh al-Faadz al-Minhaaj, juz 6, hal. 309; Kitab Hasyiyyah al-Bajiiramiy ‘ala al-Khathiib, juz 7, hal.328; Syarh Muntahiy al-Idaraat, juz 5, hal. 10; Imam al-Jashshash, Ahkaam al-Quran, juz 2, hal. 183; Imam al-Jurjaniy, al-Ta’riifaat, juz 1, hal. 146; Imam al-Manawiy, al-Ta’aariif, juz 1, hal. 354; Abu Ishaq, Al-Mubadda’, juz 4, hal. 127; al-Bahutiy, al-Raudl al-Murbi’, juz 2, hal. 106; Kasyaaf al-Qanaa’, juz 3, hal. 251; Imam Ibnu Qudamah, Al-Mughniy, juz 4, hal. 25; Imam Al-Dimyathiy, I’anat al-Thaalibiin, juz 3, hal. 16; Imam Syaukaniy, Nail al-Authar, juz 5, 273;
[2] Imam Ibnu al-‘Arabiy, Ahkaam al-Quran, juz 1, hal. 321
[3] Imam Suyuthiy, Tafsir Jalalain, surat al-Baqarah:275
[4] al-Mabsuuth, juz 14, hal. 461; Fath al-Qadiir,juz 15, hal. 289
[5] Kitab al-Jauharah al-Naiyyirah, juz 2, hal. 298
[6] Kitab Nihayat al-Muhtaaj ila Syarh al-Minhaaj, juz 11, hal. 309; lihat juga Asniy al-Mathaalib, juz 7, hal. 471.
[7] Kitab Hasyiyyah al-Bajiiramiy ‘ala al-Khathiib, juz 7, hal.328
[8] Mughniy al-Muhtaaj ila Syarh al-Faadz al-Minhaaj, juz 6, hal. 309
[9] Imam Ibnu Qudamah, Al-Mughniy, juz 4, hal. 25
[10] Imam al-Syiraaziy, al-Muhadzdzab, juz 1, hal. 270
[11] Imam al-Shan’aaniy, Subul al-Salaam, juz 3, hal. 36
[12] Imam Al-Dimyathiy, I’anat al-Thaalibiin, juz 3, hal. 16
[13] Imam Syarbiniy, Kitab al-Iqna’, juz 2, hal. 633.
[14] Imam Syaukaniy, Sail al-Jiraar, juz 3, hal. 74
[15] Imam Nawawiy, Syarh Shahih Muslim, juz 11, hal. 9
[16] Mohammad Ali al-Saayis, Tafsiir Ayat al-Ahkaam, juz 1, hal. 162
[17] Abu Ishaq, al-Mubadda’, juz 4, hal. 127

09 Januari 2015

Memahami Pengertian Riba, Hukum, dan Macam-macam Riba [Part 1]

Oleh Ust. Titok Priastomo

Definisi Riba

Apa itu riba? Jawabnya: Riba adalah beberapa jenis transaksi yang diharamkan dalam islam. Berbagai jenis riba yang diharamkan itu telah merajalela di tengah masyarakat kita. Antara satu jenis riba dengan jenis yang lain kadang terlihat sangat berbeda. Oleh karena itu, sulit bagi kita untuk merangkum berbagai jenis riba tersebut dalam sebuah definisi yang pas. Maka, dari pada kita menghabiskan tempat untuk berpayah-payah mencari definisi riba, lebih baik kita langsung biacara tentang contoh konkret dari jenis-jenis riba yang ada. 

Jenis-Jenis Riba

Mayoritas ulama menyatakan bahwa riba bisa terjadi dalam dua hal, yaitu dalam utang  (dain) dan dalam transaksi jual-beli (bai’). Keduanya biasa disebut dengan istilah riba utang (riba duyun)dan riba jual-beli (riba buyu’). Mari kita tinjau satu persatu:
Riba Dalam Utang
Dikenal dengan istilah riba duyun, yaitu manfaat tambahan terhadap utang. Riba ini terjadi dalam transaksi utang-piutang (qardh) atau pun dalam transaksi tak tunai selain qardh, semisal transaksi jual-beli kredit (bai’ muajjal). Perbedaan antara utang yang muncul karena qardh dengan utang karena jual-beli adalah asal akadnya. Utang qardh muncul karena semata-mata akad utang-piutang, yaitu meminjam harta orang lain untuk dihabiskan lalu diganti pada waktu lain. Sedangkan utang dalam jual-beli muncul karena harga yang belum diserahkan pada saat transaksi, baik sebagian atau keseluruhan.

Contoh riba dalam utang-piutang (riba qardh), misalnya, jika si A mengajukan utang sebesar Rp. 20 juta kepada si B dengan tempo satu tahun. Sejak awal keduanya telah menyepakati bahwa si A wajib mengembalikan utang ditambah bunga 15%, maka tambahan 15% tersebut merupakan riba yang diharamkan.

Termasuk riba duyun adalah, jika kedua belah pihak menyepakati ketentuan apabila pihak yang berutang mengembalikan utangnya tepat waktu maka dia tidak dikenai tambahan, namun jika dia tidak mampu mengembalikan utangnya tepat waktu maka temponya diperpanjang dan dikenakan tambahan atau denda atas utangnya tersebut. Contoh yang kedua inilah yang secara khusus disebut riba jahiliyah karena banyak dipraktekkan pada zaman pra-Islam, meski asalnya merupakan transaksi qardh (utang-piutan).

Sementara riba utang yang muncul dalam selain qardh (pinjam) contohnya adalah apabila si X membeli motor kepada Y secara tidak tunai dengan ketentuan harus lunas dalam tiga tahun. Jika dalam tiga tahun tidak berhasil dilunasi maka tempo akan diperpanjang dan si X dikenai denda berupa tambahan sebesar 5%, misalnya.

Perlu diketahui bahwa dalam konteks pinjaman, riba atau tambahan diharamkan secara mutlak tanpa melihat jenis barang yang diutang. Maka, riba jenis ini bisa terjadi pada segala macam barang. Jika si A meminjam dua liter bensin kepada si B, kemudian disyaratkan adanya penambahan satu liter dalam pengembaliannya, maka tambahan tersebut adalah riba yang diharamkan. Demikian pula jika si A meminjam 10 kg buah apel kepada si B, jika disyaratkan adanya tambahan pengembalian sebesar 1kg, maka tambahan tersebut merupakan riba yang diharamkan.

Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya menyatakan, “kaum muslimin telah bersepakat berdasarkan riwayat yang mereka nukil dari Nabi mereka (saw) bahwa disyaratkannya tambahan dalam pinjam meminjam (qardh) adalah riba, meski hanya berupa segenggam makanan ternak”.

Bahkan, mayoritas ulama menyatakan jika ada syarat bahwa orang yang meminjam harus memberi hadiah atau jasa tertentu kepada si pemberi pinjaman, maka hadiah dan jasa tersebut tergolong riba, sesuai kaidah, “setiap qardh yang menarik manfaat maka ia adalah riba”. Sebagai contoh, apabila si B bersedia memberi pinjaman uang kepada si A dengan syarat si A harus meminjamkan kendaraannya kepada si B selama satu bulan, maka manfaat yang dinikmati si B itu merupakan riba.
Riba Dalam Jual-beli
Dalam jual-beli, terdapat dua jenis riba, yakni riba fadhl dan riba nasi’ah. Keduanya akan kita kenal lewat contoh-contoh yang nanti akan kita tampilkan.

Berbeda dengan riba dalam utang (dain)  yang bisa terjadi dalam segala macam barang, riba dalam jual-beli tidak terjadi kecuali dalam transaksi enam barang tertentu yang disebutkan oleh Rasulullah saw. Rasulullah saw bersabda:

Jika emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, bur (gandum) ditukar dengan bur, sya’ir (jewawut, salah satu jenis gandum) ditukar dengan sya’ir, kurma dutukar dengan kurma, dan garam ditukar dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1584)

Dalam riwayat lain dikatakan:

Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus semisal dengan semisal, sama dengan sama (sama beratnya/takarannya), dan dari tangan ke tangan (kontan). Maka jika berbeda jenis-jenisnya, juallah sesuka kamu asalkan dari tangan ke tangan (kontan).” (HR Muslim no 1210; At-Tirmidzi III/532; Abu Dawud III/248).

Ada beberapa poin yang bisa kita ambil dari hadits di atas:

Pertama, Rasulullah saw dalam kedua hadits di atas secara khusus hanya menyebutkan enam komoditi saja, yaitu: emas, perak, gandum, jewawut, kurma dan garam. Maka ketentuan/larangan dalam hadits tersebut hanya berlaku pada keenam komoditi ini saja tanpa bisa diqiyaskan/dianalogkan kepada komoditi yang lain. 

Selanjutnya, keenam komoditi ini kita sebut sebagai barang-barang ribawi.

Kedua, Setiap pertukaran sejenis dari keenam barang ribawi, seperti emas ditukar dengan emas atau garam ditukar dengan garam, maka terdapat dua ketentuan yang harus dipenuhi, yaitu: pertama takaran atau timbangan keduanya harus sama; dan kedua keduanya harus diserahkan saat transaksi secara tunai/kontan.

Berdasarkan ketentuan di atas, kita tidak boleh menukar kalung emas seberat 10 gram dengan gelang emas seberat 5 gram, meski nilai seni dari gelang tersebut dua kali lipat lebih tinggi dari nilai kalungnya. Kita juga tidak boleh menukar 10 kg kurma kualitas jelek dengan 5 kg kurma kualitas bagus, karena pertukaran kurma dengan kurma harus setakar atau setimbang. Jika tidak setimbang atau setakaran, maka terjadi riba, yang disebut riba fadhl.

Disamping harus sama, pertukaran sejenis dari barang-barang ribawi harus dilaksanakan dengan tunai/kontan. Jika salah satu pihak tidak menyerahkan barang secara tunai, meskipun timbangan dan takarannya sama, maka hukumnya haram, dan praktek ini tergolong riba nasi’ah atau ada sebagian ulama yang secara khusus menamai penundaan penyerahan barang ribawi ini dengan sebutan riba yad.

Ketiga, Pertukaran tak sejenis di antara keenam barang ribawi tersebut hukumnya boleh dilakukan dengan berat atau ukuran yang berbeda, asalkan tunai. Artinya, kita boleh menukar 5 gram emas dengan 20 gram perak atau dengan 30 gram perak sesuai kerelaan keduabelah pihak. Kita juga boleh menukar 10 kg kurma dengan 20 kg gandum atau dengan 25 kg gandum, sesuai kerelaan masing-masing. Itu semua boleh asalkan tunai alias kedua belah pihak menyerahkan barang pada saat transaksi. Jika salah satu pihak menunda penyerahan barangnya, maka transaksi itu tidak boleh dilakukan. Para ulama menggolongkan praktek penundaan penyerahan barang ribawi ini kedalam jenis riba nasi’ah tapi ada pula ulama yang memasukkannya dalam kategori sendiri dengan nama riba yad.

Keempat, Jika barang ribawi ditukar dengan selain barang ribawi, seperti perak ditukar dengan ke kayu,  maka dalam hal ini tidak disyaratkan harus setimbang dan tidak disyaratkan pula harus kontan karena kayu bukan termasuk barang ribawi.

Kelima, Selain keenam barang-barang ribawi di atas, maka kita boleh menukarkannya satu sama lain meski dengan ukuran/kuantitas yang tidak sama, dan kita juga boleh menukar-nukarkannya secara tidak tunai. Sebagai contoh, kita boleh menukar 10 buah kelapa dengan 3 kg kedelai secara tidak kontan karena kelapa dan kedelai bukan barang ribawi.

Memahami Riba Fadhl dan Riba Nasi’ah

Fadhl secara bahasa berarti tambahan atau kelebihan. Sedangkan nasii’ah secara bahasa maknanya adalah penundaan atau penangguhan.

Nah, sekarang mari kita mencoba untuk memahami apa yang dimaksudkan oleh para ulama dengan istilah riba fadhl dan riba nasi’ah, meskipun sebenarnya, setelah kita memahami fakta tentang jenis-jenis riba, bukan suatu hal yang wajib untuk mengenal nama-namanya.  Hanya saja, karena istilah riba fadhl dan nasi’ah ini sangat sering kita baca atau kita dengar, maka kita akan menemukan kesulitan untuk memahami tulisan atau pembicaraan yang mengandung kedua istilah tersebut.

