Oleh Al Ustadz Syamsudin Ramadhan An Nawiy
Menepis
Anggapan Salah
Benar, di dalam al-Quran dan Sunnah, banyak ayat dan riwayat yang mendorong
kaum Muslim untuk memiliki sifat zuhud, wara’, tidak tamak dan rakus terhadap
dunia, condong kepada ketaatan, sibuk dengan dzikir ibadah, dan lain
sebagainya. Hanya saja, sejak masa Nabi saw, kaum Muslim memahami
bahwasanya dorongan-dorongan untuk memiliki sifat-sifat tersebut tidak
bertentangan atau menafikan kebolehan menikmati dunia. Para shahabat
memahami bahwasanya, zuhud di dunia tidak berarti mengabaikan atau memusuhi
dunia. Perintah zuhud juga tidak pernah dipahami keharusan menyiksa
jasad, atau melemahkan jasad selemah-lemahnya. Perintah untuk zuhud
di dunia hanyalah sebatas untuk tidak menjadikan dunia sebagai tujuan hidup
atau segala-galanya bagi hidup. Sebab, tujuan hidup seorang Muslim
adalah kehidupan akherat, bukan dunia. Untuk itu, seorang Muslim
diperintah untuk berbuat sejalan dengan ‘aqidah dan syariat Islam agar selamat
di kehidupan akherat kelak. Perintah untuk zuhud di dunia adalah
instruksi agar manusia tidak tamak dan rakus dengan dunia, atau menjadikan
dunia sebagai perkara yang paling urgen di dalam hidupnya, hingga seseorang
melupakan kehidupan akherat.
Al-Quran dan Sunnah ketika menyebut dunia dan kenikmatan yang ada di dalamnya,
keduanya tidak pernah memusuhi dunia, atau memerintahkan kaum Muslim untuk
meninggalkan atau menganggap rendah dunia. Akan tetapi, Al-Quran dan
Sunnah memerintahkan kaum Muslim untuk tidak berpaling kepada dunia, hingga
melupakan kehidupan akherat. Misalnya, al-Quran telah menyatakan:
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi
amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu
serta lebih baik untuk menjadi harapan”.[TQS
Al-Kahfiy (18):46)
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah
permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu
serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang
tanam-tanamannya mengagumkan para petani; Kemudian tanaman itu menjadi kering
dan kamu lihat warnanya kuning Kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti)
ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan
dunia Ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”.[TQS Al-Hadiid (56):20]
Di dalam hadits riwayat Imam Bukhari di atas juga dinyatakan bahwasanya Nabi
saw mencela orang-orang yang berusaha menyiksa anggota badannya untuk menggapai
kedekatan kepada Allah swt. Imam Bukhari menuturkan sebuah hadits dari
Anas bin Malik ra, bahwasanya Anas bin Malik ra berkata:
“Ada tiga kelompok orang mendatangi rumah-rumah
isteri-isteri Nabi saw untuk menanyakan ibadah Nabi saw. Ketika
dikabarkan kepada mereka ibadah Nabi saw, seakan-akan mereka saling
membincangkan ibadah Nabi saw. Lalu mereka berkata, “Di mana kedudukan
kami di sisi Nabi saw? Sedangkan beliau telah diampuni dosa-dosanya baik yang
telah lalu dan yang akan datang?. Maka, seorang di antara mereka berkata,
“Adapun saya, maka saya akan sholat malam selama-lamanya”. Sedangkan yang
lain berkata, “Saya akan berpuasa sepanjang hari tanpa berbuka”. Dan
kelompok yang lain berkata, “Saya akan menjauhi wanita, dan tidak akan pernah
menikah selama-lamanya”. Rasulullah saw pun datang, dan berkata, “Apakah
kalian yang berkata demikian-demikian?! Demi Allah, sesungguhnya aku adalah
orang yang paling takut dan paling taqwa kepada Allah dibandingkan kalian
semua. Akan tetapi, aku berpuasa, tetapi aku juga berbuka. Aku
mengerjakan sholat, tetapi aku juga tidur. Aku juga menikahi
wanita. Oleh karena itu, barangsiapa mengabaikan sunnahku, maka ia bukan
termasuk golonganku”.[HR. Imam Bukhari]
Hadits ini dengan sharih (jelas) menyatakan bahwasanya menyiksa anggota badan,
atau memusuhi kelezatan dunia bukanlah jalan menuju ketaqwaan hakiki.
