11 November 2012

Menanti Giliran Mati

Pagi ini cukup menarik bagiku. Setelah shalat subuh, kemudian mendengarkan lantunan ayat-ayat suci dari Syaikh Maher Al Muaiqly, entah kenapa saya jadi ingin menulis. Saya berfikir bahwa menulis haruslah menjadi bagian dari kehidupan saya. Tak harus berwujud buku, juga tak mesti panjang dan njelimet. Yang penting, berisi tulisan dan bisa dibaca, syukur-syukur bisa dipahami. :)
Untuk itu, saya berkomitmen untuk menulis sehari sekali seperti Jamil Azzaini. Sebenarnya komitmen ini pernah saya buat, namun tidak terealisasi disebabkan banyak factor. Diantaranya tentu saja faktor paling asasi, “malas menulis”. :D
Nah, untuk mewujudkan komitmen saya itu dan agar tidak gagal lagi, saya teringat teori habbitsnya Ust. Felix Siaw, Habbits itu lahir dari perkawinan antara Practice dan Repetition. Maka, saya menetapkan untuk diri saya sendiri, “saya harus menulis sehari sekali selama 30 hari kedepen, dimulai dari hari ini”. Tulisan ini adalah practice pertama saya, semoga komitmen ini terjaga, besok bisa lahir practice yang kedua, dan seterusnya yang pada akhirnya menjadi habbit bagi saya. Aamiin
Lalu, apa hubungannya sama judul? Tenang, ini hanya prolog saja. Karena ini awal dari "melaksanakan", jadi memulainya dengan tulisan "asal tulis saja". Yang penting nulis! Nyambung gak nyambung itu urusan belakang. Soalnya, kalo sudah dibelakang, bisa disambung-sambungkan! hehe
Agar nyambung saya mau menambahkan cerita di awal sedikit. Tambahan cerita dan seterusnya inilah isi tulisan yang nyambung dengan judul. :)
Jadi begini, disaat mendengarkan murattal, dan saat menetapkan komitmen untuk menulis sehari sekali selama 30 hari, saya dipanggil oleh kakak Ipar untuk melakukan sesuatu. Mau tahu apa yang harus dilakukan? Baik, akan saya beritahu. Saya diminta untuk membunuh. Beneran bin Serius! Saya diminta membunuh 2 sekaligus. Satu dewasa dan satu lagi remaja. Tapi bukan manusia kok, cuma golongan ayam jantan saja. Hehe
Saat melihat mereka terkapar menunggu kematian, saya jadi mikir, ayam-ayam itu kemarin masih hidup. Masih makan. Eh, sekarang sudah mau mati. Meregang nyawa karena gorokan pisau. Mereka sama seperti manusia, bahwa manusia tidak berbeda dengan ayam dari sisi sama-sama akan mati. Jika dua ayam tadi mati dengan cara disembelih manusia – dalam hal ini fa'ilnya adalah saya-, maka manusia (juga ayam-ayam yang lain) juga akan mati dengan cara yang berbeda, atau mungkin sama!
Mati itu pasti. Kepastian bahwa ruh di raga akan lepas suatu saat. Kita saat ini ibarat sedang ngantri diloket pencabut nyawa. Satu per satu manusia mati. Hingga tiba giliran kita.  Yakni pada waktu yang telah Allah janjikan. Itulah hari terakhir kita menghirup udara. Mungkin masih lama, mungkin juga sebentar lagi. Bahkan bisa saja, saat membaca tulisan ini, saat ini, malaikat sedang dalam perjalanan menjalankan tugas mencabut nyawa kita.
Coba kita fikir, kematian kita tidak diketahu kapan dan dimana. Jangan dikira sebelum kita mati akan ada surat pemberitahuan, “Saudara Tohir, masa hidup anda tersisa 7 hari lagi. Anda akan mati disini, jam segini. Segera bertobat kepada Allah”. Ngimpi!
Kalau kita tahu mati datang tanpa permisi, lantas kenapa mau bermaksiyat? Bayangkan saja kalo kita mati di saat bermaksiyat, maka kita mati dengan tidak keren. Mati dalam keadaan su'ul khatimah. Gimana mau keren, matinya saat dilaknat penduduk langit dan bumi.
Kita bermaksiyat karena mengira hidup kita masih lama, masih muda. Sehingga kemudian kita berlogika, nanti saja lah bertaubat kalo sudah tua, sudah dekat waktu kematian. Padahal, siapa yang bisa memastikan kita mati karena tua? Apalagi, banyak fakta mereka yang lebih muda mati lebih dulu dibandingkan dengan yang telah renta. Orang yang ingat mati tidak akan bermaksiyat. Mafhum mukhalafahnya, orang bermaksiyat karena ia tidak ingat mati.
Ingat mati adalah cara agar kita tak lelah dalam ibadah dan taqwa. Kita tentu tidak ingin, mati datang saat kita merasa lelah dalam taqwa. Hari H kematian itu tidak bisa dimajukan, juga tidak bisa diundur. Semua sudah disetting terlaksana pada hari, jam, menit, dan detik tertentu. Allah telah memastikan hal itu:
“Jika ajal telah datang ajal manusia maka tak bisa diundur meski hanya sesaat, juga tak bisa dimajukan meski hanya sesaat.”
Karena mati itu pasti, maka ingatlah ia. Tapi tak perlu takut untuk mati. Tidak ada gunanya, karena setakut apapun kita terhadap kematian, tetap saja mati akan menimpa manusia. Dari pada stress takut mati, mending kita siapkan diri untuk memilih cara mati yang keren. Kalo istilah temen, “hidup hanya sekali, matilah yang keren”. Itulah husnul khatimah. Mati disaat kita sedang taat kepada Allah. Bukan sebaliknya.
Orang yang sadar bahwa dirinya sedang menanti panggilan menuju gerbang kematian akan mempersiapkan bekal sebaik mungkin. Ia sadar, setelah melewati gerbang pembatas dunia saat ini dan dunia selanjutnya maka tak ada lagi kesempatan untuk menampung bekal. Jika hidup di dunia tidak digunakan untuk ketaatan, maka nanti hanya akan ada penyesalan. Tak ada waktu baginya untuk bermaksiyat. Ia takut datang kematian saat Allah murka kepadanya, karena maksiyatnya. Manusia yang ingat mati, selalu ada dalam lingkaran ketundukan kepada syariat Allah. Dia ingin, saat malaikat maut datang, dirinya sedang bersama Allah dalam dzikirnya.
Semoga Allah menjadikan kita sebagai manusia yang senantiasa ingat mati, dan menunggu kematian dengan selalu ingat kepada-Nya. Aamiin Ya Rabbal Aalamiin!

code: #1note@07.15-11112012

Print Friendly and PDF

Ditulis Oleh : Muhammad Tohir // 09.16
Kategori:

0 komentar :

Posting Komentar

Ikhwah fillah, mohon dalam memberikan komentar menyertakan nama dan alamat blog (jika ada). Jazakumullah khairan katsir

 
Semua materi di Blog Catatan Seorang Hamba sangat dianjurkan untuk dicopy, dan disebarkan demi kemaslahatan ummat. Dan sangat disarankan untuk mencantumkan link ke Blog Catatan Seorang Hamba ini sebagai sumber. Untuk pembaca yang ingin melakukan kontak bisa menghubungi di HP: 082256352680.
Jazakumullah khairan katsir.