Silahkan cermati kembali poin dua dan poin tiga pada penjelasan hadits yang baru saja kita lewati, setelah itu insyaallah kita bisa memahami apa yang disebut dengan riba fadhl dan riba nasi’ah. Riba fadhl adalah tambahan kuantitas yang terjadi pada pertukaran antar barang-barang ribawi yang sejenis, seperti emas 5 gram ditukar dengan emas 5,5 gram. Sedangkan riba nasi’ah adalah riba yang terjadi karena penundaan, sebab, nasi’ah sendiri maknanya adalah penundaan atau penangguhan.

Semua riba utang (riba duyun) yang telah kita bahas sebelumnya tergolong riba nasi’ah, karena semuanya muncul akibat tempo. Dalam konteks utang, riba nasi’ah berupa tambahan sebagai kompensasi atas tambahan tempo yang diberikan. contohnya utang dengan tempo satu tahun tidak berhasil dilunasi sehingga dikenakan tambahan utang sebesar 15%, misalnya. Maka, tambahan 15% ini merupakan riba nasi’ah. Juga dalam riba qardh dimana keberadaan tambahan telah disepakati sejak awal, semisal ada ketentuan untuk mengembalikan utang sebesar 115%. Ini juga termasuk riba nasi’ah (meski sebagian ulama ada yang memasukkannya dalam ketegori riba fadhl ditinjau dari segi bahwa ia merupakan pertukaran barang sejenis dengan penambahan).

Sementara itu, dalam konteks jual-beli barang ribawi, riba nasi’ah tidak berupa tambahan, melainkan semata dalam bentuk penundaan penyerahan barang ribawi yang sebenarnya disyaratkan harus tunai itu, baik keduanya sejenis maupun berbeda jenis. Contohnya seperti membeli emas menggunakan perak secara tempo, atau membeli perak dengan perak secara tempo. Praktek tersebut tidak boleh dilakukan karena emas dan perak merupakan barang ribawi yang jika ditukar dengan sesama barang ribawi disyaratkan harus kontan. Itulah mengapa, pertukaran barang ribawi secara tidak tunai digolongkan kedalam riba nasi’ah. Sebagian ulama menyebut penyerahan tertunda dalam pertukaran sesama barang ribawi ini dengan istilah khusus, yakni riba yad.

Skema Untuk Memudahkan Memahami Macam-Macam Riba (Klik untuk Memperbesar)
Kesimpulan
  1. Riba bisa terdapat dalam utang dan transaksi jual-beli.
  2. Riba dalam utang adalah tambahan atas utang, baik yang disepakati sejak awal ataupun yang ditambahkan sebagai denda atas pelunasan yang tertunda. Riba utang ini bisa terjadi dalam qardh (pinjam/utang-piutang) ataupun selain qardh, seperti jual-beli kredit. Semua bentuk riba dalam utang tergolong riba nasi’ah karena muncul akibat tempo (penundaan).
  3. Riba dalam jual beli terjadi karena pertukaran tidak seimbang di antara barang ribawi yang sejenis (seperti emas 5 gram ditukar dengan emas 5,5 gram). Jenis ini yang disebut sebagai riba fadhl.
  4. Riba dalam jual-beli juga terjadi karena pertukaran antar barang ribawi yang tidak kontan, seperti emas ditukar dengan perak secara kredit. Praktek ini digolongkan ke dalam riba nasi’ah atau secara khusus disebut dengan istilah riba yad.
Wallahu a’lam

Tafsir Ayat-ayat Riba

Oleh Al Ustadz Drs. Hafizh Abdurrahman, MA

بسم الله الرحمن الرحيم
]الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللهَُّ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَىاللهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ% يَمْحَقُ اللهَُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ% إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ% يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُواللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ[
[البقرة:275-278].

