Anda sering kebingungan memahami hakikat bid'ah? Bagaimana pandangan ulama' mengenai bid'ah? Lalu, bagaimana pula para sufi memandang bid'ah? InsyaAllah tulisan ini akan memberikan jawabannya. cekidot!
***
Rasulullah SAW bersabda:
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ حَدَّثَنَا
إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا
لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ رَوَاهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ
الْمَخْرَمِيُّ وَعَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ أَبِي عَوْنٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ
إِبْرَاهِيمَ
Dari al-Qasim bin Mohammad, dari 'Aisyah ra, bahwasanya
beliau berkata, "Rasulullah saw bersabda, "Siapa saja yang
mengada-adakan perkara baru yang tidak kami perintahkan, maka perbuatan
itu tertolak."[HR. Bukhari dan Muslim]
Pengertian Umum Hadits
Al-Hafidz Ibnu Hajar menyatakan, hadits ini termasuk salah satu pokok
dan pilar agama Islam. Adapun makna yang terkandung di dalam hadits ini
adalah; siapa saja yang mengada-adakan perkara baru yang tidak ada
dasarnya dalam Islam, maka perkara tersebut tertolak.
Menurut Imam
Nawawiy, hadits ini harus selalu diperhatikan dan digunakan untuk
menolak perkara-perkara yang mungkar, sekaligus harus selalu dipakai
untuk berdalil. Al-Tharaqiy berkata, "Hadits ini layak dinamakan
"setengah dalil syara'". Sebab, dalil-dalil syara' selalu beranjak dari
dua fundamen dasar, yakni penetapan hukum (itsbat al-hukm) atau penafian
hukum (nafiy al-hukm). Dan hadits ini merupakan fundamen dasar dalam
penetapan dan penafian hukum syara'. Sebab, manthuq hadits ini
merupakan fundamen yang menyeluruh (muqaddimah kulliyyah) untuk semua
dalil syariat yang menafikan hukum syariat. Misalnya, pendapat yang
membolehkan berwudluk dengan air yang terkena najis. Pendapat semacam
ini tidak ada perintahnya di dalam syariat. Oleh karena itu, semua
pendapat dan perbuatan semacam ini tertolak. Fundamen kedua (itsbat
hukum) juga ditetapkan berdasarkan hadits ini. Yang menjadi perselisihan
hanya pada masalah keutamaannya saja. Mafhumnya, siapa saja yang
mengerjakan perbuatan yang diperintahkan oleh syariat, maka perbuatan
itu sah. Misalnya, ada orang berpendapat bahwa wudluk harus dengan
niat. Sesungguhnya, pendapat semacam ini didasarkan pada perintah
syariat. Oleh karena itu, semua perbuatan yang diperintahkan oleh
syariat adalah perbuatan yang sah...Walhasil, hadits ini merupakan
setengah dari dalil syariat".
Di dalam riwayat lain, Rasulullah saw bersabda;
قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْخَدِيعَةُ فِي النَّارِ
وَمَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
"Nabi
saw bersabda, "Orang yang melakukan penipuan akan dimasukkan ke dalam
api neraka, dan barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak
diperintahkan kami, maka perbuatan itu tertolak."[HR. Bukhari]
Hadits-hadits
ini menegaskan bahwa, seorang Muslim wajib memahami, terikat, dan
beramal sesuai dengan hukum syariat. Ia juga wajib terikat dengan
apa-apa yang ditunjukkan oleh nash-nash syariat, dan dilarang
mengada-adakan perkara baru yang tidak memiliki dasar di dalam Islam
(bid'ah).
Definisi Bid'ah
- Makna Bid'ah Secara Literal
Menurut Imam al-Syathibiy al-Gharnathiy, bid'ah berasal dari kata
"bada'a " yang bernama : al-ikhtiraa' 'ala ghairi mitsaal saabiq
(menciptakan sesuatu yang sama sekali baru, dan sebelumnya tidak pernah
ada). Al-Quran telah menunjukkan makna semacam ini;
"Allah
Pencipta langit dan bumi, dan bila dia berkehendak (untuk menciptakan)
sesuatu, Maka (cukuplah) dia Hanya mengatakan kepadanya: "Jadilah!" lalu
jadilah ia." [TQS Al Baqarah (2) : 117]. Maksud ayat ini adalah; Allah
menciptakan langit dan bumi sama sekali baru, dan sebelumnya tidak
pernah ada. Di tempat lain, Allah swt juga berfirman;
"Katakanlah:
"Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara rasul-rasul dan Aku tidak
mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula)
terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan
kepadaku dan Aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang
menjelaskan".[TQS Al Ahqaaf (46):9]. Artinya; aku bukanlah orang yang
pertama kali membawa risalah dari Allah untuk umat manusia, akan tetapi,
telah mendahului aku sebelumnya Rasul-rasul yang jumlahnya sangat
banyak. Jika dinyatakan: ibtada'a fulaan bid'ah ya'niy ibtada`a
thariqah lam yasbiqhu ilaihaa saabiq; si fulan menciptakan bid'ah,
artinya adalah ia mengawali suatu jalan (metode) yang belum pernah
diadakan oleh orang sebelumnya.
