Judul Asli: TASHAWWUF: APA DAN BAGAIMANA SIKAP KITA?
Oleh Al Ustadz Syamsudin Ramadhan An Nawiy
Falsafah
Tentang Eksistensi dan Hakekat Hidup
Abu al-Wafaa’ al-Taftazaniy berkata:
“Tashawwuf secara umum adalah falsafah hidup dan jalan
tertentu dalam perilaku yang keduanya diambil manusia untuk merealisasikan
kesempurnaan pekerti (al-kamaal al-akhlaqiy), meraih idealism, pencapaian
hakekat, dan untuk mewujudkan kebahagiaan ruuhiyyah. Tashawwuf tersebar
luas di berbagai macam agama, filsafat, dan peradaban di berbagai kurun
sejarah”.[Abu al-Wafaa al-Taftazaniy, al-Mausu’ah
al-Falsafiyyah al-‘Arabiyyah, Ma’had al-Imaa’ al-‘Arabiy, Beirut, Cetakan
Pertama (1986), juz 1, hal. 73; bab “at-tashawwuf”]
Sebelum Islam datang, hampir setiap bangsa dan agama memiliki pandangan dan
falsafah hidup tentang kehidupan dan eksistensi. Bahkan, sebelum
kedatangan Isa al-Masih (sebelum masehi), bangsa-bangsa besar, seperti Mesir,
China, Persia, dan Yunani, telah mendiskusikan dan memformulasikan hakekat
tentang wujud (eksistensi), hakekat wujud (eksistensi), dan kehidupan.
Pandangan tentang kehidupan dan eksistensi (al-hayah
wa al-wujud) yang paling menonjol pada saat itu adalah pandangan yang
menyatakan bahwasanya eksistensi (al-wujud)
di alam semesta ini tersusun oleh dua unsur penting, yakni materi (al-maadah/wadag kasar) dan spirit (al-ruuh/wadaq halus). Dua unsur
ini saling bertentangan dan tidak mungkin disatukan. Spirit (ruh) dianggap sebagai sumber
kesempurnaan, kebaikan, dan keluhuran jiwa. Sedangkan materi dianggap
sebagai perkara yang rendah, penyebab kehancuran, ketidaktenangan, dan
keburukan bagi manusia.
Menurut penganut falsafah ini, hakekat hidup atau kesempurnaan hidup adalah
ketika spirit (ruh) mampu mendominasi
dan mengalahkan materi (wadag kasar). Pasalnya, alam materi dianggap
lebih rendah daripada ruh. Atas dasar itu, jika seseorang ingin meraih
kesempurnaan dan hakekat hidup, ia harus meninggalkan, menjauhi, dan memusuhi
semua hal yang berbau materi. Jika seseorang masih terpenjara oleh
materi, dan belum bisa meninggalkan kehidupan materi, maka ia dianggap berbudi
rendah, dan belum mencapai hakekat hidup. Sebaliknya, jika seseorang
mampu meninggalkan alam materi, seperti berpakaian kasar, sedikit makan,
meninggalkan hiruk pikuk kehidupan dunia (‘uzlah),
membujang selamanya, meninggalkan atribut kekuasaan dan intrik-intrik politik,
selalu berjalan kaki, dan lain sebagainya, maka, ia telah mencapai kesempurnaan
hidup, dan martabatnya sebagai manusia telah mencapai titik yang
tertinggi.
Masih menurut pandangan di atas, seseorang yang berhasil melepaskan diri
dari dunia materi, dengan mudah akan berpindah ke alam yang lebih tinggi, dan
meraih puncak hakekat, atau bertemu dengan “Realitas Mutlak” (Tuhan).
Dengan kata lain, seseorang yang telah mencapai tingkatan tinggi, maka, ia akan
memiliki kemampuan untuk mengungkap “Realitas Muthlak” atau “Pengetahuan
Tertinggi” bukan dengan inderanya atau akal pikirannya, akan tetapi, dengan
“perasaan dan bisikan kalbunya”. Inilah yang dimaksud dengan tingkatan
makrifat; yang mana, dalam tingkatan ini, seseorang telah dianggap mengenal
Realitas Mutlak, dengan bisikan dan perasaannya yang halus. Ketika seseorang
telah meraih hakekat, atau makrifat dengan Realitas Mutlak, maka, semua hal-hal
yang bersifat artificial tidaklah menjadi penting. Di Yunani, paham
seperti ini disebut dengan Gnosisme. Gnosis, adalah kata yang diserap
dari bahasa Yunani, yang berarti “makrifat”.