Tafsir Ayat

Dalam surah al-Baqarah: 275 di atas, Allah mencela orang yang memakan riba (al-ladzîna ya’kulûna ar-ribâ) seraya menyamakan mereka dengan orang yang berdiri gontai laksana berdirinya orang yang kerasukan setan; lupa diri dan ingatan, alias tidak waras (lâ yaqûmûna illâ kamâ yaqûmu al-ladzî yatakhabbatuhu as-syaythân min al-massi). Celaan ini sangat keras, bahkan sangat menyakitkan. Sebab, Allah Swt. bukan hanya mencela, tetapi telah menyamakan orang yang dicela dengan orang yang kerasukan setan. Di sini Allah sengaja menggunakan uslûb tasybîh (gaya perumpamaan) untuk menguatkan negatifnya image orang yang memakan (ya’kulûna) riba atau, menurut as-Suyûthi, juga orang yang menghalalkan (yastahillûna)-nya.[i]
Sekalipun Allah tidak menyebutkan wajh as-syabah (wujud persamaan)-nya, setiap orang yang mau membandingkan keduanya akan bisa menemukan jawabannya, bahwa keduanya sama-sama lupa diri (tidak waras). Sebagian ahli tafsir, seperti as-Syaukani, menafsirkan lâ yaqûmûna (tidak bangkit) adalah tidak bangkit pada Hari Kiamat. Artinya, pada Hari Kiamat kelak, orang yang memakan riba akan dibangkitkan menjadi gila sebagai siksaan bagi mereka.[ii]
Selanjutnya, Allah memberi alasan, mengapa mereka dikatakan “tidak waras” atau “berdiri gontai”? Jawabannya, karena mereka menganggap, bahwa jual-beli itu sama dengan riba (dzâlika bi annahum qâlû innamâ al-bay‘u mitslu ar-ribâ). Bagaimana tidak, jual-beli yang jelas-jelas berbeda dengan riba dikatakan sama; hukum jual-beli adalah halal, sedangkan riba jelas haram (wa ahalla Allâhu al-bay‘a wa harrama ar-ribâ). Di sini Allah menyebut ar-ribâ setelah al-bayu, karena riba merupakan derivat jual-beli yang ditambah dengan kompensasi tertentu, baik akibat pertambahan waktu (nasî’ah) maupun kelebihan pertukaran barang (fadhl); sekalipun kemudian masing-masing mempunyai hukum yang berbeda, karena manâth al-hukm (fakta hukum)-nya jelas berbeda. Karena itu, kecaman di atas bukan hanya ditujukan untuk orang yang memakan riba nasî’ah, tetapi juga untuk riba fadhl. [iii]
Bunga Bank adalah Riba'
Orang yang telah memakannya sebelum diturunkannya hukum riba, kemudian setelah hukum tersebut turun, dia menghentikan praktik riba (faman jâ’ahu maw’idhatu min rabbihi fantahâ), masih mempunyai hak atas harta yang diperolehnya di masa lalu (falahu mâ salafa), dan urusannya diserahkan kepada Allah (wa amruhu ila Allâhi). Akan tetapi, jika setelah diturunkannya hukum tersebut mereka masih mengulangi praktik yang sama, maka mereka adalah para penghuni neraka yang akan kekal di dalamnya (wa man ‘âda fa’ulâ’ika ashhâbu an-nâr, hum fîhâ khâlidûn). Pernyataan Allah ini merupakan qarînah (indikator) yang tegas, yang membuktikan keharaman hukum riba.
Selanjutnya, dalam surah al-Baqarah ayat 276, Allah menegaskan, bahwa Dia memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah (yamhaqu Allâh ar-ribâ wa yurbî as-shadaqât). Allah menyatakan demikian untuk membalik persepsi, bahwa sekalipun secara matematis riba menguntungkan, di sisi Allah dinihilkan. Sebaliknya, sedekah yang secara matematis merugikan, karena harta yang disedekahkan berkurang, di sisi Allah justru dilipatgandakan. Kemudian dilanjutkan dengan pernytaan: Wa-Llâha la yuhibbu kulla kaffârin atsîm (Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa).
Dalam surah al-Baqarah ayat 277, Allah menegaskan bahwa orang-orang beriman, beramal salih, menegakkan shalat dan menunaikan zakat telah mendapatkan pahala di sisi Tuhan mereka dan tidak ada sedikitpun rasa takut dan sedih pada diri mereka (inna al-ladzîna âmanû wa ‘amilû as-shâlihât wa aqâmû as-shalâh wa âtû az-zakâh, lahum ajruhum ‘inda rabbihim wa lâ khawfun ‘alayhim wa lâ hum yahzanûn).
Dalam ayat berikutnya, Allah memerintahkan agar orang-orang yang beriman agar bertakwa kepada Allah dan meninggalkan semua bentuk riba, jika mereka memang termasuk orang-orang Mukmin (Yâ ayyuhâ al-ladzîna âmanû ittaqû-Allâh wa dzarû mâ baqiya min ar-ribâ in kumtum mu’minîn). Ungkapan ittaqû Allâh (bertakwallah kepada Allah) ini mempunyai makna yang mendalam; sama dengan “jagalah dirimu dari kemurkaan dan azab Allah sebagai konsekuensi dari sikap dan tindakanmu.” Inilah makna yang terngiang-ngiang dalam benak orang Mukmin ketika diingatkan dengan: ittaqû Allâh. Ini dinyatakan terlebih dulu untuk menggugah kesadaran pihak yang diseru (al-mukhâthab) agar melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya (imtitsâl awâmirihi wa ijtinâbu an-nawâhihi). Setelah itu, baru diperintahkan agar meninggalkan semua bentuk riba ( wa dzarû mâ baqiya min ar-ribâ), baik yang al-fadhl maupun an-nasî’ah, disertai dengan peringatan dalam bentuk kalimat bersyarat: in kumtum mu’minîn (jika kalian memang beriman). Kalimat ini merupakan ancaman terhadap orang yang masih mempraktikkan riba setelah turunnya larangan ini, yang diancam dengan “kehilangan iman”. Artinya, jika ia masih melakukan praktik riba, berarti ia tidak beriman kepada Allah, alias kufur kepada-Nya. Ini merupakan kesimpulan yang diambil dari mafhûm mukhâlafah (pemahaman kebalikan) dari kalimat: in kumtum mu’minîn. Ini sekaligus merupakan stressing (penekanan) yang luar biasa mengenai keharaman riba.