Imam Ibnu Mandzur , di dalam Kitab
Lisaan al-'Arab menyatakan; bada'a al-syai` : yabdi'uhu bid'an wa
ibtada'a– ansya`ahu wa bada`ahu (mengadakan dan mengawalinya)..wa
al-badii' wa al-bid'u – al-syai` alladziy yakuun awwalan (suatu perkara
yang menjadi pertama kali). Di dalam al-Quran disebutkan:
"Katakanlah:
"Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara rasul-rasul".[TQS Al Ahqaaf
(46):9]. Artinya; aku bukanlah orang yang pertama kali diutus Allah,
akan tetapi telah diutus sebelum aku, banyak Rasul. Al-bid'ah –
al-huduts wa maa ibtada'a min al-diin ba'da al-ikmaal (bid'ah adalah
mengada-adakan suatu perkara dan setiap perkara dari agama yang
diada-adakan, setelah agama ini sempurna). Ibnu Sakit berkata,
al-bid'ah kulla muhdatsatin" (bid'ah adalah semua perkara yang
diada-adakan). Ini didasarkan pada perilaku Umar ra mengumpulkan orang
untuk sholat berjamah di bulan Ramadlan, dan ucapan beliau ra, "Inilah
sebaik-baik bid'ah". Ibnu al-Atsiir membagi bid'ah menjadi dua; bid'ah
huda dan bid'ah dlalal. Semua perkara yang bertentangan dengan apa
yang diperintahkan Allah swt dan RasulnNya, maka ia termasuk perkara
yang tercela dan ingkar. Sedangkan perkara yang masih sejalan dengan
keumuman apa yang disunnahkan oleh Allah swt dan dianjurkan oleh Allah
swt dan RasulNya, maka, ia termasuk perkara yang terpuji. Adapun
perkara-perkara yang tidak ada contoh sebelumnya, misalnya sifat-sifat
yang sejenis dengan sifat dermawan dan baik hati, serta
perbuatan-perbuatan baik lainnya, maka perkara-perkara semacam ini
termasuk dalam perbuatan yang baik (af'aal mahmudah), selama tidak
menyimpang dari ketetapan yang terkandung di dalam nash. Sebab, Nabi
saw telah memberikan pahala atas perbuatan-perbuatan semacam ini.
Rasulullah saw bersabda:
"Siapa saja yang mengerjakan sunnah-sunnah
yang baik, maka ia mendapatkan pahala dari perbuatannya itu, dan pahala
dari orang yang ikut mengerjakan perbuatan itu".Sebaliknya, beliau saw
bersabda, "Siapa saja yang mengerjakan sunnah-sunnah yang buruk, maka ia
akan mendapatkan dosa dari perbuatannya itu, dan dosa dari orang yang
ikut mengerjakan perbuatan itu". Ini jika bertentangan dengan apa yang
diperintahkan Allah swt dan RasulNya.
Di dalam kamus Mukhtaar
al-Shihah disebutkan; ibtada'a al-syai`a : ikhtara'ahu laa 'ala mitsaal
(menciptakan sesuatu yang sebelumnya tidak ada). Sedangkan al-bid'ah
adalah: al-huduts fi al-diin ba'da al-ikmaal (mengada-adakan perkara
baru dalam urusan agama setelah kesempurnaanya).
Dalam kitab
al-Ta'aarif , Imam al-Manawiy menyatakan; al-bid'ah : al-fi'lah
al-mukhalifah li al-sunnah (bid'ah adalah perbuatan yang bertentangan
dengan sunnah); sebagaimana sabda Rasulullah saw; kulla muhdatsat
bid'ah, wa kulla bid'ah dlalaalah wa kulla dlalaalah fi al-naar (setiap
yang diada-adakan adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah kesesatan dan
setiap kesesatan masuk ke dalam neraka). Akan tetapi, ada sebagian
bid'ah yang tidak makruh (haram), sehingga dinamakan bid'ah mubah. Yang
dimaksud dengan bid'ah mubah adalah semua perkara yang memiliki dasar
di dalam syariat, atau perkara yang memberi konsekuensi mashlahat dan
menghilangkan mafsadat (kerusakan).
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan, bahwa bid'ah menurut pengertian bahasa adalah perkara baru
yang sebelumnya belum pernah ada; dan mencakup perkara-perkara baru yang
memiliki dasar (bid'ah hasanah) maupun yang tidak memiliki dasar dalam
agama (bid'ah dlalalah). Hanya saja, lafadz bid'ah ternyata
dipalingkan oleh syariat dari konteks literalnya menuju konteks syariat
yang lebih khusus. Dengan kata lain, lafadz bid'ah digunakan oleh
syariat untuk memaknai setiap perkara yang tidak memiliki dasar dalam
agama, dan tidak mencakup lagi perkara baru yang memiliki dasar dalam
syariat. Oleh karena itu, bid'ah dalam konteks syariat inilah yang
mesti dipakai dan digunakan.
- Bid'ah Menurut Pengertian Syariat
Mayoritas ulama berpendapat bahwa bid'ah adalah setiap perkara baru yang tidak memiliki dasar di dalam syariat.
Di
dalam kitab Jaami' al-'Uluum wa al-Hukm dinyatakan, bahwa setiap amal
yang tidak sejalan dan terikat dengan syariat, niscaya akan ditolak.
Oleh karena itu, setiap perbuatan harus selalu terikat dengan hukum
syariat, dan perbuatan akan ditolak jika tidak sejalan dan sesuai dengan
hukum syariat…..Bid'ah adalah setiap perkara baru yang tidak memiliki
asal (dasar) di dalam syariat. Secara syar'iy, bid'ah dalam pengertian
bahasa (setiap perkara baru) tidaklah termasuk perkara bid'ah.
Imam
al-Syathibiy dalam kitab al-I'tishaam mendefinisikan bid'ah sebagai
berikut; "Suatu jalan baru (thariqah) di dalam agama yang dibuat-buat
serupa dengan syariat, dimana, tujuan melakukan perbuatan itu adalah
berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah swt".
Menurut
al-Syathibiy, bid'ah adalah thariqah baru dalam agama yang dibuat-buat
dan diserupakan dengan syariat, dimana tendensi melakukan hal tersebut
adalah berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah swt. Berdasarkan
definisi ini, bid'ah dibatasi oleh batasan-batasan berikut ini;
1. perkara tersebut merupakan jalan baru (thariqah) di dalam agama2. perkara tersebut diserupakan dengan syariat3. perkara tersebut dibuat dengan tendensi berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah swt.
