- Ijma’ ulama tentang kewajiban bersatu dalam satu imamah bagi seluruh wilayah Islam yang dapat diintegrasikan dalam satu pemerintahan
- Hukum jika ada dua imam yang sama-sama diangkat untuk seluruh wilayah Islam
- Hukum jika ada dua imam yang diangkat dan memerintah di dua wilayah yang berbeda padahal tidak ada penghalang bagi kedua wilayah itu untuk bersatu dalam satu kepemimpinan
- Hukum jika sebuah wilayah islam yang terpencil, terpisah jauh dari imamah yang sah, mengangkat imam-nya sendiri, boleh atau tidak?
Penjelasan mengenai masalah-masalah tersebut beliau tulis dalam kitab Ghiyatsul Umam fit Tiyatsidz Dzulam, bab yang ketujuh (Download Kitab : PDF atau Syamilah). Di sana Beliau mengatakan:
Bab Ketujuh: Larangan Untuk Mengangkat Dua Imam
Apabila pengankatan satu orang
imam yang perhatiannya dapat meliputi seluruh batas wilayah Islam,
pengaruhnya dapat mencakup segenap rakyat dalam
seluruh tingkatan yang ada, baik di belahan bumi bagian timur maupun
bagian barat, dapat dilakukan dengan mudah, maka pengangkatan dua imam
-dalam kondisi seperti ini- tidak dibolehkan. Ini merupakan perkara yang
disepakati, tidak ditemukan perbedaan pendapat dalam hal ini. Tatkala
bai’at telah ditetapkan untuk kholifah Rasulullah saw, yaitu Abu Bakar
Ash-shiddiq ra, kemudian kekhilafahan berlanjut sampai berakhirnya masa
para imam (ahli fiqh -pent) -ra-, maka pendapat yang dianut oleh
muhajirin dan anshor dapat dipahami secara jelas -tanpa membutuhkan
pengutipan sumber informasi- bahwasanya bangunan imamah tidak pernah
ditangani dan dihadapi kecuali oleh satu orang dalam satu masa. Barang
siapa tidak memahami kebiasaan orang-orang yang melaksanakan akad dan
orang-orang yang diserahi akad (imamah -pent), maka ia adalah orang yang
pandir, terbaiat bodoh dan fikirannya mati.
Telah menjadi ketetapan dalam
agama yang dipeluk oleh umat ini -tanpa kecuali- bahwa maksud dari
adanya imamah adalah menyatukan pandangan yang beragam serta
mempertautkan berbagai keinginan yang bermacam-macam. Dan tidaklah
tersembunyi bagi orang yang memiliki pengelihatan bahwasanya banyak
negara mengalami kekacauan karena terpecahnya para pemimpin,
pertentangan berbagai pandangan yang ada, serta tarik-menarik berbagai
kepentingan. Sementara tertatanya kekuasaan, dilaksanakannya perintah
atas dasar ketundukkan, persetujuan terhadap orang yang memiliki gagasan
yang kukuh yang tidak sewenang-wenang dan tidak pula egois, bahkan
tersinari oleh pandangan orang-orang yang berakal, diterangi oleh
fikiran sekelompok orang yang bijak dan berilmu, serta memanfaatkan
saripati nalar, maka dengan kekuatan individunya dihasilkanlah faidah
yang besar dalam menyelesaikan perselisihan, sementara dengan pencarian
cahaya yang dia lakukan tercapailah pemanfaatan gagasan yang dimiliki
oleh kaum cerdik-pandai.
Maka -dengan demikian- maksud
paling nyata dari keberadaan imamah itu tidak dapat dicapai kecuali
dengan adanya kesatuan imam. Argumen ini secara jelas telah mencukupi,
tanpa panjang-lebar, tanpa berbelit-belit, bersandar pada hal yang telah
final dan disepakati. Sementara itu orang yang menyeru pada perpecahan,
pertentangan, permusuhan, mereka mengaitkan berbagai perkara dengan
pandangan para pengamat, menggantungkan kemajuan kepada keberadaan dua
imam. Padahal keberlanjutan kekuasaan semata-mata karena merujukkannya
para pemimpin daerah kepada satu pendapat yang kokoh dan merujuk kepada
satu pandangan yang mengikat dan menyatukan. Apabila mereka tidak
memiliki tempat berlindung -yang dari sanalah mereka bertolak- serta
tidak memiliki tempat tujuan yang menjadi fokus pandangan mereka, maka
mereka (pemimpin daerah -pent) akan saling berlomba, saling bersaing,
saling mengalahkan, berlompatan untuk meraih dominasi dan superioritas,
saling berebut tanpa mempedulikan banyaknya pembantaian masyarakat dan
rakyat jelata, maka jadilah ia bencana besar. Ini merupakan sumber
terjadinya ujian, medan yang mematikan bagi para makhluk. Para penguasa
dan rakyat pun akan lumat di dalamnya.
Telah menjadi ketetapan bahwa
pengangkatan dua imam merupakan dalang kerusakan dan penyebab
terhentinya petunjuk. Kemudian apabila pengangkatan dua imam itu
dipaksakan agar perintah keduanya berlaku di seluruh wilayah, maka hal
itu akan mendorong terjadinya pertarungan dan perselisihan. Bahaya yang
menjadi dampak pengangkatan keduanya lebih besar dari pada mengabaikan
urusan (pemerintahan) dengan diterlantarkan begitu saja.