Di samping itu, ayat yang terakhir ini merupakan ayat riba yang terakhir diturunkan, sehingga me-nasakh (menghapus) semua bentuk hukum yang sebelumnya membolehkan riba, baik yang adh’âf mudhâ’afah (memberatkan) atau tidak. Inilah secara umum tafsir surah al-Baqarah ayat 175-178.
Wacana Tafsir: Makna Riba
Kata ar-ribâ secara etimologis mempunyai konotasi az-ziyâdah (pertambahan); rabâ as-syay’ artinya zâda ‘ammâ kâna ‘alayhi, bertambah dari kuantitas sebelumnya. Perlu dicatat, bahwa konotasi kata Arab tidak akan terlepas dari tiga bentuk: Pertama, konotasi etimologis (al-ma’nâ al-lughawi); makna yang digunakan oleh orang Arab agar kata yang digunakan bisa menunjukkan makna tersebut. Dari sini, kata ribâ antara lain bisa berkonotasi “pertambahan” atau “peningkatan”. Jika ada orang dikatakan, “Ribâ ar-rajulu fî qawmihi,” konotasinya adalah, “Irtafa’a qadruhu,” (Kemampuannya meningkat). Kedua, konotasi tradisional/konvensional (al-ma’nâ al-urfi); makna kata tertentu yang biasa digunakan oleh orang Arab untuk memperkenalkan sesuatu, bukan makna yang digunakan secara etimologis. Artinya, ketika kata tersebut digunakan, maknanya telah berubah dari konteks bahasa (lughawi) ke konteks tradisi/konvensi (‘urfi). Misalnya, dalam tradisi/konvensi para ulama ushul fikih, kata ‘illat yang secara bahasa bermakna penyakit dimaknai sebagai sabab at-tasyrî‘ (latar belakang turunnya hukum); atau kata al-hâkim yang secara bahasa berarti hakim, komandan, pimpinan dimaknai sebagai Pembuat Hukum, yakni Allah. Dalam konteks ini pula, ribâ, secara tradisional/konvensional adalah kata yang digunakan untuk menunjukkan pertambahan yang ditetapkan sebagai kompensasi penangguhan utang, seperti ungkapan: A taqdhi am turbi? (Apakah Anda mau dibayar cash atau ditangguhkan dengan kompensasi tambahan.[iv] Ketiga, konotasi syar‘î (al-ma’nâ as-syar‘î); makna yang dikehendaki oleh syariat melalui penggunaan kata tertentu, bukan makna asal yang digunakan secara etimologis. Misalnya, kata as-shawm (puasa) secara syar‘î digunakan untuk menyebut ibadah tertentu yang terikat dengan waktu, tempo dan aturan tertentu. Hal yang sama juga terjadi pada kata ar-ribâ yang digunakan oleh syariat untuk menunjukkan pertambahan dalam muamalah tertentu, bukan yang lain; ar-ribâ berbeda pula dengan al-bay‘ (jual-beli).
Dengan demikian, setelah ribâ dideskripsikan oleh syariat tidak lagi berkonotasi pertambahan secara mutlak, tetapi konotasinya menjadi: pertambahan akibat pertukaran jenis tertentu, baik yang disebabkan oleh kelebihan dalam pertukaran dua harta yang sejenis di tempat pertukaran (majlis at-tabâdul), seperti yang terjadi dalam ribâ al-fadhl, ataupun disebabkan oleh kelebihan tenggang waktu (al-ajal), sebagaimana yang terjadi dalam ribâ an-nasî’ah aw at-ta’khîr.[v] Inilah definisi riba secara syar‘î.
Wacana Tafsir: Bentuk-bentuk Riba
Bentuk riba, sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya ada dua: nasî’ah dan fadhl. Sekalipun riba yang terakhir ini ada, tetapi keberadaannya tidak banyak ditemukan dalam kehidupan kaum Muslim. Berbeda dengan riba nasî’ah, ragamnya memang banyak ditemukan dalam kehidupan ummat Islam, baik dalam pertukaran mata uang (as-sharf) maupun simpan-pinjam (al-qardh).
Praktik riba nasî’ah dalam kasus pertukaran mata uang biasanya terjadi dalam transaksi pembelian jenis uang tertentu dengan uang lain, seperti antara dolar Amerika dengan rupiah, tanpa proses serah-terima antara kedua belah pihak (dûna taqâbudh). Sedangkan praktik riba nasî’ah dalam kasus simpan-pinjam ini terjadi ketika seseorang meminjam (istalâf) uang kepada orang atau institusi keuangan sebesar Rp 1 juta, misalnya, kemudian orang tersebut diminta mengembalikan Rp 1,5 juta sebagai kompensasi atas pinjamannya untuk tenggang waktu tertentu, selain pengembalian uang pokoknya.
Kasus riba nasî’ah dalam simpan pinjam tersebut saat ini telah menggurita dalam kehidupan perekonomian umat Islam. Praktik ini biasanya disponsori oleh bank-bank konvensional, yang umumnya bermain di pasar uang. Bank-bank ini bahkan menjadi tulang punggung pasar uang tersebut. Fungsi bank-bank ini adalah menarik uang yang beredar sebagai simpanan (wadî’ah) atau pinjaman (qardh) yang biasanya disertai dengan kompensasi prosentase tertentu yang dibayarkan kepada penyimpan (muwadi’) atau pemberi pinjaman (muqridh), kemudian bank-bank ini menyuplai kekurangan anggota masyarakat; tentu dengan kompensasi dalam bentuk prosentase tertentu. Prosentase inilah yang biasanya disebut bunga (interest) simpan-pinjam atau ada yang menyebutnya sebagai ‘harga pemanfaatan uang’ seiring dengan perjalanan waktu.
Mengenai fungsi bank dalam pendanaan proyek-proyek besar seperti pendirian komunitas bisnis, properti, hotel dan produksi, serta pembelian saham-saham perusahaan sebenarnya merupakan derivat dari pemberdayaan potensi keuangan bank. Ini dilakukan untuk mengeksploitasi pemanfaatan uang yang disimpan secara maksimal dengan keuntungan yang jauh lebih besar dibandingkan jika diberikan kepada nasabah dalam bentuk pinjaman langsung; tentu dengan kompensasi bunga yang jauh lebih besar. Kasus ini juga sama; secara qath‘î (tegas) hukumnya haram.
Wacana Tafsir: Membantah Kekeliruan Seputar Riba