Selanjutnya, kata ini digunakan untuk mengungkapkan pengertian, “pencapaian
kepada “Pengetahuan Tertinggi” dengan menggunakan al-kasyf, bukan dengan
menggunakan bukti-bukti inderawi atau bukti-bukti ‘aqliy”. [Nasy`at al-Fikr al-Falsafiy, juz 1/186]
Falsafah hidup seperti ini, banyak dianut oleh sufi-sufi di Timur, seperti
India, Persia, Mesir, dan sebagainya, baik yang beragama Hindu, Budha, maupun
aliran kepercayaan lainnya. Tidak hanya itu saja, falsafah ini juga dianut oleh
sebagian besar penduduk Yunani. Di Yunani, pencetus aliran filsafat ini
adalah Plato. Plato menyatakan bahwasanya “Realitas Tunggal” adalah
sumber bathin untuk seluruh eksistensi. Realitas Tunggal ini memancar
pertama kali sebagai “akal yang utuh” (‘aqliy
kulliy), lalu memancar sebagai Jiwa Tuhan, selanjutnya memancar menjadi
jiwa parsial, seperti halnya particular-partikular parsial yang mencakup dunia
materi. Dunia materi dianggap Plato sebagai sesuatu yang “tidak ada”[1].
Masih menurut Plato, intisari kehidupan manusia adalah menggapai “Dzat Yang
Tunggal”. Bahkan diyakini juga bahwasanya eksistensi hakiki (wujud al-haqiqiy) hanyalah satu, yang
bagi Plato, hal itu hanya bisa diwujudkan dengan cara membatasi kecenderungan
jasad terhadap materi dan meningkatkan kekuataan spiritualitas. Jika seseorang
mampu mengekang kecenderungannya terhadap materi, dan semua hal yang berbau
materi, maka jiwanya akan terbang dan bersatu dengan “Dzat Yang Maha
Tunggal”. Pandangan ini dikenal juga dengan istilah “wihdat al-wujud” (kesatuan antara hamba dengan Tuhan). Dari
pandangan ini munculnya pandangan tentang emanansi, filsafat perennial, dan
lain sebagainya.
Pandangan seperti di atas (gnosisme) juga berkembang di kalangan Yahudi dan
Nashrani. Di kalangan Yahudi, filsafat gnosisme ini dianut dan disebarluaskan
oleh kalangan Yahudi puritan yang disebut dengan Qubala atau Kubala.
Sedangkan di kalangan Nashraniy, gnosisme sudah muncul mulai dari kurun pertama
Masehi dan tetap bertahan hingga sekarang. Sebagian ahli sejarah filsafat
menyatakan bahwasanya para penganut gnosisme adalah pengikut-pengikut pada
sekolah filfasat agama di abad pertama Masehi. Mereka menggabungkan
ajaran-ajaran Isa dengan agama-agama Timur Kuno dan pandangan Neo Platonisme
dan Phytagoras. Mereka percaya bahwasanya hubungan dengan Spirit
Tertinggi tidak akan mungkin didapat kecuali dalam amal kebajikan dan memusuhi
alam materi yang mereka anggap sebagai sumber keburukan.[al-Mausu’ah
al-Falsafiyyah, bab Gnosisme]
Kemunculan
Tashawwuf di Dunia Islam
Ada dua latar belakang penting yang mendorong munculnya gerakan tashawwuf
di dunia Islam; yakni:
Pertama, munculnya kaum zuhud yang berusaha mengingatkan kaum Muslim
dari fitnah dan tipu daya dunia akibat semakin meluasnya kekuasaan Islam di
seluruh penjuru dunia, serta melimpah ruahnya kekayaan kaum Muslim.
Keadaan yang serba berlimpahan kekuasaan dan materi ini, sedikit banyak telah
mempengaruhi kehidupan kaum Muslim, khususnya kualitas ibadah dan kedekatan
mereka kepada Allah swt. Sebagian besar kaum Muslim mulai terlena
dengan keindahan dunia, dan mulai abai terhadap tujuan hidup mereka di dunia
untuk selalu beribadah kepada Allah swt. Muncullah kemudian kelompok
zuhud yang menyerukan zuhud terhadap dunia. Gerakan tashawwuf seperti ini
muncul pada akhir abad ke 2 Hijriyyah. Ulama yang menjadi pelopor tashawwuf
model ini adalah al-Harits dan al-Junaid al-Baghdadiy. Tashawwuf
yang mereka kembangkan tetap beranjak dari al-Quran dan Sunnah, dan sama sekali
tidak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran filsafat Yunani maupun ajaran-ajaran
agama selain Islam. Hanya saja, sebagian ulama fikih, seperti Imam
Asy Syafi’iy dan Imam Ahmad bin Hanbal menentang gerakan tashawwuf yang
dikembangkan oleh al-Harits maupun al-Junaid al-Baghdadiy.