Ketaqwaan hakiki hanya akan didapatkan ketika seseorang berbuat sejalan dengan
sunnah Nabi saw. Atas dasar itu, orang yang meninggalkan kehidupan dunia, atau
menyiksa anggota tubuhnya, tidak dikatakan memiliki ketinggian ruuhiyyah. Pasalnya, perbuatan
yang ia lakukan bertentangan dengan sunnah Nabi saw.
Pada akhirnya, ketika kaum Muslim mulai bersentuhan dengan agama dan
pemikiran-pemikiran asing, mereka mulai berinteraksi dan mengenal
pandangan-pandangan keaagamaan dan falsafah kehidupan di luar Islam.
Sebagian kaum Muslim mulai terpengaruh dengan pandangan dan falsafah hidup non
Islam. Keadaan ini mendorong mereka –orang-orang yang terpengaruh
dengan agama dan falsafah hidup non Muslim-- untuk menakwilkan nash-nash
al-Quran dan Sunnah untuk mendukung “kecenderungan mereka”.
Perkembangan
Tashawwuf di Dunia Islam
Menurut Dr. Ahmad al-Qashshash, pada saat kekuasaan Daulah Khilafah Islaamiyyah
semakin meluas, pengaruh Islam semakin melebar, dan kaum Muslim berlimpahan
dengan kemakmuran dan kesejahteraan, mayoritas kaum Muslim mulai hidup dengan
bergelimang harta dan kekuasaan. Keadaan ini sedikit banyak telah
menjadikan mereka lalai dan abai terhadap urusan ibadah dan akhlaq Islamiyyah
yang mulia. Keadaan ini mendorong lahirnya sekelompok kaum Muslim yang
mengasyikkan diri dalam ibadah, tahannuts, dan meninggalkan gemerlapnya
dunia. Berkaitan dengan kelahiran ilmu tashawwuf, di dalam Kitab al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun menyatakan:
“Ilmu ini termasuk ke dalam bagian ilmu-ilmu syariat yang
baru di dalam agama. Asalnya, jalan mereka itu selalu ada di sisi
generasi salaf umat Islam, dan kalangan pemuka shahabat dan tabi’in, dan
orang-orang sesudahnya, sebagai jalan yang benar dan jalan petunjuk. Asal
usul tashawwuf adalah mengasingkan diri dalam ibadah dan mendekatkan diri
kepada Allah swt, menjauhi keindahan dunia dan perhiasannya, serta zuhud dari
kelezatan, harta, dan kedudukan yang sering dicari oleh mayoritas orang; dan
menyendiri dari manusia dalam kesendirian untuk beribadah kepada Allah
swt. Hal ini, dilakukan oleh kebanyakan shahabat dan generasi
salaf. Ketika telah tersebar luas kecintaan terhadap dunia pada abad ke 2
Hijriyyah dan sesudahnya; dan manusia mulai condong kepada kehidupan dunia,
orang-orang yang mengkhususkan diri dalam ibadah menyebut dirinya dengan
istilah al-shuufiyyah atau al-mutashawwiyah”.[Ibnu
Khaldun, al-Muqaddimah, hal. 381]
Imam Ibnu Taimiyyah menyatakan:
Shufiyyah
muncul pertama kali di Bashrah. Orang yang pertama kali membangun lembaga
untuk kelompok Shufiy adalah sebagian shahabat ‘Abd al-Wahid bin Zaid.
