09 Agustus 2011

Mengenal Hakikat Bid'ah

Anda sering kebingungan memahami hakikat bid'ah? Bagaimana pandangan ulama' mengenai bid'ah? Lalu, bagaimana pula para sufi memandang bid'ah? InsyaAllah tulisan ini akan memberikan jawabannya. cekidot!
***
Rasulullah SAW bersabda:

حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ رَوَاهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَخْرَمِيُّ وَعَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ أَبِي عَوْنٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ
Dari al-Qasim bin Mohammad, dari 'Aisyah ra, bahwasanya beliau berkata, "Rasulullah saw bersabda, "Siapa saja yang mengada-adakan perkara baru yang tidak kami perintahkan, maka perbuatan itu tertolak."[HR. Bukhari dan Muslim]

Pengertian Umum Hadits
Al-Hafidz Ibnu Hajar menyatakan, hadits ini termasuk salah satu pokok dan pilar agama Islam. Adapun makna yang terkandung di dalam hadits ini adalah; siapa saja yang mengada-adakan perkara baru yang tidak ada dasarnya dalam Islam, maka perkara tersebut tertolak.
Menurut Imam Nawawiy, hadits ini harus selalu diperhatikan dan digunakan untuk menolak perkara-perkara yang mungkar, sekaligus harus selalu dipakai untuk berdalil. Al-Tharaqiy berkata, "Hadits ini layak dinamakan "setengah dalil syara'". Sebab, dalil-dalil syara' selalu beranjak dari dua fundamen dasar, yakni penetapan hukum (itsbat al-hukm) atau penafian hukum (nafiy al-hukm). Dan hadits ini merupakan fundamen dasar dalam penetapan dan penafian hukum syara'. Sebab, manthuq hadits ini merupakan fundamen yang menyeluruh (muqaddimah kulliyyah) untuk semua dalil syariat yang menafikan hukum syariat. Misalnya, pendapat yang membolehkan berwudluk dengan air yang terkena najis. Pendapat semacam ini tidak ada perintahnya di dalam syariat. Oleh karena itu, semua pendapat dan perbuatan semacam ini tertolak. Fundamen kedua (itsbat hukum) juga ditetapkan berdasarkan hadits ini. Yang menjadi perselisihan hanya pada masalah keutamaannya saja. Mafhumnya, siapa saja yang mengerjakan perbuatan yang diperintahkan oleh syariat, maka perbuatan itu sah. Misalnya, ada orang berpendapat bahwa wudluk harus dengan niat. Sesungguhnya, pendapat semacam ini didasarkan pada perintah syariat. Oleh karena itu, semua perbuatan yang diperintahkan oleh syariat adalah perbuatan yang sah...Walhasil, hadits ini merupakan setengah dari dalil syariat".
Di dalam riwayat lain, Rasulullah saw bersabda;

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْخَدِيعَةُ فِي النَّارِ وَمَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
"Nabi saw bersabda, "Orang yang melakukan penipuan akan dimasukkan ke dalam api neraka, dan barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak diperintahkan kami, maka perbuatan itu tertolak."[HR. Bukhari]
Hadits-hadits ini menegaskan bahwa, seorang Muslim wajib memahami, terikat, dan beramal sesuai dengan hukum syariat. Ia juga wajib terikat dengan apa-apa yang ditunjukkan oleh nash-nash syariat, dan dilarang mengada-adakan perkara baru yang tidak memiliki dasar di dalam Islam (bid'ah).

Definisi Bid'ah
  • Makna Bid'ah Secara Literal
Menurut Imam al-Syathibiy al-Gharnathiy, bid'ah berasal dari kata "bada'a " yang bernama : al-ikhtiraa' 'ala ghairi mitsaal saabiq (menciptakan sesuatu yang sama sekali baru, dan sebelumnya tidak pernah ada). Al-Quran telah menunjukkan makna semacam ini;

"Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, Maka (cukuplah) dia Hanya mengatakan kepadanya: "Jadilah!" lalu jadilah ia." [TQS Al Baqarah (2) : 117]. Maksud ayat ini adalah; Allah menciptakan langit dan bumi sama sekali baru, dan sebelumnya tidak pernah ada. Di tempat lain, Allah swt juga berfirman;

"Katakanlah: "Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara rasul-rasul dan Aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan Aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan".[TQS Al Ahqaaf (46):9]. Artinya; aku bukanlah orang yang pertama kali membawa risalah dari Allah untuk umat manusia, akan tetapi, telah mendahului aku sebelumnya Rasul-rasul yang jumlahnya sangat banyak. Jika dinyatakan: ibtada'a fulaan bid'ah ya'niy ibtada`a thariqah lam yasbiqhu ilaihaa saabiq; si fulan menciptakan bid'ah, artinya adalah ia mengawali suatu jalan (metode) yang belum pernah diadakan oleh orang sebelumnya.
Imam Ibnu Mandzur , di dalam Kitab Lisaan al-'Arab menyatakan; bada'a al-syai` : yabdi'uhu bid'an wa ibtada'a– ansya`ahu wa bada`ahu (mengadakan dan mengawalinya)..wa al-badii' wa al-bid'u – al-syai` alladziy yakuun awwalan (suatu perkara yang menjadi pertama kali). Di dalam al-Quran disebutkan:

"Katakanlah: "Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara rasul-rasul".[TQS Al Ahqaaf (46):9]. Artinya; aku bukanlah orang yang pertama kali diutus Allah, akan tetapi telah diutus sebelum aku, banyak Rasul. Al-bid'ah – al-huduts wa maa ibtada'a min al-diin ba'da al-ikmaal (bid'ah adalah mengada-adakan suatu perkara dan setiap perkara dari agama yang diada-adakan, setelah agama ini sempurna). Ibnu Sakit berkata, al-bid'ah kulla muhdatsatin" (bid'ah adalah semua perkara yang diada-adakan). Ini didasarkan pada perilaku Umar ra mengumpulkan orang untuk sholat berjamah di bulan Ramadlan, dan ucapan beliau ra, "Inilah sebaik-baik bid'ah". Ibnu al-Atsiir membagi bid'ah menjadi dua; bid'ah huda dan bid'ah dlalal. Semua perkara yang bertentangan dengan apa yang diperintahkan Allah swt dan RasulnNya, maka ia termasuk perkara yang tercela dan ingkar. Sedangkan perkara yang masih sejalan dengan keumuman apa yang disunnahkan oleh Allah swt dan dianjurkan oleh Allah swt dan RasulNya, maka, ia termasuk perkara yang terpuji. Adapun perkara-perkara yang tidak ada contoh sebelumnya, misalnya sifat-sifat yang sejenis dengan sifat dermawan dan baik hati, serta perbuatan-perbuatan baik lainnya, maka perkara-perkara semacam ini termasuk dalam perbuatan yang baik (af'aal mahmudah), selama tidak menyimpang dari ketetapan yang terkandung di dalam nash. Sebab, Nabi saw telah memberikan pahala atas perbuatan-perbuatan semacam ini. Rasulullah saw bersabda:
"Siapa saja yang mengerjakan sunnah-sunnah yang baik, maka ia mendapatkan pahala dari perbuatannya itu, dan pahala dari orang yang ikut mengerjakan perbuatan itu".Sebaliknya, beliau saw bersabda, "Siapa saja yang mengerjakan sunnah-sunnah yang buruk, maka ia akan mendapatkan dosa dari perbuatannya itu, dan dosa dari orang yang ikut mengerjakan perbuatan itu". Ini jika bertentangan dengan apa yang diperintahkan Allah swt dan RasulNya.
Di dalam kamus Mukhtaar al-Shihah disebutkan; ibtada'a al-syai`a : ikhtara'ahu laa 'ala mitsaal (menciptakan sesuatu yang sebelumnya tidak ada). Sedangkan al-bid'ah adalah: al-huduts fi al-diin ba'da al-ikmaal (mengada-adakan perkara baru dalam urusan agama setelah kesempurnaanya).
Dalam kitab al-Ta'aarif , Imam al-Manawiy menyatakan; al-bid'ah : al-fi'lah al-mukhalifah li al-sunnah (bid'ah adalah perbuatan yang bertentangan dengan sunnah); sebagaimana sabda Rasulullah saw; kulla muhdatsat bid'ah, wa kulla bid'ah dlalaalah wa kulla dlalaalah fi al-naar (setiap yang diada-adakan adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan masuk ke dalam neraka). Akan tetapi, ada sebagian bid'ah yang tidak makruh (haram), sehingga dinamakan bid'ah mubah. Yang dimaksud dengan bid'ah mubah adalah semua perkara yang memiliki dasar di dalam syariat, atau perkara yang memberi konsekuensi mashlahat dan menghilangkan mafsadat (kerusakan).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa bid'ah menurut pengertian bahasa adalah perkara baru yang sebelumnya belum pernah ada; dan mencakup perkara-perkara baru yang memiliki dasar (bid'ah hasanah) maupun yang tidak memiliki dasar dalam agama (bid'ah dlalalah). Hanya saja, lafadz bid'ah ternyata dipalingkan oleh syariat dari konteks literalnya menuju konteks syariat yang lebih khusus. Dengan kata lain, lafadz bid'ah digunakan oleh syariat untuk memaknai setiap perkara yang tidak memiliki dasar dalam agama, dan tidak mencakup lagi perkara baru yang memiliki dasar dalam syariat. Oleh karena itu, bid'ah dalam konteks syariat inilah yang mesti dipakai dan digunakan.
  • Bid'ah Menurut Pengertian Syariat
Mayoritas ulama berpendapat bahwa bid'ah adalah setiap perkara baru yang tidak memiliki dasar di dalam syariat.
Di dalam kitab Jaami' al-'Uluum wa al-Hukm dinyatakan, bahwa setiap amal yang tidak sejalan dan terikat dengan syariat, niscaya akan ditolak. Oleh karena itu, setiap perbuatan harus selalu terikat dengan hukum syariat, dan perbuatan akan ditolak jika tidak sejalan dan sesuai dengan hukum syariat…..Bid'ah adalah setiap perkara baru yang tidak memiliki asal (dasar) di dalam syariat. Secara syar'iy, bid'ah dalam pengertian bahasa (setiap perkara baru) tidaklah termasuk perkara bid'ah.