Ada yang berpendapat, bahwa konteks larangan: wa harrama ar-ribâ di atas adalah untuk riba yang waktu itu menjadi kebiasaan orang Arab. Alasannya, karena partikel al- (alif-lâm) dalam ayat riba di atas adalah li al-ahd ad-dzikr, yang berkonotasi “zaman yang dimaksud”. Artinya, karena riba yang biasa dilakukan oleh orang Arab pada zaman itu adalah riba nasî’ah, maka jenis riba inilah yang diharamkan. Sebaliknya, karena riba al-fadhl tidak menjadi kebiasaan pada zaman itu, maka ia boleh. Ini kemudian didukung dengan sabda Nabi saw.:
»إِنمَّاَ الرِّبَا فِي النَّسِيْئَةِ«
Riba (yang diharamkan) itu pada jenis nasî’ah. (HR Muslim).
Ini didukung pula dengan sikap Ibn ‘Abbâs yang membolehkan riba al-fadhl. [vi]
Pendapat ini tentu lemah, karena baik kata al-bay‘ (jual-beli) maupun ar-ribâ (riba) adalah sama-sama kata yang berbentuk umum (‘âm), dengan partikel al- yang berkonotasi li al-jins (jenis). Artinya, semua jenis riba dan jual-beli termasuk dalam konteks ini. Sebab, kedua kata tersebut merupakan bentuk shiyâgh al-‘umûm, sebagaimana bentuk asal penggunaan kata tersebut. Dengan demikian, hukum halal dan haram dalam konteks jual-beli dan riba tersebut meliputi semua bentuk jual-beli dan riba, selama tidak ada dalil yang bisa dijadikan sebagai takhshîsh dari keumumannya dan yang mengeluarkannya dari hukum asal. Contoh, jual-beli hukum asalnya mubah, tetapi kemudian di-takhshîsh dengan hadis larangan memperjualbelikan barang yang tidak menjadi hak milik penjual.[vii] Dalam konteks riba, hadis riwayat Muslim di atas tidak bisa dijadikan sebagai mukhashshish (pengkhusus), sehingga riba yang diharamkan hanyalah riba nasî’ah. Sebab, ini kontradiktif dengan riwayat lain:
»الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالفِضَّةُ بِالفِضَّةِ وَالبُرُّ بِالبُرِّ مَثَلاً بِمَثَلٍ سَوَاءٌ بِسَوَاء«ٍ
Emas (boleh ditukar) dengan emas, perak dengan perak, gandung dengan gandum dengan ukuran yang sama. (HR Muslim dari ‘Ubadah ibn Shamit).
Hadis terakhir ini merupakan hadis yang menentukan bentuk pertukaran yang tidak terkena riba, yaitu harus sama; jika tidak sama, pertukaran tersebut akan menjadi riba, dan itulah riba fadhl. Karena itu, hadis riwayat Muslim mengenai nasî’ah tersebut harus dipahami dengan: innamâ aktsar ar-ribâ yaqa‘u fi an-nasî’ah (sesungguhnya kebanyakan riba terjadi dalam bentuk nasî’ah). Inilah yang disepakati para fukaha. Mengenai sikap Ibn ‘Abbâs, ketika beliau menyatakan pendapat tersebut, terlihat bahwa beliau tidak mengetahui hadis riwayat Muslim di atas. Beliau kemudian mencabut pendapatnya dan merujuk pada hadis di atas.[viii] Dengan demikian, riba al-fadhl juga sama haramnya dengan riba an-nasî’ah.
Berdasarkan konteks partikel al- li al-ahd juga, ada yang mengatakan bahwa riba yang diharamkan adalah adh‘âf mudhâ‘afah (berat lagi memberatkan), sebagaimana yang dinyatakan dalam surah Ali Imran ayat 130; sifat tersebut kemudian dijadikan sebagai ‘illat (latar belakang turunnya hukum) keharaman riba pada waktu itu. Dari sini, kemudian disimpulkan, bahwa riba yang diharamkan adalah riba yang memenuhi kualifikasi adh‘âf mudhâ‘afah.
Mengenai ‘illat, ia harus dipahami sebagai sesuatu yang menjadi sebab disyariatkannya hukum, sehingga ada dan tidaknya hukum tersebut bergantung padanya. Masalahnya, apakah riba tersebut diharamkan karena sifat adh‘âf mudhâ‘afah, sehingga jika sifat tersebut tidak ada, berarti hukumnya berubah menjadi mubah? Ternyata tidak. Surah al-Baqarah ayat 278 di atas dengan tegas menyatakan agar seluruh bentuk riba—baik sedikit atau banyak, nasî’ah maupun fadhl—harus ditinggalkan. Di samping itu, surah Ali Imran ayat 130 telah dihapus (di-nasakh) dengan surah al-Baqarah di atas. Karena itu, kemubahan mengambil riba dengan prosentase minimal telah digugurkan oleh firman-Nya dalam surah al-Baqarah ayat 279: Wa in tubtum falakum ru’ûsu amwâlikum (Jika kalian bertobat, kalian berhak mendapatkan modal [harta] pokok kalian). Artinya, lebih dari itu, baik banyak maupun sedikit, tetap haram bagi kalian. Karena itu, keharaman riba ini dinyatakan tanpa disertai ‘illat (ghayr mu’allalah) apapun.
Ada yang menyatakan, bahwa keharaman riba dalam kasus pertukaran mata uang (sharf) tidak bisa dibuktikan, karena manâth al-hukm (fakta hukum) uang sekarang berbeda dengan emas dan perak yang digunakan pada zaman dulu. Sekarang sistem keuangan menggunakan sistem fiat money (mata uang kertas), sehingga hukum riba dalam pertukaran emas dan perak tidak bisa diterapkan dalam kasus fiat money.
Memang, dari esensi emas dan peraknya, substansinya berbeda. Akan tetapi, dari sifatnya sebagai mata uang, fiat money sama dengan emas dan perak; sama-sama sebagai mata uang. Konteks hadis di atas juga jelas menyebut fungsi emas dan perak dalam konteks pertukaran atau sebagai medium of exchange. Karena itu, dalam kasus pertukaran uang (sharf), hukum tersebut juga berlaku untuk jenis fiat money, apapun bentuknya: Pertama, harus sama nilai nominalnya dan cash, jika uangnya sama, misalnya rupiah dengan rupiah. Kedua, harus cash, sekalipun nilai nominalnya berbeda, jika uangnya berbeda, seperti dolar Amerika dengan rupiah, dan sebagainya. Di luar itu, praktik pertukaran tersebut pasti terkena hukum riba. Wallâhu a‘lam. []