‘Abd al-Wahid termasuk salah satu shahabat Imam al-Hasan
al-Bashriy. Di kota Bashrah ada upaya yang sungguh-sungguh dalam
hal zuhud, ibadah, takut kepada Allah, dan lain sebagainya yang belum pernah
ada di dalam perjalanan sejarah…Menurut mereka, al-tashawwuf itu memiliki
hakekat yang dikenal yang telah mereka perbincangkan pada cakupan-cakupannya
(definisi), sejarahnya, dan akhlaqnya, sebagaimana perkataan sebagian mereka:
al-shufiy itu berasal dari kata shafa min al-kadr (suci dari kotoran), dan
terisi penuh dengan pemikiran. Menurut mereka, emas dan batu adalah
sama…..Dan mereka membawa kata shufiy kepada makna al-shiddiiq (orang yang
benar); dan seutama-utama makhluk setelah para Nabi adalah orang-orang yang
benar (al-shiddiquun), sebagaimana
Allah swt berfirman:
“Mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang
dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang
yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang
sebaik-baiknya”.[TQS An Nisaa’ (4):69][Syaikh al-Islaam
Imam Ibnu Taimiyyah, Majmuu’ al-Fatawa, Kitab al-Tashawwuf, hal. 1656]
Adapun kemunculan istilah “al-tashawwuf”
pada akhir abad ke 2 Hijriyyah, diisyaratkan dalam sebuah riwayat yang
dituturkan dari Imam Asy Syafi’iy ra yang wafat pada tahun 204 Hijriyyah.
Di dalam riwayat tersebut beliau ra berkata,:
“Seandainya
seorang laki-laki menjadi seorang sufi pada awal siang, niscaya ia tidak datang
pada saat Dhuhur kecuali ia menjadi orang yang bodoh”. [Imam Ibnu Qayyim
al-Jauziy, Talbis Ibliis, hal.465]
Di dalam riwayat lain, Imam Asy Syafi’iy ra juga menyatakan:
“Tidaklah
seseorang yang bergaul erat dengan sufi selama 40 hari, niscaya akalnya akan
condong kepadanya selama-lamanya”.[Imam
Ibnu Qayyim al-Jauziy, Talbis Iblis, hal. 456]
Hanya saja, isyarat penting atas kemunculan tashawwuf di dunia Islam, dimulai
pada kurun ke 3 Hijriyyah. Pada kurun tersebut, muncullah Al-Harits
al-Muhaasibiy di Iraq. Beliau adalah seorang ulama besar; pakar dalam
masalah ushul dan mu’amalah. Beliau menulis kitab-kitab yang
berbicara tentang zuhud dan bantahan terhadap kelompok Mu’tazilah dan
kelompok-kelompok lain. Beliau lahir di Bashrah, dan wafat di Baghdad.
Beliau adalah guru dari ulama-ulama Baghdad pada masanya. Di antara kitab
tashawwuf beliau yang masyhur adalah Adab al-Nufus; Syarah
al-Ma’rifah; al-Masaail fi al-Zuhd; al-Khalwah wa al-Tanafful fi al-‘Ibaadah;
dan Mu’aaqibah al-Nafs”..dan lain
sebagainya.
Selanjutnya, muncullah ulama
tashawwuf terkemuka, seperti Imam al-Junaid. Beliau wafat di Baghdad pada tahun
297 Hijriyyah. Abu al-Qasim berkata, “Dia (Al-Junaid
al-Baghdadiy) adalah seorang sufi dari kalangan ulama Islam”. Al-Junaid
al-Baghdadiy adalah seorang ulama besar, ahli syair, dan bahasa Arab.
Tidak hanya itu saja, beliau adalah ulama pertama yang berbicara tentang ilmu
Tauhid di Baghdad. Ibnu al-Atsir berkata tentang Al-Junaid al-Baghdadiy,”Beliau
adalah Imam dunia di zamannya”. Para ulama menggelari beliau dengan Syaikh Madzhab al-Tashawwuf (Syaikhnya
Aliran Tashawwuf). Pandangan-pandangan beliau tidak bertentangan dengan
Al-Quran dan Sunnah. Di antara perkataan beliau yang masyhur adalah, “Jalan
kami ini didasarkan kepada al-Kitab dan Sunnah. Siapa saja yang tidak
memelihara al-Quran dan tidak menulis hadits dan tidak sejalan dengannya, maka
ia tidak boleh diikuti”. Kitab beliau yang masyhur adalah Dawaa’
al-Arwaah.
Tashawwuf yang mereka ajarkan hanya berkisar kepada ketaqwaan, koreksi diri,
pensucian jiwa dari dosa, dan taubat kepada Allah swt.