Kedua, adanya sekelompok orang yang terpengaruh filsafat Yunani dan
ajaran-ajaran agama selain Islam yang mengembangkan model tashawwuf baru yang
belum pernah dikenal sebelumnya oleh kaum Muslim. Tashawwuf model ini
sama sekali tidak dibangun di atas ‘aqidah dan syariat Islam; akan tetapi,
didirikan di atas pemikiran filsafat Yunani dan ajaran-ajaran selain Islam,
semacam gnosisme, al-fana’, wihdat
al-wujud, al-ittihaad wa al-hulul, dan sebagainya. Di antara
tokoh-tokoh yang mengajarkan tashawwuf model ini adalah al-Kindiy, Al-Farabiy,
dan Ibnu Sina. Tashawwuf seperti ini disebut dengan tashawwuf falsafiyyah. Pada dasarnya, tashawwuf model inilah
yang menyebabkan munculnya ajaran-ajaran baru tentang hidup dan ibadah yang
dianggap menyimpang dari Islam, seperti wihdat al-wujud, ketidakharusan
menjalankan syariat bagi yang telah mencapai kedudukan makrifat, alam semesta
adalah serpihan dari Cahaya Tuhan, dan lain sebagainya. Adapun model
tashawwuf yang dikembangkan oleh Al-Harits dan al-Junaid, tidak dianggap
menyimpang dari agama Islam, oleh sebagian besar ulama Islam, walaupun sebagian
ulama menganggapnya sebagai ajaran sesat.
Benar, kemunculan tashawwuf falsafiyyah di dunia Islam dilatarbelakangi
oleh adanya keterpengaruhan sebagian kaum Muslim terhadap pandangan dan
falsafah hidup yang dianut oleh pemeluk agama-agama di Timur dan filosof
Yunani, terutama pandangan Plato mengenai eksistensi dan hidup.
Pada paparan sebelumnya telah diuraikan bahwasanya gnosisme adalah paham yang
paling banyak dianut oleh para filosof Yunani dan pemeluk agama-agama di Timur.
Pandangan inilah yang di kemudian hari memberikan pengaruh yang amat besar
terhadap kelahiran tashawwuf falsafiyyah[2]
di dunia Islam. Bahkan,
kelompok-kelompok sufi dan tarekat yang telah terpengaruh oleh pandangan Plato
tentang eksistensi dan hakekat hidup tersebut, mengklaim bahwasanya gnosisme
memiliki akar di dalam Islam. Mereka mulai menakwilkan ayat-ayat al-Quran dan
Sunnah yang berbicara tentang zuhud,
wara’, ‘uzlah, kejujuran, kesederhanaan, dan lain sebagainya untuk
melegitimasi adanya tashawwuf falsafiyyah di dalam Islam.
Padahal, Al-Quran dan Sunnah tidak pernah berbicara tentang
gnosisme. Islam tidak pernah menyatakan bahwasanya eksistensi itu
terdiri dari materi dan ruh. Islam juga tidak pernah menganggap ruh
(spirit) itu lebih mulia atau lebih tinggi dibandingkan materi. Islam juga
tidak pernah mempertentangkan materi dengan ruh, atau sebaliknya. Islam
juga tidak pernah menganggap materi sebagai sumber keburukan, atau sebagai
sesuatu yang harus dijauhi dan ditinggalkan demi meraih kesempurnaan
hidup. Islam juga tidak pernah mengajarkan bahwasanya “tidak ada
wujud selain Allah swt”. Islam juga tidak pernah mengajarkan “wihdat al-wujud” (bersatunya hamba
dengan Tuhan dalam satu wujud). Bahkan, Islam telah menganggap siapa saja
yang menyakini ajaran “wihdat al-wujud”
telah murtad dari agama Islam.
‘Aqidah Islamiyyah hanya mengajarkan bahwasanya alam semesta, kehidupan, dan
manusia diciptakan (makhluq) Allah swt. Dialah Allah swt, satu-satunya
Dzat Pencipta dan Pengatur alam semesta, kehidupan, dan manusia. Allah
swt sematalah yang menciptakan sesuatu dari tidak ada menjadi ada.