[i] As-Suyuthi, ad-Durr al-Mantsûr, Dar al-Fikr, Beirut, 1993, juz II, hlm. 105.
[ii] Lihat: As-Syaukani, Fath al-Qadîr, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., juz I, hlm. 295.
[iii] Lihat: Ibid, juz I, hlm. 294.
[iv] Lihat: As-Syaukani, ibid, juz I, hlm. 294.
[v] Lihat, Muhammad Ahmad ad-Da’ur, Radd ‘alâ Muftarayât Hawla Hukm ar-Ribâ wa Fawâ’id al-Bunûk, Dar an-Nahdhah al-Islamiyyah, Beirut, cet. I, 1992, hlm. 35-36.
[vi] HR Ahmad, Ibn Majah dan al-Bayhaqi, dari Ibn al-Jawza’. Lihat: Al-Bani, Arwâ’ al-Ghalîl, dalam Muhammad Ahmad ad-Da’ur, ibid, hlm. 46.
[vii] Lihat: As-Saukani, Nayl al-Awthâr.
[viii] Lihat: Muhammad Ahmad ad-Da’ur, ibid, hlm. 46.

18 Desember 2014

Toleransi Kebablasan 25 Desember


Judul Asli: Toleran Yang Kebablasan

[Al-Islam edisi 735, 26 Shafar 1436 H – 19 Desember 2014 M]

Hampir setiap memasuki bulan Desember ramai seruan-seruan toleransi umat beragama, khususnya toleransi umat Islam terhadap orang Nasrani. Nuansa Natal terasa di mana-mana. Mal-mal, berbagai pusat pembelanjaan, toko-toko dan kantor-kantor ramai dihiasi aksesoris Natal seperti pohon cemara berikut lampu warna-warni yang identik dengan Natal. Para pelayan toko dan mal ramai-ramai disuruh memakai baju sinterklas atau atribut yang identik dengan semarak Natal. Tak lupa acara Perayaan Natal Bersama (PNB) digelar di berbagai kantor dan instansi. Para karyawan dan pegawai yang mayoritasnya adalah Muslim pun didorong untuk ikut berpartisipasi. Salah satu alasannya bahwa itu adalah wujud toleransi.
Toleransi Diperalat
Toleransi saat ini bisa dikatakan diperalat. Pasalnya, di balik seruan untuk berpartisipasi dalam semarak perayaan hari raya umat agama lain, khususnya perayaan Natal, sangat terasa banyak motif di belakangnya. Selain motif ekonomi untuk meraup untung, ada pula motif politik. Kaum Kristen ingin “unjuk gigi” dan mungkin dominasi mereka di negeri Muslim. Mereka mengadakan acara Natal bersama secara besar-besaran dengan mengundang penguasa dan para pejabat untuk menghadiri perayaan tersebut. Mereka tak peduli dengan agama yang dianut penguasa atau para pejabat itu.
Natal juga dijadikan momentum penting menanamkan ide sinkretisme dan pluralisme. Melalui upaya ini, akidah umat Islam secara pelan-pelan terus tergerus. Ide pluralisme ini mengajarkan bahwa semua agama sama. Ajaran ini mengajak umat Islam untuk menganggap agama lain juga benar. Khusus dalam konteks Natal, itu berarti umat Muslim didorong untuk menerima kebenaran ajaran Kristen, termasuk menerima paham trinitas dan ketuhanan Yesus. Jika ide pluralisme itu berhasil ditanamkan di tubuh umat Islam, hal-hal yang selama ini sensitif terkait masalah agama seperti pemurtadan, nikah beda agama dan sebagainya akan makin mulus berjalan. Lebih jauh, semangat umat Islam untuk memperjuangkan syariah agar dijadikan aturan untuk mengatur kehidupan masyarakat akan makin melemah.
Di dalamnya juga ada propaganda sinkretisme, yakni pencampuradukan ajaran agama-agama. Spirit sinkretisme adalah mengkompromikan hal-hal yang bertentangan. Dalam konteks Natal Bersama dan Tahun Baru, sinkretisme tampak dalam seruan berpartisipasi merayakan Natal dan tahun baru, termasuk mengucapkan selamat Natal. Padahal dalam Islam batasan iman dan kafir, juga batasan halal dan haram, sudah sangat jelas.
Toleran yang Kebablasan
Toleransi (tasamuh) artinya sikap membiarkan (menghargai), lapang dada (Kamus Al-Munawir, hlm. 702, Pustaka Progresif, cet. 14). Toleransi tidak berarti seorang harus mengorbankan kepercayaan atau prinsip yang dia anut (Ajad Sudrajat dkk, Din Al-Islam. UNY Press. 2009).
Namun, apa yang terjadi saat ini justru sebaliknya. Muncullah sikap toleran yang kebablasan, khususnya pada sebagian Muslim. Sikap toleran yang kebablasan itu didorong agar dilakukan oleh seluruh Muslim negeri ini. Diserukanlah bahwa sikap bertoleransi itu harus diwujudkan dengan memberikan selamat—bahkan menghadiri—hari raya non-Muslim. Yang lebih parah, baru dianggap toleran jika Muslim melepaskan keyakinannya yang tidak sesuai dengan keyakinan orang lain. Misalnya, keyakinan bahwa wanita Muslimah haram menikah dengan pria non-Muslim. Mempertahankan keyakinan demikian dianggap tidak toleran.
Alhasil, toleransi saat ini digunakan sebagai senjata oleh kalangan liberal dan non-Muslim untuk menyasar Islam dan umatnya. Sedikit-sedikit mereka menyebut kaum Muslim tak toleran jika ada masalah yang menyangkut komunitas non Muslim—meski tak jarang sebenarnya itu menyangkut aturan negara.
Padahal banyak tokoh menyebut, tidak ada negara di dunia saat ini yang paling toleran dibandingkan Indonesia. Kaum minoritas non-Muslim di negeri ini seolah mendapat surga. Begitu tolerannya Muslim di Indonesia, orang-orang non-Muslim pun bisa menduduki jabatan politik yang penting seperti panglima TNI, menteri-menteri kunci, gubernur, bupati/walikota, dsb. Ini tidak terjadi di Amerika dan Eropa yang katanya kampiun demokrasi. Di sana posisi penting hanya untuk kalangan mayoritas—Kristen. Di Indonesia, semua agama besar ada libur nasionalnya untuk perayaan hari raya, termasuk untuk hari raya minoritas. Lalu adakah libur nasional bagi Muslim selama Idul Fitri dan Idul Adha di Barat? Tidak ada.
Pembangunan gereja di negeri ini pun marak. Malah menurut Kementerian Agama, pertumbuhan gereja setiap tahunnya mencapai 190 persen, sementara pertumbuhan masjid hanya 60 persen. Jumlah gereja sudah mencapai 135 ribu, sementara masjid dan mushala hanya 600 ribu. Padahal jumlah umat Islam mencapai 88 persen atau 210 juta orang dari 240 juta penduduk Indonesia.
Jangan Salah-Kaprah!
Islam memang mengajarkan sikap toleransi. Toleransi itu membiarkan umat lain menjalankan ritual agamanya, termasuk perayaan agamanya. Toleransi itu tidak memaksa umat lain untuk memeluk Islam.
Adapun dalam konteks muamalah, Rasul saw. berjual-beli dengan non-Muslim secara adil dan fair. Rasul juga menjenguk non-Muslim tetangga beliau yang sedang sakit. Rasul juga bersikap dan berbuat baik kepada non-Muslim. Toleransi semacam ini telah memberikan contoh bagi masyarakat lain. Bahkan toleransi Islam tetap terasa hingga masa akhir Khilafah Utsmaniyah. TW Arnold dalam bukunya, The Preaching of Islam, menyatakan:Perlakuan terhadap warga Kristen oleh pemerintahan Ottoman (Khilafah Turki Utsmani)—selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani—telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa…”
Namun, toleransi dalam Islam itu bukan berarti menerima keyakinan yang bertentangan dengan Islam. Imam asy-Syaukani dalam Tafsir Fath al-Qadîr menyatakan: Abd ibn Humaid, Ibn al-Mundzir dan Ibn Mardawaih telah mengeluarkan riwayat dari Ibn ‘Abbas bahwa orang Quraisy pernah berkata kepada Rasul saw., “Andai engkau menerima tuhan-tuhan kami, niscaya kami menyembah tuhanmu.” Menjawab itu, Allah SWT menurunkan firman-Nya, yakni surat al-Kafirun, hingga ayat terakhir:
]… لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ[
… untuk kalian agama kalian dan untukku agamaku” (TQS al-Kafirun [109]: 6)
Ibn Jarir, Ibn Abi Hatim dan ath-Thabrani juga mengeluarkan riwayat dari Ibn ‘Abbas, bahwa orang Quraisy pernah menyeru Rasul saw. seraya menawarkan tahta, harta dan wanita. Tujuannya agar Rasul berhenti menyebutkan tuhan-tuhan mereka dengan keburukan. Mereka juga menawarkan diri untuk menyembah Tuhan Muhammad asal berikutnya Rasul gantian menyembah tuhan mereka. Sebagai jawabannya, Allah SWT menurunkan surat al-Kafirun itu.
Dari sini jelas, umat Islam haram terlibat dalam peribadatan pemeluk agama lain. Umat Islam juga haram merayakan hari raya agama lain, bagaimanapun bentuknya, karena hal itu termasuk bagian dari aktivitas keagamaan dan dekat dengan peribadatan.
Kalaupun memakai atribut Natal dianggap bukan bagian dari peribadatan, yang jelas atribut itu adalah identik dengan Natal. Itu identik dengan orang Nasrani. Memakai atribut Natal berarti menyerupai mereka. Padahal Rasul saw. melarang tindakan demikian.
«مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ»
Siapa saja yang menyerupai suatu kaum maka dia bagian dari mereka (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Imam ash-Shan’ani menjelaskan, “Hadis ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa siapa pun yang menyerupai orang kafir, pada apa saja yang menjadi kekhususan mereka—baik pakaian, kendaraan maupun penampilan—maka dia termasuk golongan mereka.”
Berpartisipasi dalam perayaan hari raya agama lain juga jelas terlarang berdasarkan nas al-Quran. Allah SWT berfirman:
]وَالَّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا[
Orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu dan jika mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lewat (begitu saja) dengan menjaga kehormatan diri mereka (QS al-Furqan [25]: 72).
Az-Zûr itu meliputi semua bentuk kebatilan. Yang terbesar adalah syirik dan mengagungkan sekutu Allah. Karena itu Imam Ibn Katsir—mengutip Abu al-‘Aliyah, Thawus, Muhammad bin Sirrin, adh-Dhahhak, ar-Rabi’ bin Anas dan lainnyamenyatakan bahwa az-zûra adalah hari raya kaum musyrik. (Tafsir Ibnu Katsir, III/1346).
Menurut Imam asy-Syaukani, kata lâ yasyhadûna, dalam pandangan jumhur ulama, bermakna lâ yahdhurûna az-zûra, yakni tidak menghadirinya (Fath al-Qadîr, IV/89).
Menurut Imam al-Qurthubi, yasyhadûna az-zûra ini adalah menghadiri serta menyaksikan kebohongan dan kebatilan. Ibn ‘Abbas, menjelaskan, makna yasyhadûna az-zûra adalah menyaksikan hari raya orang-orang musyrik, termasuk dalam konteks larangan ayat ini adalah mengikuti hari raya mereka.
Kaum Muslim pun dilarang ikut menyemarakkan, meramaikan atau membantu mempublikasikan hari raya agama lain. Allah SWT berfirman:
﴿إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ ﴾
Sesungguhnya orang-orang yang suka perkara keji (maksiat) itu tersebar di tengah-tengah orang Mukmin, mereka berhak mendapatkan azab yang pedih di dunia dan akhirat (TQS an-Nur [24]: 19).
Menyebarkan perbuatan keji (fakhisyah)juga mencakup semua bentuk kemaksiatan. Menyemarakkan, meramaikan dan menyiarkan perayaan Natal sama saja ikut terlinbat dalam penyebarlusaan kekufuran dan kesyirikan yang diharamkan. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengatakan, “Sebagaimana kaum musyrik tidak boleh menampakkan syiar-syiar mereka, tidak boleh pula kaum Muslim menyetujui dan membantu mereka melakukan syiar itu serta hadir bersama mereka. Demikian menurut kesepakatan ahli ilmu.” (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ahkâm Ahl al-Dzimmah, I/235).
Wahai Kaum Muslim:
Tak layak umat Islam terjebak dalam perangkap seruan toleransi yang diperalat sehingga justru terlibat dalam hal-hal yang tidak dibenarkan oleh Islam. Semestinya umat Islam fokus pada agenda utama mereka untuk mewujudkan kehidupan islami melalui penerapan syariah Islam secara total di bawah naungan sistem Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-Nubuwwah.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