Ulama-ulama tashawwuf seperti Imam Al-Muhasibiy maupun al-Junaid al-Baghdadiy,
tidak pernah mencetuskan pemikiran-pemikiran atau pendapat-pendapat baru dalam
tsaqafah Islamiyyah. Hanya saja, para fuqaha’ senantiasa berhati-hati dan
waspada terhadap pendapat dan pemikiran mereka. Bahkan, sebagian fuqaha
mengambil sikap tegas dan berseberangan dengan mereka, dikarenakan kelompok
zuhud ini (ulama-ulama tashawwuf) mengajarkan jalan-jalan baru yang sebelumnya
tidak pernah dikenal dalam syariat Islam. Di antara ulama yang
mengambil sikap berseberangan dengan kelompok-kelompok zuhud ini adalah Imam
Asy Syafi’iy dan Imam Ahmad bin Hanbal. [Lihat Talbis Iblis, hal.
228; al-Bidayah wa al-Nihayah, juz 10, hal.342] Bahkan,
perseteruan ulama-ulama Hanabilah terhadap ulama tashawwuf amatlah keras.
Dituturkan bahwasanya ketika al-Harits meninggal dunia, Imam Ahmad bin Hanbal
tidak datang menziarahinya. Ulama-ulama Hanabilah menuduh
kelompok-kelompok tashawwuf tersebut dengan kelompok zindiq. Tuduhan
ulama Hanabilah ini berpengaruh kepada masyarakat banyak, bahkan berpengaruh kepada
penguasa-penguasa yang ada pada saat itu. Akibatnya, banyak ulama
tashawwuf ditangkap, dan banyak diantara mereka dibunuh.[Dzuhr al-Islaam,
juz 1/hal. 228-229]
Di dalam sejarah, kaum Muslim juga mengenal seorang tokoh sufi kenamaan dari
Mesir, yang bernama Dzu al-Nuun al-Mishriy”. Dia membuat
ungkapan-ungkapan baru yang sebelumnya belum pernah dikenal di Mesir. Dzu
al-Nuun al-Mishriy mengajarkan bahwasanya sumber makrifat itu tidak hanya dalil
‘aqliy dan naqliy, akan tetapi ada sumber yang ketiga, yakni al-kasyf
(penyingkapan hakekat). Ia juga mengajarkan adanya ilmu al-dzahir
(pengetahuan dzahir) dan ilmu al-bathin(pengetahuan bathin). Ajaran
beliau ini, mendapatkan perlawanan yang amat keras dari para fuqaha, di
antaranya adalah ‘Abdullah bin al-Hakam, seorang ulama dari madzhab Malikiy dan
Ibnu al-Laits, seorang ulama Hanafiyyah di Mesir. Keduanya tidak setuju
dengan Dzu al-Nuun al-Mishriy dan ajarannya. Keduanya menuduh Dzu al-Nuun
al-Mishriy sebagai orang zindiq. Akibatnya, Dzu al-Nuun al-Mishriy
dikirim ke Daar al-Khilafah di Baghdad, dan dipenjara di sana hingga mati. [Dzuhr
al-Islaam, juz 1, hal. 169]
Permusuhan para fuqaha terhadap ulama-ulama tashawwuf ini semakin keras, ketika
pada abad ke 3 Hijriyyah dan sesudahnya, bermunculan ulama-ulama tashawwuf yang
menyebarkan ajaran-ajaran yang bertentangan dengan ‘aqidah dan syariat
Islam. Tashawwuf yang diajarkan pada abad ini berbeda dengan model
tashawwuf yang diajarkan oleh Al-Harits al-Muhasibiy dan al-Junaid al-Baghdadiy
yang masih berpegang teguh kepada al-Quran dan Sunnah sebagai asas pembahasan
mereka. Tashawwuf yang muncul belakang ini banyak dipengaruhi oleh
filsafat dan ajaran-ajaran agama lain di luar Islam. Tashawwuf
seperti ini disebut dengan tashawwuf falsafiyyah (tashawwuf yang terpengaruh
ajaran filsafat). Muncullah di dunia Islam ajaran wihdat al-wujud
(Penyatuan Wujud Tuhan dalam makhluq), al-ittihaad wa al-hulul (Tuhan
Menitis atau Manunggal dengan makhluq), al-kasyf wa al-ilhaam,
al-fanaa’, dan lain sebagainya. Tashawwuf yang dikembangkan
pada abad ini tidak lagi berdasar kepada al-Quran dan Sunnah, akan tetapi murni
berasal dari filsafat Yunani, atau ajaran agama di luar Islam. Atas dasar
itu, ajaran-ajaran tashawwuf yang dikembangkan pada masa ini tidak boleh
dianggap sebagai ajaran Islam, dan pencetusnya tidak boleh lagi disebut sebagai
bagian dari kaum Muslim. Tokoh-tokoh yang mengajarkan tashawwuf
model seperti ini, misalnya adalah Ibnu Sina, al-Kindiy, Ibnu Rusyd dan lain
sebagainya. Ajaran tashawwuf mereka sama sekali tidak berasal dari Islam,
akan tetapi berasal dari filsafat Yunani, maupun ajaran agama di luar Islam,
seperti Hindu, Budha, dan lain sebagainya. Ajaran mereka tentang
al-hulul, al-fanaa’, dan al-wujud, dan lain sebagainya jelas-jelas mereka
adopsi dari pandangan filosof Yunani (gnosisme), dan ajaran-ajaran agama Hindu.