Pertama,
perkara tersebut merupakan thariqah baru dalam agama. Thariqah baru
yang tidak ada sangkut pautnya dengan urusan agama bukan termasuk
bid'ah. Misalnya, menciptakan model baru dalam bidang arsitektur, ilmu
pengetahuan, dan lain sebagainya. Perkara-perkara semacam ini tidaklah
termasuk bid'ah. Pasalnya, ia tidak berhubungan dengan masalah
diniyyah.
Adapun jalan baru (thariqah) dalam agama dibagi menjadi
dua. Ada thariqah baru yang memiliki dasar di dalam syariat, dan ada
pula yang tidak. Bid'ah hanya berhubungan dengan jalan baru (thariqah)
dalam agama yang tidak memiliki dasar dalam syariat. Sebab, bid'ah
adalah setiap perkara yang tidak memiliki dasar di dalam syariat. Atas
dasar itu, ilmu ushul fiqih, nahwu sharaf, ushul al-diin, dan semua ilmu
yang digunakan untuk memahami agama Islam, tidaklah termasuk perkara
bid'ah. Sebab, perkara-perkara semacam ini memiliki dasar di dalam
syariat.
Kedua, perkara tersebut diserupakan dengan syariat, atau
dianggap merupakan bagian dari syariat, padahal, perkara tersebut
bertentangan dengan syariat. Kategorisasi kedua ini mencakup tindakan;
(1) membuat ketetapan baru (wadl'u al-hudud). Misalnya, ada seseorang
bersumpah untuk berpuasa dengan berdiri tanpa duduk, berjemur di terik
matahari, dan lain sebagainya; (2) melazimkan diri pada ibadah-ibadah
tertentu dan pada waktu-waktu tertentu; padahal tidak ada satupun
keterangan di dalam syariat. Misalnya, melazimkan diri untuk berpuasa
nishfu sya'ban, dan qiyamul lail di malam harinya; (3) melazimkan diri
dengan tatacara atau bentuk-bentuk peribadatan tertentu. Misalnya,
dzikir bersama-sama, merayakan hari kelahiran Nabi Mohammad saw, dan
sebagainya.
Adapun perbuatan-perbuatan yang tidak diserupakan dengan
syariat, maka ia tidak termasuk bid'ah, akan tetapi termasuk perbuatan
biasa (af'al al-'aadiyah). Pasalnya, seseorang tidak mungkin
mengerjakan suatu perbuatan jika perbuatan itu tidak diserupakan dengan
syariat, atau dianggap bagian dari syariat.
Ketiga, perkara tersebut
dibuat dengan tendensi berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah
swt. Kategorisasi ketiga ini didasarkan pada kenyataan, bahwa faktor
yang mendorong seseorang membuat perkara-perkara bid'ah adalah
berlebih-lebihan dalam ibadah. Akhirnya, ia membuat dan menambahkan
ketetapan-ketetapan dan batasan-batasan baru dalam masalah agama,
padahal ketetapan dan batasan Allah dalam masalah agama telah sempurna
dan cukup.
Berdasarkan kategorisasi ini, perbuatan-perbuatan biasa
(af'al 'aadiyah) tidak termasuk bid'ah. Demikian pula perkara-perkara
baru dalam agama yang diserupakan dengan syariat, namun tidak ditujukan
untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah, tidak termasuk
bid'ah. Misalnya, denda yang harus dibayar atas sejumlah harta,
menetapkan nisbah atau kadar tertentu untuk harta seperti halnya zakat,
membuat bank, dan lain sebagainya. Contoh yang lain adalah mandi dengan
menggunakan sabun, gosok gigi dengan sikat gigi dan sebagainya.
Bid'ah Tarkiyyah (Bid'ah Karena Meninggalkan Sesuatu)
Bid'ah juga mencakup bid'ah tarkiyah maupun yang ghairu tarkiyyah.
Yang dimaksud dengan bid'ah tarkiyyah adalah seseorang meninggalkan
suatu perkara karena ia mengharamkan perkara tersebut; padahal hukumnya
mubah menurut syariat.
Hanya saja, jika seseorang meninggalkan suatu
perkara mubah karena memang didasarkan pada alasan-alasan syar'I, maka
perbuatannya tidak termasuk bid'ah. Misalnya, seseorang meninggalkan
aktivitas merokok, karena merokok dapat menyebabkan bahaya bagi dirinya.
Demikian pula jika seseorang meninggalkan suatu perbuatan untuk
menjaga kehormatan dirinya dan agamanya, perbuatan semacam ini justru
merupakan sifat-sifat dari orang-orang yang bertaqwa. Misalnya,
menjauhi perkara-perkara syubhat karena takut terjatuh ke dalam
perbuatan haram, atau untuk menjaga diri dan agamanya.
Jika
seseorang meninggalkan suatu perkara bukan karena alasan-alasan di atas,
hal ini perlu perincian lebih lanjut. Jika tindakannya itu tidak
dijadikan sebagai bentuk peribadatan tertentu, maka tidak termasuk
bid'ah. Hanya saja pelakunya telah melakukan maksiyat, karena
keyakinannya yang telah mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah swt.
Jika tindakannya itu dijadikan sebagai bentuk peribadatan tertentu,
pelakunya telah terjatuh kepada tindakan bid'ah. Pasalnya, apa yang
telah ia lakukan telah tercakup dalam definisi bid'ah. Oleh karena itu,
pelakunya dianggap telah menentang maksud dari Syaari' (Pembuat Hukum)
ketika mensyariatkan kehalalan perkara tersebut. Allah swt berfirman;
"Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik
yang Telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas".[al-Maidah:87]
Selain itu, ada sebagian shahabat yang
mengharamkan tidur di malam hari. Ada pula yang mengharamkan dirinya
makan di siang hari. Ada pula yang mengharamkan dirinya "berhubungan
dengan isterinya". Sebagian lagi ada yang sampai mengebiri kemaluannya,
karena berlebihan dalam menghindarkan dirinya dengan isteri-isterinya.