Imam al-Syathibiy dalam kitab al-I'tishaam mendefinisikan bid'ah sebagai berikut; "Suatu jalan baru (thariqah) di dalam agama yang dibuat-buat serupa dengan syariat, dimana, tujuan melakukan perbuatan itu adalah berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah swt".
Menurut al-Syathibiy, bid'ah adalah thariqah baru dalam agama yang dibuat-buat dan diserupakan dengan syariat, dimana tendensi melakukan hal tersebut adalah berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah swt. Berdasarkan definisi ini, bid'ah dibatasi oleh batasan-batasan berikut ini;
1. perkara tersebut merupakan jalan baru (thariqah) di dalam agama
2. perkara tersebut diserupakan dengan syariat
3. perkara tersebut dibuat dengan tendensi berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah swt.
Pertama, perkara tersebut merupakan thariqah baru dalam agama. Thariqah baru yang tidak ada sangkut pautnya dengan urusan agama bukan termasuk bid'ah. Misalnya, menciptakan model baru dalam bidang arsitektur, ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya. Perkara-perkara semacam ini tidaklah termasuk bid'ah. Pasalnya, ia tidak berhubungan dengan masalah diniyyah.
Adapun jalan baru (thariqah) dalam agama dibagi menjadi dua. Ada thariqah baru yang memiliki dasar di dalam syariat, dan ada pula yang tidak. Bid'ah hanya berhubungan dengan jalan baru (thariqah) dalam agama yang tidak memiliki dasar dalam syariat. Sebab, bid'ah adalah setiap perkara yang tidak memiliki dasar di dalam syariat. Atas dasar itu, ilmu ushul fiqih, nahwu sharaf, ushul al-diin, dan semua ilmu yang digunakan untuk memahami agama Islam, tidaklah termasuk perkara bid'ah. Sebab, perkara-perkara semacam ini memiliki dasar di dalam syariat.
Kedua, perkara tersebut diserupakan dengan syariat, atau dianggap merupakan bagian dari syariat, padahal, perkara tersebut bertentangan dengan syariat. Kategorisasi kedua ini mencakup tindakan; (1) membuat ketetapan baru (wadl'u al-hudud). Misalnya, ada seseorang bersumpah untuk berpuasa dengan berdiri tanpa duduk, berjemur di terik matahari, dan lain sebagainya; (2) melazimkan diri pada ibadah-ibadah tertentu dan pada waktu-waktu tertentu; padahal tidak ada satupun keterangan di dalam syariat. Misalnya, melazimkan diri untuk berpuasa nishfu sya'ban, dan qiyamul lail di malam harinya; (3) melazimkan diri dengan tatacara atau bentuk-bentuk peribadatan tertentu. Misalnya, dzikir bersama-sama, merayakan hari kelahiran Nabi Mohammad saw, dan sebagainya.
Adapun perbuatan-perbuatan yang tidak diserupakan dengan syariat, maka ia tidak termasuk bid'ah, akan tetapi termasuk perbuatan biasa (af'al al-'aadiyah). Pasalnya, seseorang tidak mungkin mengerjakan suatu perbuatan jika perbuatan itu tidak diserupakan dengan syariat, atau dianggap bagian dari syariat.
Ketiga, perkara tersebut dibuat dengan tendensi berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah swt. Kategorisasi ketiga ini didasarkan pada kenyataan, bahwa faktor yang mendorong seseorang membuat perkara-perkara bid'ah adalah berlebih-lebihan dalam ibadah. Akhirnya, ia membuat dan menambahkan ketetapan-ketetapan dan batasan-batasan baru dalam masalah agama, padahal ketetapan dan batasan Allah dalam masalah agama telah sempurna dan cukup.
Berdasarkan kategorisasi ini, perbuatan-perbuatan biasa (af'al 'aadiyah) tidak termasuk bid'ah. Demikian pula perkara-perkara baru dalam agama yang diserupakan dengan syariat, namun tidak ditujukan untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah, tidak termasuk bid'ah. Misalnya, denda yang harus dibayar atas sejumlah harta, menetapkan nisbah atau kadar tertentu untuk harta seperti halnya zakat, membuat bank, dan lain sebagainya. Contoh yang lain adalah mandi dengan menggunakan sabun, gosok gigi dengan sikat gigi dan sebagainya.