Namun, pada abad ke 5 Hijriyyah, tashawwuf model al-Harits dan al-Junaid, mulai
diresmikan dalam masyarakat Islam, sebagai upaya untuk menandingi tashawwuf
falsafiyyah yang jelas-jelas telah keluar dari Islam. Pada perkembangan
selanjutnya, muncullah Imam al-Ghazaliy yang menyerang dan melawan
pandangan-pandangan para filosof. Beliau mengkritik pandangan Ibnu Rusyd
tentang filsafat. Tidak hanya itu saja, selain menolak filsafat, Imam
al-Ghazaliy juga memformulasikan pandangan-pandangan tentang tashawwuf yang
diambil dari al-Quran dan Sunnah. Pandangan-pandangan al-Ghazaliy tentang
tashawwuf ini tentu saja tidak sama dengan pandangan-pandangan tashawwuf kaum
filosof, seperti Al-Kindiy, Ibnu Sina, Farabiy, dan lain sebagainya.
Khatimah
Hingga kini, pemikiran dan aliran tashawwuf pun terus berkembang dan dijadikan
bahan diskusi dan perselisihan. Hanya saja, ada beberapa point penting
yang harus selalu diperhatikan:
- Asas dari pemikiran dan
tsaqafah Islamiyyah adalah ‘aqidah Islamiyyah. Seluruh pemikiran dan
tsaqafah yang tidak lahir dari ‘aqidah Islamiyyah, tidak absah disebut
sebagai tsaqafah Islamiyyah. Filsafat Yunani, semacam gnosisme,
maupun ajaran wihdat al-wujud,
al-ittihaad wa al-hulul, al-fanaa’, dan ajaran-ajaran yang berasal
dari agama Hindu dan Budha, bukanlah bagian dari tsaqafah
Islamiyyah. Pasalnya, pemikiran dan ajaran tersebut tidak lahir dari
‘aqidah Islamiyyah, akan tetapi lahir dari ‘aqidah kufur. Atas dasar itu,
pemikiran tersebut tidak boleh disebut sebagai pemikiran Islam; dan
siapapun yang menyakininya telah keluar dari Islam.
- Dasar pijakan untuk menetapkan
apakah suatu pemikiran atau aliran telah menyimpang dari Islam, maka,
adalah Al-Quran dan Sunnah. Jika suatu pemikiran atau aliran
bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah, maka, pemikiran dan aliran
tersebut tidak boleh dimasukkan dalam pemikiran atau aliran Islam.
- Gerakan tashawwuf yang masih
menjadikan ‘aqidah Islamiyyah sebagai asas dasarnya, dan menjadikan
syariat Islam sebagai miqyas
al-‘amal (tolok ukur perbuatan), dan tidak menjadikan filsafat Yunani
atau ajaran-ajaran agama selain Islam sebagai asas dan tolok ukur, tidak
boleh dianggap keluar dari Islam, atau bukan bagian dari ajaran
Islam. Adapun tashawwuf yang lahir dari filsafat Yunani dan
ajaran-ajaran selain Islam, seperti ajaran Budha, Hindu, dan lain
sebagainya, seperti tashawwuf yang dikembangkan oleh Ibnu Sina, al-Kindiy,
al-Halaj, dan lain sebagainya, termasuk aliran tashawwuf yang telah
menyimpang dari ajaran Islam. [Wallahu al-musta’an wa huwa waliyyu
al-taufiq]