Hingga kemudian Nabi saw bersabda, "Siapa saja yang meninggalkan
sunnahku maka ia bukan termasuk golonganku". Atas dasar itu, orang yang
meninggalkan apa yang dibolehkan oleh syariat tanpa ada alasan syar'iy,
maka ia telah keluar dari sunnah Nabi saw. Adapun orang yang
mengerjakan perbuatan yang tidak ada dasarnya di dalam sunnah dan
perbuatan itu ia jadikan sebagai ibadah tertentu, maka, orang tersebut
termasuk pelaku bid'ah.
Alasan Pencelaan Terhadap Pelaku Bid'ah
Syariat telah mencela pelaku bid'ah dengan pencelaan yang sangat keras.
Alasannya, pertama, syariat Islam telah sempurna dan tidak membutuhkan
penambahan maupun pengurangan (revisi). Sebab, Allah swt telah
menyempurnakan agama Islam. Allah swt berfirman;
"Pada
hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu".[TQS al-Maidah (5):3]
Di dalam hadits shahih juga dituturkan, bahwasanya al-'Irbadh bin Saariyah menuturkan;
وَعَظَنَا
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا بَعْدَ
صَلَاةِ الْغَدَاةِ مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ
وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ رَجُلٌ إِنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ
مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدٌ
حَبَشِيٌّ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّهَا ضَلَالَةٌ فَمَنْ
أَدْرَكَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَعَلَيْهِ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ
الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
"Suatu
saat, Rasulullah saw menasehati kami dengan sebuah nasehat yang sangat
menyentuh, yang membuat air mata bercucuran dan hati tergetar. Lantas,
ada seorang laki-laki berkata, "Sesungguhnya, ini seperti nasehat
perpisahan. Lalu, apa yang engkau wasiatkan kepada kami, Ya Rasulullah?
Nabi saw menjawab, "Aku berwasiat kepada kalian, agar kami selalu
bertaqwa kepada Allah; dan hendaknya kamu selalu mendengar dan taat
meskipun engkau dipimpin oleh seorang budak Habasyi. Sungguh, siapa
saja diantara kalian yang masih hidup, kelak akan menyaksikan
perselisihan yang sangat banyak. Dan berhati-hatilah dengan perkara
yang diada-adakan (muhdats); sebab ia adalah kesesatan. Siapa saja
diantara kalian yang menjumpai hal itu, wajib atasnya untuk selalu
berpegang teguh dengan sunnahku, dan sunnah para khalifah yang diberi
petunjuk. Gigitlah ia dengan gigi gerahammu".[HR. Imam Abu Dawud dan
Turmudziy. Menurut Turmudziy, hadits ini hasan shahih]
Selain itu,
telah ditetapkan berdasarkan nash-nash sharih, bahwa semua wahyu dari
langit telah turun sempurna, dan tidak ada lagi wahyu dari langit
sepeninggal beliau saw. Oleh karena itu, orang yang melakukan bid'ah,
sama artinya telah menciderai kesempurnaan syariat Islam. Sebab, tanpa
disadari, mereka telah menambah-nambah, atau mengada-adakan perkara baru
yang sejatinya tidak diperlukan lagi di dalam Islam. Alasannya, Islam
telah sempurna dan lengkap, dan tidak butuh tambahan maupun pengurangan.
Ibnu al-Maajasyuun berkata, "Saya mendengar Malik berkata,"Siapa saja
melakukan perbuatan bid'ah di dalam Islam, yang menurutnya suatu
kebaikan, sesungguhnya sama saja ia telah menyakini bahwa Mohammad saw
telah berkhianat terhadap risalahnya. Sebab Allah swt berfirman,
artinya, "Pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi
agama bagimu".[TQS al-Maidah (5):3]
Kedua, pelaku bid'ah adalah
pengikut hawa nafsu dan syahwat. Sebab, orang yang tidak mengikuti
hukum syariat, sesungguhnya ia telah mengikuti hawa nafsu dan syahwat.
Sedangkan orang yang mengikuti hawa nafsu dan syahwatnya adalah orang
yang tersesat. Allah swt berfirman;
"dan
siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya
dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun".[TQS al-Qashshash
{28]:50].
Di ayat yang lain Allah swt berfirman;
"Apakah
kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya Telah beriman
kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan
sebelum kamu ? mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka
Telah diperintah mengingkari thaghut itu. dan syaitan bermaksud
menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.
Ketiga,
pelaku bid'ah mensejajarkan dirinya dengan al-Syaari` (Allah swt).