Bid'ah Tarkiyyah (Bid'ah Karena Meninggalkan Sesuatu)
Bid'ah juga mencakup bid'ah tarkiyah maupun yang ghairu tarkiyyah. Yang dimaksud dengan bid'ah tarkiyyah adalah seseorang meninggalkan suatu perkara karena ia mengharamkan perkara tersebut; padahal hukumnya mubah menurut syariat.
Hanya saja, jika seseorang meninggalkan suatu perkara mubah karena memang didasarkan pada alasan-alasan syar'I, maka perbuatannya tidak termasuk bid'ah. Misalnya, seseorang meninggalkan aktivitas merokok, karena merokok dapat menyebabkan bahaya bagi dirinya.
Demikian pula jika seseorang meninggalkan suatu perbuatan untuk menjaga kehormatan dirinya dan agamanya, perbuatan semacam ini justru merupakan sifat-sifat dari orang-orang yang bertaqwa. Misalnya, menjauhi perkara-perkara syubhat karena takut terjatuh ke dalam perbuatan haram, atau untuk menjaga diri dan agamanya.
Jika seseorang meninggalkan suatu perkara bukan karena alasan-alasan di atas, hal ini perlu perincian lebih lanjut. Jika tindakannya itu tidak dijadikan sebagai bentuk peribadatan tertentu, maka tidak termasuk bid'ah. Hanya saja pelakunya telah melakukan maksiyat, karena keyakinannya yang telah mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah swt. Jika tindakannya itu dijadikan sebagai bentuk peribadatan tertentu, pelakunya telah terjatuh kepada tindakan bid'ah. Pasalnya, apa yang telah ia lakukan telah tercakup dalam definisi bid'ah. Oleh karena itu, pelakunya dianggap telah menentang maksud dari Syaari' (Pembuat Hukum) ketika mensyariatkan kehalalan perkara tersebut. Allah swt berfirman;