Sementara itu apabila seorang
imam diangkat di sebagian wilayah, sementara yang lain diangkat di
wilayah lain, padahal dimungkinkan untuk mengangkat satu imam yang dapat
menjalankan perintah di seluruh wilayah, maka yang demikian itu adalah
batil menurut ijma’, sebagaimana yang telah ditegaskan sebelumnya. Dan
di dalam kasus ini terjadi penyia-nyiaan faidah dari imamah yang diberi
kekuasaan untuk menentukan satu pandangan yang dapat menghimpun
pandangan-pandangan lain sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dan
ini merupakan perkara yang terang, tidak ada kesamaran padanya.
Adapun perkara yang menjadi
objek perselisihan berbagai madzhab adalah kondisi di mana pandangan
seorang imam tidak mampu meliputi seluruh daerah kekuasaan. Hal yang
demikian itu bisa tergambar karena beberapa sebab yang tidak samar,
antara lain: meluasnya wilayah, tersebarnya islam ke berbagai negeri
yang saling berjauhan, adanya pulau-pulau di seberang lautan, adanya
manusia menempati bagian dunia yang tidak terjangkau oleh perhatian
imam, dan –kadangkala- wilayah darul kufur menyisip di antara
(memisahkan) wilayah Islam sehingga hal itu menyebabkan perhatian imam
tidak menjangkau kaum muslimin yang ada di baliknya.
Ketika menyepakati apa yang telah kami
sebutkan tadi, pada kondisi ini sebagian orang beralih pada pendapat
yang membolehkan pengangkatan seorang imam di negeri yang tidak
dijangkau oleh pengaruh perhatian imam. Pendapat ini dinisbatkan kepada
Syaikh kami Abul Hasan (Al Asy’ari -pent) dan Ustadz Abu Ishaq Al
Isfaroyini -ra- dan selain keduanya. Mereka bertujuan untuk memelihara
kemaslahatan makhluk. Mereka berkata: “Apabilah maksud/tujuan dari
keberadaan imamah adalah memperbaiki kemaslahatan umum, menata berbagai
urusan, menjaga perbatasan, sehingga apabila mudah untuk mengangkat satu
imam yang dapat menjalankan urusan, maka hal itu lebih baik, harus
direalisasikan sebagai keharusan siyasah dan politik. Dan jika hal itu
sulit, maka sama sekali tidak dibolehkan membiarkan daerah yang tidak
terjangkau oleh imam untuk terabaikan begitu saja tanpa dihimpun oleh
seorang pengatur, tidak dicegah (kejahatan mereka -pent) oleh seorang
pencegah. Maka aspek (yang dituntut) adalah hendaknya mereka mengangkat
tempat berlindung di daerah mereka. Sebab jika mereka tetap
diterlantarkan maka mereka akan berdesakan menuju kerasnya kebinasaan,
dan ini merupakan perkara yang nyata yang tidak mungkin untuk ditolak“.
Dalam hal ini aku (Imam Al Haromain)
berpendapat, dengan minta pertolongan kepada Allah: jika sebelumnya
telah ada akad imamah kepada orang yang layak, dan kita memandang dia
memegang akad dengan otoritas penuh (mustaqillan bin nadhori)
yang berlaku di semua negeri, kemudian nampak atau mencul secara
tiba-tiba sesuatu yang dapat menghalangi perhatiannya, maka tidak ada
alasan untuk menelantarkan orang-orang yang tidak terjangkau oleh
perintah imam. Akan tetapi mereka hendaknya mengangkat seorang pemimpin (amir), sehingga mereka dapat merujuk kepada pandangannya, bersandar kepada perintahnya, terikat kepada syari’ah yang dibawa oleh Al Musthofa
-saw- dalam apa yang mereka kerjakan dan mereka tinggalkan. Dan yang
demikian itu bukanlah jabatan imam. Maka seandainya berbagai penghalang
yang ada telah hilang, dan imam sudah mampu memperhatikan mereka, maka
amir dan rakyatnya harus tunduk kepada sang imam dan menyampaikan salam
kepadanya, sedangkan imam mempermudah udzur mereka, memelihara urusan mereka. Apabila dia (imam) menyetujui orang yang mereka angkat (sebagai amir)
maka (keputusan mereka itu) berlaku, tapi jika dia melihat perlu adanya
penggantian amir, maka pendapatnya diikuti, dan kepadanyalah (kaum
muslimin) merujuk. [ttk]
[1] Beliau
adalah Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf bin Muhammad Al Juwaini, Abul
Ma’aliy, Imam Dua Tanah Suci (Imamul Haromain), dijuluki Ruknud Diin (pilar
agama). Lahir 419 H dan wafat 478 H. Ahli kalam Asy’ariyah serta ahli
ushul dan fiqh Madzhab Syafi’i. Setiap kali disebut gelar “Al Imam”
dalam kitab-kitab fiqh muta’akhirin syafi’iyyah, maka yang dimaksud
adalah beliau. Kitab beliau sangat banyak, antara lain: Asy Syamil dan
Al Irsyad dalam aqidah, Al Burhan dan Al Waroqot dalam ushul fiqh,
Nihayatul Mathlab fi diroyatil Madzhab dalam fiqh, Ghiyatsul Umam dalam
siyasah, dan masih banyak lagi.
Sumber: Blog Ust. Titok Priastomo
Sumber: Blog Ust. Titok Priastomo
0 komentar :
Posting Komentar
Ikhwah fillah, mohon dalam memberikan komentar menyertakan nama dan alamat blog (jika ada). Jazakumullah khairan katsir