Padahal, tidak ada satupun pihak yang boleh menetapkan hukum kecuali
Allah swt. Allah swt berfirman;
"Kamu
tidak menyembah yang selain Allah kecuali Hanya (menyembah) nama-nama
yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan
suatu keterangan sedikitpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu
hanyalah kepunyaan Allah. dia Telah memerintahkan agar kamu tidak
menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia
tidak mengetahui."[TQS Yusuf (12):40]
Celaan Al-Quran Terhadap Pelaku Bid'ah
Banyak ayat al-Quran yang mencela perbuatan dan pelaku bid'ah. Celaan
al-Quran terhadap perbuatan bid'ah diindikasikan dengan adanya larangan
untuk berbuat menurut hawa nafsu, dan kewajiban untuk selalu berhukum
dengan syariat Islam. Allah swt berfirman;
"Dan
bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka
ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain)[152],
Karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalannya. yang
demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa".[TQS al-An'aam
(6):153]
Berkaitan dengan ayat ini, ada sebuah riwayat menuturkan
bahwasanya, Abdullah bin Mas'ud ra berkata,"Suatu hari, Rasulullah saw
menggambarkan kepada kami sebuah garis panjang; dan beliau juga
menggambarkan kepada kami, dua garis lurus panjang. Kemudian, beliau
membuat garis dari sebelah kanan dan kirinya, seraya berkata, "Ini
adalah jalan Allah". Lalu, beliau menggambar garis-garis dari sebelum
kanan dan kirinya, dan berkata, "Ini adalah jalan-jalan, dimana di
setiap jalan itu ada setan yang mengajak menuju ke sana." Beliau lantas
membaca ayat di atas (al-An'aam: 153]" [HR. Imam Ahmad, 'Abdu bin
Hamid, Bazaar, al-Nasaaiy, Abu Syaikh, al-Haakim, Ibnu Abi Hatim, dan
Ibnu Mundzir]
Abu Bakar bin al-'Ilaa` berkata,"Tidak ada perkara
yang lebih diingini setan selain dari bid'ah. Sedangkan menurut Mujahid,
makna "wa laa tattabi'uu al-subula", adalah perkara bid'ah dan syubhat .
Pada ayat lain, Allah swt berfirman;
"Sesungguhnya
orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi
bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka.
Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, Kemudian
Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang Telah mereka
perbuat".[TQS al-An'aam (6):159]
Dituturkan dari Aisyah ra,
bahwasanya Rasulullah saw bertanya kepadanya, "Wahai Aisyah, siapakah
"orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi
bergolongan"? Aisyah menjawab, " Allah dan RasulNya yang lebih tahu".
Nabi saw bersabda, "Mereka adalah orang-orang yang suka mengikuti hawa
nafsu, pelaku bid'ah, dan orang-orang sesat dari kalangan umat ini. Ya,
Aisyah, sesungguhnya setiap dosa akan dihapus dengan taubat, kecuali
dosa orang yang mengikuti hawa nafsu dan suka melakukan bid'ah.
Sesungguhnya, taubat mereka tidak diterima. Saya berlepas diri dari
mereka, dan mereka orang yang melepaskan dirinya dariku".
Ayat-ayat
di atas, dan masih banyak lagi ayat-ayat lain, menunjukkan dengan sangat
jelas, bahwa Allah swt telah mencela pelaku bid'ah dengan celaan yang
sangat keras. Bahkan, taubat mereka tidak akan diterima Allah swt.
Celaan Sunnah Terhadap Bid'ah
Sunnah juga mencela pelaku dan perbuatan bid'ah. Di dalam sebuah
hadits shahih dituturkan, bahwasanya 'Aisyah ra berkata, "Rasulullah saw
bersabda, "Barangsiapa mengada-adakan perkara baru di dalam urusan
kami, maka perkara itu tertolak."[HR. Bukhari dan Muslim] Hadits ini
merupakan celaan yang paling sharih dan jelas atas perbuatan dan pelaku
bid'ah.
Imam Muslim juga mengeluarkan sebuah riwayat dari Jabir bin
'Abdullah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda di dalam khuthbahnya,
"Amma ba'du. Sesungguhnya, sebaik-baik ucapan adalah Kitabullah, dan
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuknya Nabi Mohammad saw.
Sejelek-jelek perkara adalah perkara-perkara yang diada-adakan (bid'ah);
dan setiap perkara yang diada-adakan (bid'ah) adalah kesesatan".
Di
dalam hadits lain dituturkan, bahwasanya Nabi saw tengah berkhuthbah di
hadapan masyarakat. Setelah memuji Allah, dirinya dan keluarganya,
beliau bersabda, "Siapa saja yang diberi petunjuk Allah, sungguh ia
tidak akan disesatkan; dan siapa saja yang disesatkan Allah, niscaya ia
tidak akan mendapatkan petunjuk. Sebaik-baik ucapan adalah Kitabullah,
dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuknya Mohammad saw, dan
sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan (bid'ah), dan
setiap perkara yang diada-adakan adalah bid'ah". Adapun di dalam
riwayat al-Nasaa'iy adalah tambahan, "Dan setiap perkara yang
diada-adakan adalah bid'ah, dan setiap bid'ah akan dimasukkan ke dalam
neraka".
Dari Ibnu Mas'ud ra diriwayatkan, bahwasanya Umar ra selalu
mengucapkan khuthbah Rasulullah saw di atas ketika berkhuthbah.
Sedangkan Ibnu Mas'ud ra berkhuthbah dengan hadits tersebut setiap hari
Kamis.