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang Telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas".[al-Maidah:87]
Selain itu, ada sebagian shahabat yang mengharamkan tidur di malam hari. Ada pula yang mengharamkan dirinya makan di siang hari. Ada pula yang mengharamkan dirinya "berhubungan dengan isterinya". Sebagian lagi ada yang sampai mengebiri kemaluannya, karena berlebihan dalam menghindarkan dirinya dengan isteri-isterinya. Hingga kemudian Nabi saw bersabda, "Siapa saja yang meninggalkan sunnahku maka ia bukan termasuk golonganku". Atas dasar itu, orang yang meninggalkan apa yang dibolehkan oleh syariat tanpa ada alasan syar'iy, maka ia telah keluar dari sunnah Nabi saw. Adapun orang yang mengerjakan perbuatan yang tidak ada dasarnya di dalam sunnah dan perbuatan itu ia jadikan sebagai ibadah tertentu, maka, orang tersebut termasuk pelaku bid'ah.

Alasan Pencelaan Terhadap Pelaku Bid'ah
Syariat telah mencela pelaku bid'ah dengan pencelaan yang sangat keras. Alasannya, pertama, syariat Islam telah sempurna dan tidak membutuhkan penambahan maupun pengurangan (revisi). Sebab, Allah swt telah menyempurnakan agama Islam. Allah swt berfirman;

"Pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu".[TQS al-Maidah (5):3]
Di dalam hadits shahih juga dituturkan, bahwasanya al-'Irbadh bin Saariyah menuturkan;

وَعَظَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا بَعْدَ صَلَاةِ الْغَدَاةِ مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ رَجُلٌ إِنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّهَا ضَلَالَةٌ فَمَنْ أَدْرَكَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَعَلَيْهِ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
"Suatu saat, Rasulullah saw menasehati kami dengan sebuah nasehat yang sangat menyentuh, yang membuat air mata bercucuran dan hati tergetar. Lantas, ada seorang laki-laki berkata, "Sesungguhnya, ini seperti nasehat perpisahan. Lalu, apa yang engkau wasiatkan kepada kami, Ya Rasulullah? Nabi saw menjawab, "Aku berwasiat kepada kalian, agar kami selalu bertaqwa kepada Allah; dan hendaknya kamu selalu mendengar dan taat meskipun engkau dipimpin oleh seorang budak Habasyi. Sungguh, siapa saja diantara kalian yang masih hidup, kelak akan menyaksikan perselisihan yang sangat banyak. Dan berhati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan (muhdats); sebab ia adalah kesesatan. Siapa saja diantara kalian yang menjumpai hal itu, wajib atasnya untuk selalu berpegang teguh dengan sunnahku, dan sunnah para khalifah yang diberi petunjuk. Gigitlah ia dengan gigi gerahammu".[HR. Imam Abu Dawud dan Turmudziy. Menurut Turmudziy, hadits ini hasan shahih]
Selain itu, telah ditetapkan berdasarkan nash-nash sharih, bahwa semua wahyu dari langit telah turun sempurna, dan tidak ada lagi wahyu dari langit sepeninggal beliau saw. Oleh karena itu, orang yang melakukan bid'ah, sama artinya telah menciderai kesempurnaan syariat Islam. Sebab, tanpa disadari, mereka telah menambah-nambah, atau mengada-adakan perkara baru yang sejatinya tidak diperlukan lagi di dalam Islam. Alasannya, Islam telah sempurna dan lengkap, dan tidak butuh tambahan maupun pengurangan.
Ibnu al-Maajasyuun berkata, "Saya mendengar Malik berkata,"Siapa saja melakukan perbuatan bid'ah di dalam Islam, yang menurutnya suatu kebaikan, sesungguhnya sama saja ia telah menyakini bahwa Mohammad saw telah berkhianat terhadap risalahnya. Sebab Allah swt berfirman, artinya, "Pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu".[TQS al-Maidah (5):3]
Kedua, pelaku bid'ah adalah pengikut hawa nafsu dan syahwat. Sebab, orang yang tidak mengikuti hukum syariat, sesungguhnya ia telah mengikuti hawa nafsu dan syahwat. Sedangkan orang yang mengikuti hawa nafsu dan syahwatnya adalah orang yang tersesat. Allah swt berfirman;

"dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun".[TQS al-Qashshash {28]:50].
Di ayat yang lain Allah swt berfirman;

"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya Telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka Telah diperintah mengingkari thaghut itu. dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.
Ketiga, pelaku bid'ah mensejajarkan dirinya dengan al-Syaari` (Allah swt). Padahal, tidak ada satupun pihak yang boleh menetapkan hukum kecuali Allah swt. Allah swt berfirman;

"Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali Hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan sedikitpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. dia Telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui."[TQS Yusuf (12):40]

Celaan Al-Quran Terhadap Pelaku Bid'ah
Banyak ayat al-Quran yang mencela perbuatan dan pelaku bid'ah. Celaan al-Quran terhadap perbuatan bid'ah diindikasikan dengan adanya larangan untuk berbuat menurut hawa nafsu, dan kewajiban untuk selalu berhukum dengan syariat Islam. Allah swt berfirman;

"Dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain)[152], Karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalannya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa".[TQS al-An'aam (6):153]
Berkaitan dengan ayat ini, ada sebuah riwayat menuturkan bahwasanya, Abdullah bin Mas'ud ra berkata,"Suatu hari, Rasulullah saw menggambarkan kepada kami sebuah garis panjang; dan beliau juga menggambarkan kepada kami, dua garis lurus panjang. Kemudian, beliau membuat garis dari sebelah kanan dan kirinya, seraya berkata, "Ini adalah jalan Allah". Lalu, beliau menggambar garis-garis dari sebelum kanan dan kirinya, dan berkata, "Ini adalah jalan-jalan, dimana di setiap jalan itu ada setan yang mengajak menuju ke sana." Beliau lantas membaca ayat di atas (al-An'aam: 153]" [HR. Imam Ahmad, 'Abdu bin Hamid, Bazaar, al-Nasaaiy, Abu Syaikh, al-Haakim, Ibnu Abi Hatim, dan Ibnu Mundzir]
Abu Bakar bin al-'Ilaa` berkata,"Tidak ada perkara yang lebih diingini setan selain dari bid'ah. Sedangkan menurut Mujahid, makna "wa laa tattabi'uu al-subula", adalah perkara bid'ah dan syubhat .
Pada ayat lain, Allah swt berfirman;

"Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, Kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang Telah mereka perbuat".[TQS al-An'aam (6):159]
Dituturkan dari Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw bertanya kepadanya, "Wahai Aisyah, siapakah "orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan"? Aisyah menjawab, " Allah dan RasulNya yang lebih tahu". Nabi saw bersabda, "Mereka adalah orang-orang yang suka mengikuti hawa nafsu, pelaku bid'ah, dan orang-orang sesat dari kalangan umat ini. Ya, Aisyah, sesungguhnya setiap dosa akan dihapus dengan taubat, kecuali dosa orang yang mengikuti hawa nafsu dan suka melakukan bid'ah. Sesungguhnya, taubat mereka tidak diterima. Saya berlepas diri dari mereka, dan mereka orang yang melepaskan dirinya dariku".
Ayat-ayat di atas, dan masih banyak lagi ayat-ayat lain, menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa Allah swt telah mencela pelaku bid'ah dengan celaan yang sangat keras. Bahkan, taubat mereka tidak akan diterima Allah swt.

Celaan Sunnah Terhadap Bid'ah
Sunnah juga mencela pelaku dan perbuatan bid'ah. Di dalam sebuah hadits shahih dituturkan, bahwasanya 'Aisyah ra berkata, "Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa mengada-adakan perkara baru di dalam urusan kami, maka perkara itu tertolak."[HR. Bukhari dan Muslim] Hadits ini merupakan celaan yang paling sharih dan jelas atas perbuatan dan pelaku bid'ah.
Imam Muslim juga mengeluarkan sebuah riwayat dari Jabir bin 'Abdullah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda di dalam khuthbahnya, "Amma ba'du. Sesungguhnya, sebaik-baik ucapan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuknya Nabi Mohammad saw. Sejelek-jelek perkara adalah perkara-perkara yang diada-adakan (bid'ah); dan setiap perkara yang diada-adakan (bid'ah) adalah kesesatan".
Di dalam hadits lain dituturkan, bahwasanya Nabi saw tengah berkhuthbah di hadapan masyarakat. Setelah memuji Allah, dirinya dan keluarganya, beliau bersabda, "Siapa saja yang diberi petunjuk Allah, sungguh ia tidak akan disesatkan; dan siapa saja yang disesatkan Allah, niscaya ia tidak akan mendapatkan petunjuk. Sebaik-baik ucapan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuknya Mohammad saw, dan sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan (bid'ah), dan setiap perkara yang diada-adakan adalah bid'ah". Adapun di dalam riwayat al-Nasaa'iy adalah tambahan, "Dan setiap perkara yang diada-adakan adalah bid'ah, dan setiap bid'ah akan dimasukkan ke dalam neraka".
Dari Ibnu Mas'ud ra diriwayatkan, bahwasanya Umar ra selalu mengucapkan khuthbah Rasulullah saw di atas ketika berkhuthbah. Sedangkan Ibnu Mas'ud ra berkhuthbah dengan hadits tersebut setiap hari Kamis.
Imam Ibnu Majah juga mengeluarkan sebuah hadits dari Ibnu 'Abbas secara marfu', bahwasanya Nabi saw bersabda, "Berhati-hatilah kalian dengan perkara yang diada-adakan. Sesungguhnya, sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan; dan setiap perkara yang diada-adakan adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah kesesatan". Menurut Imam Syathibiy, yang lebih masyhur, hadits ini mauquf dari Ibnu Mas'ud ra.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwasanya ia berkata, "Nabi saw bersabda, "Siapa saja yang menyeru kepada petunjuk, maka ia akan mendapatkan pahala dari orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi sedikitpun pahala dari mereka; dan barangsiapa menyeru kepada kesesatan, maka ia mendapatkan dosa dari orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi sedikitpun dosa mereka". Di dalam riwayat shahih lain dituturkan juga, bahwasanya Nabi saw bersabda, "Siapa saja yang membuat sunnah yang baik, maka ia akan mendapatkan pahala juga dari orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka. Dan barangsiapa membuat sunnah yang jelek, maka ia juga akan mendapatkan dosa dari orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi sedikitpun dosa mereka".[HR. Imam Muslim]
Imam Turmudziy mengetengahkan sebuah riwayat dari al-'Irbaadl bin Saariyah, bahwasanya ia berkata, "Pada suatu hari, Rasulullah saw sholat bersama kami, lalu menghadap ke arah kami, dan menyampaikan nasehat yang sangat menyentuh, hingga menyebabkan air mata bercucuran, dan hati tergetar. Lalu, ada seorang laki-laki bertanya, "Ya Rasulullah? Nasehat ini seakan-akan merupakan nasehat terakhir, lantas, apa yang engkau pesankan kepada kami? Nabi saw bersabda, "Aku berwasiat agar kalian selalu bertaqwa kepada Allah swt, dan agar kalian selalu mendengar dan mentaati para penguasa, meskipun ia adalah seorang budak Habasyi. Sesungguhnya, siapa saja diantara kalian yang masih hidup setelahku, akan menemui perselisihan yang sangat banyak. Dalam kondisi seperti itu, wajib atas kalian memegang sunnahku dan sunnah para khalifah rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Berpegang teguhlah kalian dengannya, dan gigitlah ia dengan geraham. Dan berhati-hatilah kalian dengan perkara yang diada-adakan. Sesungguhnya, setiap perkara yang diada-adakan adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah kesesatan".[HR Imam Turmudziy dan Abu Dawud] Menurut Imam Turmudziy hadits ini hasan shahih.
Di dalam riwayat lain, dari Hudzaifah al-Yamani juga dituturkan, bahwasanya Nabi saw bersabda,"Ya Rasulullah! Apakah setelah kebaikan akan datang keburukan? Nabi saw menjawab, "Benar", yakni kaum yang berbuat tidak atas dasar sunnahku, dan mereka memberi petunjuk bukan dengan petunjukku." Saya bertanya lagi, "Apakah setelah keburukan ini akan datang keburukan lagi? Nabi menjawa, "Benar, yakni datangnya orang yang mengajak menuju neraka jahannam. Siapa saja yang mengikutinya akan dimasukkan ke dalamnya". Saya bertanya lagi, "Ya Rasulullah, tunjukkanlah sifat-sifat mereka kepada kami". Nabi berkata, "Baiklah, mereka memiliki warna kulit seperti kita, dan berbicara seperti kita". Saya bertanya lagi, "Lalu, apa yang engkau perintahkan kepadaku, jika aku menjumpai hal itu? Nabi saw bersabda, "Tetaplah kamu ke dalam jama'ah Muslim dan imam mereka. Saya bertanya, "lalu, bagaimana jika tidak ada jama'ah dan imam? Nabi menjawab, "Jauhilah semua kelompok itu; walaupun untuk itu engkau harus menggigit akar pohon hingga kematian menjemputmu, dan engkau tetap berada dalam keadaan tersebut".[HR. Bukhari dan Muslim]
Hadits-hadits di atas –dan masih banyak lagi hadits yang lain--menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa bid'ah adalah perkara terlarang yang harus dijauhi oleh seorang Muslim sejauh-jauhnya. Sebab, bid'ah adalah kesesatan, dan akan menyebabkan pelakunya masuk ke nerakanya Allah swt.