Komentar al-Islam:
Harga minyak jenis Brent turun di bawah US$ 60 perbarel untuk pertama kalinya sejak Juli 2009. Harga minyak Brent turun lebih dari US$ 1 menjadi US$ 59,75 perbarel. (DetikFinance, 16/12).
  1. Harga minyak diprediksi akan tetap rendah hingga tahun depan. Meski harga minyak terus rendah, rezim Jokowi-JK ngotot menaikkan harga BBM. Sungguh terlalu!
  2. Kenaikan harga BBM katanya juga agar rupiah menguat. Nyatanya, meski harga BBM sudah diturunkan, rupiah minggu ini makin jeblok. Akibatnya, BI dalam dua hari terakhir (16/12) menggelontorkan dana Rp 1,7 triliun. Yang menikmati tentu adalah para pemilik dolar, yang kebanyakan adalah orang kaya, bahkan para kapitalis.
Sumber: Hizbut Tahrir Indonesia

 
Semua materi di Blog Catatan Seorang Hamba sangat dianjurkan untuk dicopy, dan disebarkan demi kemaslahatan ummat. Dan sangat disarankan untuk mencantumkan link ke Blog Catatan Seorang Hamba ini sebagai sumber. Untuk pembaca yang ingin melakukan kontak bisa menghubungi di HP: 082256352680.
Jazakumullah khairan katsir.