Imam Ibnu Majah juga mengeluarkan sebuah hadits dari Ibnu
'Abbas secara marfu', bahwasanya Nabi saw bersabda, "Berhati-hatilah
kalian dengan perkara yang diada-adakan. Sesungguhnya, sejelek-jelek
perkara adalah yang diada-adakan; dan setiap perkara yang diada-adakan
adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah kesesatan". Menurut Imam
Syathibiy, yang lebih masyhur, hadits ini mauquf dari Ibnu Mas'ud ra.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwasanya ia berkata, "Nabi saw
bersabda, "Siapa saja yang menyeru kepada petunjuk, maka ia akan
mendapatkan pahala dari orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi
sedikitpun pahala dari mereka; dan barangsiapa menyeru kepada kesesatan,
maka ia mendapatkan dosa dari orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi
sedikitpun dosa mereka". Di dalam riwayat shahih lain dituturkan
juga, bahwasanya Nabi saw bersabda, "Siapa saja yang membuat sunnah yang
baik, maka ia akan mendapatkan pahala juga dari orang yang
mengikutinya, tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka. Dan
barangsiapa membuat sunnah yang jelek, maka ia juga akan mendapatkan
dosa dari orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi sedikitpun dosa
mereka".[HR. Imam Muslim]
Imam Turmudziy mengetengahkan sebuah
riwayat dari al-'Irbaadl bin Saariyah, bahwasanya ia berkata, "Pada
suatu hari, Rasulullah saw sholat bersama kami, lalu menghadap ke arah
kami, dan menyampaikan nasehat yang sangat menyentuh, hingga menyebabkan
air mata bercucuran, dan hati tergetar. Lalu, ada seorang laki-laki
bertanya, "Ya Rasulullah? Nasehat ini seakan-akan merupakan nasehat
terakhir, lantas, apa yang engkau pesankan kepada kami? Nabi saw
bersabda, "Aku berwasiat agar kalian selalu bertaqwa kepada Allah swt,
dan agar kalian selalu mendengar dan mentaati para penguasa, meskipun ia
adalah seorang budak Habasyi. Sesungguhnya, siapa saja diantara kalian
yang masih hidup setelahku, akan menemui perselisihan yang sangat
banyak. Dalam kondisi seperti itu, wajib atas kalian memegang sunnahku
dan sunnah para khalifah rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Berpegang
teguhlah kalian dengannya, dan gigitlah ia dengan geraham. Dan
berhati-hatilah kalian dengan perkara yang diada-adakan. Sesungguhnya,
setiap perkara yang diada-adakan adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah
kesesatan".[HR Imam Turmudziy dan Abu Dawud] Menurut Imam Turmudziy
hadits ini hasan shahih.
Di dalam riwayat lain, dari Hudzaifah
al-Yamani juga dituturkan, bahwasanya Nabi saw bersabda,"Ya Rasulullah!
Apakah setelah kebaikan akan datang keburukan? Nabi saw menjawab,
"Benar", yakni kaum yang berbuat tidak atas dasar sunnahku, dan mereka
memberi petunjuk bukan dengan petunjukku." Saya bertanya lagi, "Apakah
setelah keburukan ini akan datang keburukan lagi? Nabi menjawa, "Benar,
yakni datangnya orang yang mengajak menuju neraka jahannam. Siapa saja
yang mengikutinya akan dimasukkan ke dalamnya". Saya bertanya lagi,
"Ya Rasulullah, tunjukkanlah sifat-sifat mereka kepada kami". Nabi
berkata, "Baiklah, mereka memiliki warna kulit seperti kita, dan
berbicara seperti kita". Saya bertanya lagi, "Lalu, apa yang engkau
perintahkan kepadaku, jika aku menjumpai hal itu? Nabi saw bersabda,
"Tetaplah kamu ke dalam jama'ah Muslim dan imam mereka. Saya bertanya,
"lalu, bagaimana jika tidak ada jama'ah dan imam? Nabi menjawab,
"Jauhilah semua kelompok itu; walaupun untuk itu engkau harus menggigit
akar pohon hingga kematian menjemputmu, dan engkau tetap berada dalam
keadaan tersebut".[HR. Bukhari dan Muslim]
Hadits-hadits di atas
–dan masih banyak lagi hadits yang lain--menunjukkan dengan sangat
jelas, bahwa bid'ah adalah perkara terlarang yang harus dijauhi oleh
seorang Muslim sejauh-jauhnya. Sebab, bid'ah adalah kesesatan, dan akan
menyebabkan pelakunya masuk ke nerakanya Allah swt.
Celaan Ulama Salaf dari Kalangan Shahabat dan Tabi'in Terhadap Bid'ah
Diriwayatkan dari Umar bin Khaththab ra, bahwasanya ia berkhuthbah di
hadapan masyarakat, "Wahai manusia! Sungguh, aku telah menegakkan
sunnah untuk kalian, dan aku juga telah mewajibkan kalian dengan
sejumlah kewajiban. Dan kalian berada di atas sesuatu yang sangat jelas
(al-Quran); kecuali jika kalian disesatkan oleh manusia dari kanan dan
kiri. Lalu, beliau menepukkan salah satu tangannya di atas tangannya
yang lain, seraya berkata, "Berhati-hatilah kamu dari kebinasaan akibat
ayat rajam…Sungguh, Rasulullah saw telah merajam, maka kami pun juga
memberlakukan hukuman rajam".[Ibid, hal. 58]
Hudzaifah al-Yamani
berkata, "Wahai para ahli qura` (pembaca al-Quran), beristiqamahlah
kalian, niscaya kalian akan sampai lebih dahulu. Sungguh, jika kalian
mengambil apa yang ada di sebelah kanan dan kiri; kalian akan tersesat
sejauh-jauhnya".[Ibid, hal. 58]
Dituturkan juga dari Hudzaifah
al-Yamani, bahwasanya ia berkata, "Saya sangat khawatir terhadap dua
perkara yang akan menimpa manusia; (pertama) banyak orang terpengaruh
dengan apa yang dilihatnya, daripada terpengaruh dengan apa yang ia
ketahui. Kedua, mereka telah tersesat, sedangkan mereka tidak
menyadarinya. Sofyan berkata, "Mereka adalah ahlul bid'ah".[Ibid, hal.