Celaan Ulama Salaf dari Kalangan Shahabat dan Tabi'in Terhadap Bid'ah
Diriwayatkan dari Umar bin Khaththab ra, bahwasanya ia berkhuthbah di hadapan masyarakat, "Wahai manusia! Sungguh, aku telah menegakkan sunnah untuk kalian, dan aku juga telah mewajibkan kalian dengan sejumlah kewajiban. Dan kalian berada di atas sesuatu yang sangat jelas (al-Quran); kecuali jika kalian disesatkan oleh manusia dari kanan dan kiri. Lalu, beliau menepukkan salah satu tangannya di atas tangannya yang lain, seraya berkata, "Berhati-hatilah kamu dari kebinasaan akibat ayat rajam…Sungguh, Rasulullah saw telah merajam, maka kami pun juga memberlakukan hukuman rajam".[Ibid, hal. 58]
Hudzaifah al-Yamani berkata, "Wahai para ahli qura` (pembaca al-Quran), beristiqamahlah kalian, niscaya kalian akan sampai lebih dahulu. Sungguh, jika kalian mengambil apa yang ada di sebelah kanan dan kiri; kalian akan tersesat sejauh-jauhnya".[Ibid, hal. 58]
Dituturkan juga dari Hudzaifah al-Yamani, bahwasanya ia berkata, "Saya sangat khawatir terhadap dua perkara yang akan menimpa manusia; (pertama) banyak orang terpengaruh dengan apa yang dilihatnya, daripada terpengaruh dengan apa yang ia ketahui. Kedua, mereka telah tersesat, sedangkan mereka tidak menyadarinya. Sofyan berkata, "Mereka adalah ahlul bid'ah".[Ibid, hal. 59]
Diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud ra, bahwasanya ia berkata, "Ikutilah atsar-atsar kami, dan janganlah kalian membuat bid'ah".[Ibid, hal. 59]
Dari Ibnu Wahhab, dituturkan, bahwasanya Ibnu Mas'ud berkata,"Perdalamlah ilmu sebelum ilmu itu dicabut. Sesungguhnya, tercabutnya ilmu adalah dengan wafatnya ahli ilmu (ulama). Oleh karena itu, perdalamlah ilmu, sesungguhnya salah seorang diantara kalian tidak tahu, kapan apa yang dimilikinya akan berkurang. Sungguh, kalian akan mendapati suatu kaum yang mereka menyangka telah menyeru kepada Kitabullah. Padahal, mereka telah mencampakkan Kitabullah di belakang mereka. Untuk itu, perdalamlah ilmu, dan berhati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan (bid'ah), dan waspadalah terhadap perbuatan yang suka memfasih-fasihkan ucapan dengan jalan memutar lidah, dan hati-hatilah kamu dari ta'ammuq (memerinci lebih dalam, padahal tidak ada keterangan yang memadai mengenai perincian itu); dan jagalah kehormatan kalian".[Ibid, hal.60]
Dari Ibnu Mas'ud ra diriwayatkan bahwasanya ia berkata, "Tak ada satupun tahun, setelah tahun itu, kecuali akan ditimpa keburukan. Yang saya maksud tahun itu, bukanlah tahun yang paling deras hujannya, ataupun tahun yang paling subur dibandingkan tahun yang lain, maupun tahun yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang paling baik; akan tetapi, tahun itu adalah tahun kematian ulama-ulama dan kaum terpilih diantara kamu; lalu, setelah itu, ada sekelompok orang yang memutuskan perkara dengan pendapat mereka sendiri. Akibatnya, Islam hancur dan binasa".[Ibid, hal. 60]
Di dalam kitab al-I'tishaam, Imam Syathibiy menyitir sebuah hadits yang maknanya marfu' kepada Nabi saw, bahwasanya Nabi saw bersabda, "Amal sedikit namun sesuai sunnah, lebih baik daripada amal banyak namun bid'ah".[Ibid, hal. 60]
Qasim bin Ashbah mengeluarkan sebuah riwayat dari Nabi saw, bahwasanya beliau bersabda,"Sesungguhnya, manusia yang paling berat siksanya kelak di hari kiamat adalah pemimpin sesat yang menyesatkan manusia dengan apa-apa yang tidak diturunkan oleh Allah swt, pelukis makhluk bernyawa, dan seorang laki-laki yang membunuh atau dibunuh nabinya".[Ibid, hal.60]
Dari Abu Bakar al-Shiddiq dituturkan, bahwasanya ia berkata, "Saya tidak pernah meninggalkan satupun perbuatan yang dikerjakan oleh Rasulullah saw. Saya khawatir, jika saya meninggalkan sesuatu yang diperintahkannya, saya akan berpaling".[Ibid, hal. 60]
Ibnu 'Abbas ra pernah berkata, "Akan datang suatu masa, di mana manusia yang hidup di masa itu akan menghidupkan bid'ah, dan mematikan sunnah, hingga akhirnya, hiduplah bid'ah dan matilah sunnah".[Ibid, hal.61]
Dari kalangan tabi'in, al-Hasan pernah berkata, "Shahibul bid'ah tidak akan mendapatkan tambahan pahala dari ijtihad, puasa, dan sholat, kecuali Allah akan semakin menjauhkan orang tersebut dariNya".[Ibid, hal.61]
Dari Abu Idris al-Khulaniy diriwayatkan, bahwasanya ia berkata, "Seandainya aku menjumpai api di dalam masjid yang aku tidak bisa memadamkannya, itu lebih aku sukai daripada aku melihat bid'ah di dalamnya, dan aku tidak bisa mengubahnya".[Ibid, hal.61]
Imam Fudlail bin 'Iyadl berkata, "Ikutilah jalan-jalan petunjuk, dan janganlah kamu terhalang oleh sedikitnya orang yang menempuhnya. Dan berhati-hatilah terhadap jalan kesesatan, dan janganlah kamu tergoda dengan banyaknya orang yang menempuhnya".[Ibid. 62]
Al-Hasan berkata, "Janganlah kamu duduk bersama shahibul hawa (pengikut hawa nafsu). Sesungguhnya, itu bisa melenyapkan sesuatu yang seharusnya kamu ikuti (sunnah) dari hatimu; dan akhirnya kamu akan mengalami kebinasaan. Selisihilah mereka, atau mereka akan membuat hatimu sakit".[Ibid, hal. 62]
Dari Abu Qilabah dituturkan, bahwasanya ia berkata, "Janganlah kalian semua duduk dengan ahlul hawa (pengikut hawa nafsu), janganlah kamu berdiskusi dengan mereka. Saya tidak menjamin keselamatan kalian dari kesesatan mereka. Hendaklah kalian tetap berpegang teguh dengan apa yang kalian telah ketahui". Abu Ayyub berkata, "Sesungguhnya, demi Allah, beliau (Abu Qilabah) termasuk seorang ahli fikih yang cerdas".[Ibid, hal.63]
Inilah komentar para ulama dari kalangan shahabat dan tabi'in terhadap bid'ah dan para pelakunya.