59]
Diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud ra, bahwasanya ia berkata,
"Ikutilah atsar-atsar kami, dan janganlah kalian membuat bid'ah".[Ibid,
hal. 59]
Dari Ibnu Wahhab, dituturkan, bahwasanya Ibnu Mas'ud
berkata,"Perdalamlah ilmu sebelum ilmu itu dicabut. Sesungguhnya,
tercabutnya ilmu adalah dengan wafatnya ahli ilmu (ulama). Oleh karena
itu, perdalamlah ilmu, sesungguhnya salah seorang diantara kalian tidak
tahu, kapan apa yang dimilikinya akan berkurang. Sungguh, kalian akan
mendapati suatu kaum yang mereka menyangka telah menyeru kepada
Kitabullah. Padahal, mereka telah mencampakkan Kitabullah di belakang
mereka. Untuk itu, perdalamlah ilmu, dan berhati-hatilah dengan perkara
yang diada-adakan (bid'ah), dan waspadalah terhadap perbuatan yang suka
memfasih-fasihkan ucapan dengan jalan memutar lidah, dan hati-hatilah
kamu dari ta'ammuq (memerinci lebih dalam, padahal tidak ada keterangan
yang memadai mengenai perincian itu); dan jagalah kehormatan
kalian".[Ibid, hal.60]
Dari Ibnu Mas'ud ra diriwayatkan bahwasanya
ia berkata, "Tak ada satupun tahun, setelah tahun itu, kecuali akan
ditimpa keburukan. Yang saya maksud tahun itu, bukanlah tahun yang
paling deras hujannya, ataupun tahun yang paling subur dibandingkan
tahun yang lain, maupun tahun yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang
paling baik; akan tetapi, tahun itu adalah tahun kematian ulama-ulama
dan kaum terpilih diantara kamu; lalu, setelah itu, ada sekelompok orang
yang memutuskan perkara dengan pendapat mereka sendiri. Akibatnya,
Islam hancur dan binasa".[Ibid, hal. 60]
Di dalam kitab
al-I'tishaam, Imam Syathibiy menyitir sebuah hadits yang maknanya marfu'
kepada Nabi saw, bahwasanya Nabi saw bersabda, "Amal sedikit namun
sesuai sunnah, lebih baik daripada amal banyak namun bid'ah".[Ibid, hal.
60]
Qasim bin Ashbah mengeluarkan sebuah riwayat dari Nabi saw,
bahwasanya beliau bersabda,"Sesungguhnya, manusia yang paling berat
siksanya kelak di hari kiamat adalah pemimpin sesat yang menyesatkan
manusia dengan apa-apa yang tidak diturunkan oleh Allah swt, pelukis
makhluk bernyawa, dan seorang laki-laki yang membunuh atau dibunuh
nabinya".[Ibid, hal.60]
Dari Abu Bakar al-Shiddiq dituturkan,
bahwasanya ia berkata, "Saya tidak pernah meninggalkan satupun perbuatan
yang dikerjakan oleh Rasulullah saw. Saya khawatir, jika saya
meninggalkan sesuatu yang diperintahkannya, saya akan berpaling".[Ibid,
hal. 60]
Ibnu 'Abbas ra pernah berkata, "Akan datang suatu masa, di
mana manusia yang hidup di masa itu akan menghidupkan bid'ah, dan
mematikan sunnah, hingga akhirnya, hiduplah bid'ah dan matilah
sunnah".[Ibid, hal.61]
Dari kalangan tabi'in, al-Hasan pernah
berkata, "Shahibul bid'ah tidak akan mendapatkan tambahan pahala dari
ijtihad, puasa, dan sholat, kecuali Allah akan semakin menjauhkan orang
tersebut dariNya".[Ibid, hal.61]
Dari Abu Idris al-Khulaniy
diriwayatkan, bahwasanya ia berkata, "Seandainya aku menjumpai api di
dalam masjid yang aku tidak bisa memadamkannya, itu lebih aku sukai
daripada aku melihat bid'ah di dalamnya, dan aku tidak bisa
mengubahnya".[Ibid, hal.61]
Imam Fudlail bin 'Iyadl berkata,
"Ikutilah jalan-jalan petunjuk, dan janganlah kamu terhalang oleh
sedikitnya orang yang menempuhnya. Dan berhati-hatilah terhadap jalan
kesesatan, dan janganlah kamu tergoda dengan banyaknya orang yang
menempuhnya".[Ibid. 62]
Al-Hasan berkata, "Janganlah kamu duduk
bersama shahibul hawa (pengikut hawa nafsu). Sesungguhnya, itu bisa
melenyapkan sesuatu yang seharusnya kamu ikuti (sunnah) dari hatimu; dan
akhirnya kamu akan mengalami kebinasaan. Selisihilah mereka, atau
mereka akan membuat hatimu sakit".[Ibid, hal. 62]
Dari Abu Qilabah
dituturkan, bahwasanya ia berkata, "Janganlah kalian semua duduk dengan
ahlul hawa (pengikut hawa nafsu), janganlah kamu berdiskusi dengan
mereka. Saya tidak menjamin keselamatan kalian dari kesesatan mereka.
Hendaklah kalian tetap berpegang teguh dengan apa yang kalian telah
ketahui". Abu Ayyub berkata, "Sesungguhnya, demi Allah, beliau (Abu
Qilabah) termasuk seorang ahli fikih yang cerdas".[Ibid, hal.63]
Inilah komentar para ulama dari kalangan shahabat dan tabi'in terhadap bid'ah dan para pelakunya.
Celaan Ulama Tasawwuf Terhadap Bid'ah
Para 'ulama sangat mencela para pelaku bid'ah, termasuk ulama tasawwuf
sendiri. Imam Fudlail bin 'Iyadl menyatakan, "Siapa saja yang duduk
dengan ahli bid'ah, maka ia tidak akan mendapatkan hikmah".[Imam
al-Syathibiy, al-I'tishaam, hal. 67]
Ibrahim bin Adham
berkata,"Sesungguhnya Allah swt berfirman,"Mintalah kalian kepadaKu
niscaya Aku akan mengabulkan untukmu".[Ghaafir:60]. Akan tetapi, kita
berdoa kepadaNya sejak ditimpa kemalangan, namun Allah tidak mengabulkan
doa kita! Sesungguhnya, matinya hati karena sepuluh perkara: pertama,
kalian mengetahui Allah, namun tidak pernah menunaikan hakNya. Kedua,
kalian membaca al-Quran namun tidak mengamalkannya. Ketiga, kalian
mengaku cinta kepada Rasulullah, namun meningkalkan sunnahnya. Keempat,
kalian mengaku musuh setan, akan tetapi kalian mengikutinya. Kelima,
kamu mengatakan cinta kepada surga, namun kamu tidak beramal untuk
menuju ke sana...dan seterusnya." [Ibid, hal. 68]
Dzun Nun berkata,
"Salah satu tanda cinta kepada Allah adalah mengikuti Nabi Mohammad saw,
baik akhlaqnya, perbuatan-perbuatannya, perintahnya, dan
sunnahnya".[ibid, hal. 68]
Dzun Nun juga berkata, "Ada enam hal yang
menyebabkan rusaknya akhlaq. Pertama, lemahnya niat amal untuk
akherat. Kedua, badan-badan mereka menjadi budak syahwat. Ketiga,
mereka dikuasai oleh panjang angan-angan, padahal ajal sangatlah pendek.
Keempat, mereka mencari ridlanya makhluk dengan mengesampingkan ridla
Allah swt. Kelima, mereka mengikutkan hawa nafsunya, dan meninggalkan
sunnah Nabi saw. Keenam, mereka menjadikan kekeliruan pada ulama salaf
sebagai hujjah atas diri mereka sendiri, dan melupakan sebagian besar
biografi mereka yang baik".[ibid, hal. 68]
Basyar al-Haafiy berkata,
"Saya melihat Nabi saw di dalam mimpi, dan berkata kepadaku, "Ya
Basyar! Tahukah kamu, Allah tidak akan mengangkat maqammu diantara
teman-temanmu? Saya menjawab, "Tidak Ya Rasulullah." Rasulullah saw
berkata, "Maka, jadilah kamu pengikuti sunnahku, cintailah orang-orang
sholeh, nasehatilah teman-temanmu, cintailah shahabatku dan ahli baitku.
Dan inilah yang akan mengangkat derajatmu ke maqamnya malaikat".[ibid,
hal. 68]
Yahya bin Mu'adz al-Raaziy menyatakan, "Semua perselisihan
manusia disebabkan oleh tiga sebab, dan masing-masing sebab saling
bertentangan. Siapa saja yang terjatuh ke dalam salah satunya, maka ia
akan terjatuh pada kebalikannya; tauhid lawannya adalah syirik, sunnah
lawannya bid'ah, dan taat lawannya adalah maksiyat".[ibid, hal.68]
Abu Bakar al-Daqaaq --salah satu teman dekatnya Junaid—berkata, "Suatu
hari, aku berjalan di padang sahara Bani Israil tanpa mempedulikan
bahaya yang menghadang, agar aku mendapatkan penjelasan yang gamblang
mengenai hakekat ilmu syariat. Lalu, seseorang berteriak kepadaku,
"Semua hakekat yang tidak sejalan dengan syariat adalah
kekufuran".[Ibid, hal. 68-69]
Abu 'Ali al-Hasan bin 'Ali
al-Jawazjaniy berkata, "Salah satu tanda kebahagiaan seorang hamba
adalah, ia mudah dalam menjalankan ketaatan, perbuatannya selalu sejalan
dengan sunnah, shahabatnya adalah orang-orang sholeh, berperangai baik
terhadap kawan-kawannya, berusaha sungguh-sungguh untuk berbuat baik
kepada makhluk, dan selalu konsens memikirkan urusan kaum Muslim, dan
senantiasa mengatur waktunya dengan baik".[Ibid, hal. 69]
Abu 'Ali
bin al-Hasan juga pernah ditanya tentang jalan menuju Allah. Beliau
menjawab, "Jalan menuju kepada Allah sangatlah banyak. Hanya saja,
jalan yang paling jelas, dan terjauh dari kesamaran adalah mengikuti
sunnah Rasulullah saw, baik dalam perkataan, perbuatan, janji dan
kesepakatan hati, dan niat. Sebab, Allah swt berfirman, "Seandainya
kalian mentaatinya, kalian akan mendapatkan petunjuk".[TQS al-Nuur (24):
54]
Abu Al-Hasan al-Waraq berkata, "Seorang hamba tidak akan bisa
berhubungan dengan Allah, kecuali beriman kepada Allah dan hidup sejalan
dengan syariat Nabi Mohammad saw. Barangsiapa tidak berjalan sesuai
dengan sunnah, maka ia tersesat, walaupun ia merasa mendapatkan
petunjuk".[Ibid, hal. 69]
Ibrahim bin Qamaar berkata, "Tanda kecintaan kepada Allah adalah mentaatiNya dan mengikuti NabiNya".[Ibid, hal. 69]
Abu Mohammad bin 'Abdul Wahhaab al-Tsaqafiy berkata,"Allah tidak akan
menerima amal perbuatan kecuali benar. Sesuatu amal tidak disebut benar
jika tidak ikhlash; dan amal tidak disebut ikhlash kecuali sesuai
dengan sunnah".[Ibid, hal.69]
Abu Bakar bin Sa'dan, salah seorang
shahabatnya Junaid, berkata, "Berpegang teguh kepada perintah Allah
dapat mencegah kelalaian, maksiyat, bid'ah, dan kesesatan".[Ibid,
hal.69]; dan masih banyak lagi celaan para ulama tasawwuf terhadap
pelaku dan perilaku bid'ah.
Dari seluruh uraian di atas dapat
disimpulkan, bahwa bid'ah adalah perilaku tercela yang harus dihindari
dan dijauhi sejauh-jauhnya oleh kaum Muslim.
0 komentar :
Posting Komentar
Ikhwah fillah, mohon dalam memberikan komentar menyertakan nama dan alamat blog (jika ada). Jazakumullah khairan katsir