Celaan Ulama Tasawwuf Terhadap Bid'ah
Para 'ulama sangat mencela para pelaku bid'ah, termasuk ulama tasawwuf sendiri. Imam Fudlail bin 'Iyadl menyatakan, "Siapa saja yang duduk dengan ahli bid'ah, maka ia tidak akan mendapatkan hikmah".[Imam al-Syathibiy, al-I'tishaam, hal. 67]
Ibrahim bin Adham berkata,"Sesungguhnya Allah swt berfirman,"Mintalah kalian kepadaKu niscaya Aku akan mengabulkan untukmu".[Ghaafir:60]. Akan tetapi, kita berdoa kepadaNya sejak ditimpa kemalangan, namun Allah tidak mengabulkan doa kita! Sesungguhnya, matinya hati karena sepuluh perkara: pertama, kalian mengetahui Allah, namun tidak pernah menunaikan hakNya. Kedua, kalian membaca al-Quran namun tidak mengamalkannya. Ketiga, kalian mengaku cinta kepada Rasulullah, namun meningkalkan sunnahnya. Keempat, kalian mengaku musuh setan, akan tetapi kalian mengikutinya. Kelima, kamu mengatakan cinta kepada surga, namun kamu tidak beramal untuk menuju ke sana...dan seterusnya." [Ibid, hal. 68]
Dzun Nun berkata, "Salah satu tanda cinta kepada Allah adalah mengikuti Nabi Mohammad saw, baik akhlaqnya, perbuatan-perbuatannya, perintahnya, dan sunnahnya".[ibid, hal. 68]
Dzun Nun juga berkata, "Ada enam hal yang menyebabkan rusaknya akhlaq. Pertama, lemahnya niat amal untuk akherat. Kedua, badan-badan mereka menjadi budak syahwat. Ketiga, mereka dikuasai oleh panjang angan-angan, padahal ajal sangatlah pendek. Keempat, mereka mencari ridlanya makhluk dengan mengesampingkan ridla Allah swt. Kelima, mereka mengikutkan hawa nafsunya, dan meninggalkan sunnah Nabi saw. Keenam, mereka menjadikan kekeliruan pada ulama salaf sebagai hujjah atas diri mereka sendiri, dan melupakan sebagian besar biografi mereka yang baik".[ibid, hal. 68]
Basyar al-Haafiy berkata, "Saya melihat Nabi saw di dalam mimpi, dan berkata kepadaku, "Ya Basyar! Tahukah kamu, Allah tidak akan mengangkat maqammu diantara teman-temanmu? Saya menjawab, "Tidak Ya Rasulullah." Rasulullah saw berkata, "Maka, jadilah kamu pengikuti sunnahku, cintailah orang-orang sholeh, nasehatilah teman-temanmu, cintailah shahabatku dan ahli baitku. Dan inilah yang akan mengangkat derajatmu ke maqamnya malaikat".[ibid, hal. 68]
Yahya bin Mu'adz al-Raaziy menyatakan, "Semua perselisihan manusia disebabkan oleh tiga sebab, dan masing-masing sebab saling bertentangan. Siapa saja yang terjatuh ke dalam salah satunya, maka ia akan terjatuh pada kebalikannya; tauhid lawannya adalah syirik, sunnah lawannya bid'ah, dan taat lawannya adalah maksiyat".[ibid, hal.68]
Abu Bakar al-Daqaaq --salah satu teman dekatnya Junaid—berkata, "Suatu hari, aku berjalan di padang sahara Bani Israil tanpa mempedulikan bahaya yang menghadang, agar aku mendapatkan penjelasan yang gamblang mengenai hakekat ilmu syariat. Lalu, seseorang berteriak kepadaku, "Semua hakekat yang tidak sejalan dengan syariat adalah kekufuran".[Ibid, hal. 68-69]
Abu 'Ali al-Hasan bin 'Ali al-Jawazjaniy berkata, "Salah satu tanda kebahagiaan seorang hamba adalah, ia mudah dalam menjalankan ketaatan, perbuatannya selalu sejalan dengan sunnah, shahabatnya adalah orang-orang sholeh, berperangai baik terhadap kawan-kawannya, berusaha sungguh-sungguh untuk berbuat baik kepada makhluk, dan selalu konsens memikirkan urusan kaum Muslim, dan senantiasa mengatur waktunya dengan baik".[Ibid, hal. 69]
Abu 'Ali bin al-Hasan juga pernah ditanya tentang jalan menuju Allah. Beliau menjawab, "Jalan menuju kepada Allah sangatlah banyak. Hanya saja, jalan yang paling jelas, dan terjauh dari kesamaran adalah mengikuti sunnah Rasulullah saw, baik dalam perkataan, perbuatan, janji dan kesepakatan hati, dan niat. Sebab, Allah swt berfirman, "Seandainya kalian mentaatinya, kalian akan mendapatkan petunjuk".[TQS al-Nuur (24): 54]
Abu Al-Hasan al-Waraq berkata, "Seorang hamba tidak akan bisa berhubungan dengan Allah, kecuali beriman kepada Allah dan hidup sejalan dengan syariat Nabi Mohammad saw. Barangsiapa tidak berjalan sesuai dengan sunnah, maka ia tersesat, walaupun ia merasa mendapatkan petunjuk".[Ibid, hal. 69]
Ibrahim bin Qamaar berkata, "Tanda kecintaan kepada Allah adalah mentaatiNya dan mengikuti NabiNya".[Ibid, hal. 69]
Abu Mohammad bin 'Abdul Wahhaab al-Tsaqafiy berkata,"Allah tidak akan menerima amal perbuatan kecuali benar. Sesuatu amal tidak disebut benar jika tidak ikhlash; dan amal tidak disebut ikhlash kecuali sesuai dengan sunnah".[Ibid, hal.69]
Abu Bakar bin Sa'dan, salah seorang shahabatnya Junaid, berkata, "Berpegang teguh kepada perintah Allah dapat mencegah kelalaian, maksiyat, bid'ah, dan kesesatan".[Ibid, hal.69]; dan masih banyak lagi celaan para ulama tasawwuf terhadap pelaku dan perilaku bid'ah.
Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa bid'ah adalah perilaku tercela yang harus dihindari dan dijauhi sejauh-jauhnya oleh kaum Muslim.

Print Friendly and PDF

Ditulis Oleh : Muhammad Tohir // 18.34
Kategori:

0 komentar :

Posting Komentar

Ikhwah fillah, mohon dalam memberikan komentar menyertakan nama dan alamat blog (jika ada). Jazakumullah khairan katsir

 
Semua materi di Blog Catatan Seorang Hamba sangat dianjurkan untuk dicopy, dan disebarkan demi kemaslahatan ummat. Dan sangat disarankan untuk mencantumkan link ke Blog Catatan Seorang Hamba ini sebagai sumber. Untuk pembaca yang ingin melakukan kontak bisa menghubungi di HP: 082256352680.
Jazakumullah khairan katsir.