Atas dasar itu, yang dimaksud dengan “ruhaniyyah” (spirit) yang dibahas
oleh para filosof sejatinya adalah kesadaran seorang hamba akan hubungannya dengan
Sang Pencipta (Allah swt). Adapun yang dimaksud dengan “aspek ruhiyyah”
pada materi adalah kesadaran bahwasanya segala sesuatu yang ada di kehidupan
dunia ini diciptakan oleh Allah swt. [Dr Ahmad Qashshash, Nusyuu`
al-Hadlarah al-Islaamiyyah, bab al-Falsafah wa al-Tashawwuf]
Ketika Islam tegak di atas keimanan kepada Allah swt, maka Islam telah
menetapkan bahwasanya aspek ruhiyyah pada diri manusia, alam semesta, dan
kehidupan adalah sebuah kesadaran bahwasanya manusia, alam semesta, dan kehidupan
diciptakan oleh Allah swt. Kesadaran inilah yang menjadi asas bagi
kehidupan seorang Muslim, sekaligus sebagai landasan asasi bagi perbuatan
seorang Muslim. Oleh karena itu, Islam tidak pernah mempertentangkan atau
memisahkan materi dengan ruh, tetapi, justru menyatukan keduanya dalam
penyatuan yang utuh dan menyeluruh. Ketika memandang kehidupan dunia
--termasuk dirinya--, seorang Muslim menyadari sepenuhnya bahwa semua yang ada
di muka bumi diciptakan Allah swt. Kesadaran inilah yang menumbuhkan
perasaan akan Keagungan Allah swt Sang Pencipta dan Pengatur.
Selanjutnya, kesadaran ini akan mendorong dirinya untuk senantiasa tunduk dan
patuh kepada perintah dan larangan Allah swt. Ketundukan dan kepatuhannya
kepada Sang Khaliq diwujudkan dalam bentuk menjalankan syariat Islam secara
menyeluruh. Tatkala seorang Muslim mengikatkan seluruh amal perbuatannya
(materi) dengan perintah dan larangan Allah swt, karena dorongan keimanannya,
atau kesadaran dirinya akan hubungannya dengan Allah swt, maka, ia telah
menyatukan materi dengan ruh (mazj
al-maadah bi al-ruuh); dan seluruh kehidupannya telah tegak di atas
asas ruuh, yakni ‘aqidah Islamiyyah.
Dari penjelasan di atas dapatlah disimpulkan bahwasanya masalah sesungguhnya
–dalam pandangan Islam— adalah adanya sebuah kesadaran bahwasanya seluruh
eksistensi yang ada di dunia ini adalah diciptakan Allah swt; dan dengan
kesadaran ini, manusia diperintahkan untuk hidup sejalan dengan ketetapan Allah
swt dan Rasulullah saw; bukan bagaimana manusia menjauhi kehidupan dunia atau
mengalahkan jasadnya. Dalam pandangan Islam, hakekat kehidupan
bukanlah dominasi ruh atas materi, atau menyatu dengan Realitas Mutlak, tetapi;
menyatukan ruh dengan materi. Adapun yang dimaksud dengan “menyatukan ruh
dengan meteri” di sini adalah; seluruh perbuatan manusia harus senantiasa
sejalan dengan syariat Islam, dan perbuatan tersebut tegak di atas ‘aqidah
Islamiyyah.
Oleh karena itu, perintah di dalam al-Quran dan Sunnah tentang zuhud, tidak
tamak terhadap dunia, mendekatkan diri kepada Allah, tidak cinta terhadap
kehidupan dan dunia, dan lain sebagainya, sama sekali tidak bermakna bahwa
Islam telah memisahkan materi dengan ruh, atau menjadikan materi sebagai
sesuatu yang lebih rendah dibandingkan dengan ruh. Dengan kata lain,
taqwa bukanlah diukur dari sejauh mana seseorang mampu menjauhkan dirinya dari
kehidupan dunia, akan tetapi, ketaqwaan dinilai dari sejauh mana seseorang
tersebut terikat dengan ‘aqidah dan syariat Islam. Imam Bukhari
menuturkan sebuah hadits dari Anas bin Malik ra, bahwasanya Anas bin Malik ra
berkata:
“Ada tiga kelompok orang mendatangi rumah-rumah
isteri-isteri Nabi saw untuk menanyakan ibadah Nabi saw. Ketika
dikabarkan kepada mereka ibadah Nabi saw, seakan-akan mereka saling
membincangkan ibadah Nabi saw. Lalu mereka berkata, “Di mana kedudukan
kami di sisi Nabi saw? Sedangkan beliau telah diampuni dosa-dosanya baik yang
telah lalu dan yang akan datang?. Maka, seorang di antara mereka berkata,
“Adapun saya, maka saya akan sholat malam selama-lamanya”. Sedangkan yang
lain berkata, “Saya akan berpuasa sepanjang hari tanpa berbuka”. Dan
kelompok yang lain berkata, “Saya akan menjauhi wanita, dan tidak akan pernah
menikah selama-lamanya”. Rasulullah saw pun datang, dan berkata, “Apakah
kalian yang berkata demikian-demikian?! Demi Allah, sesungguhnya aku adalah
orang yang paling takut dan paling taqwa kepada Allah dibandingkan kalian
semua. Akan tetapi, aku berpuasa, tetapi aku juga berbuka. Aku mengerjakan
sholat, tetapi aku juga tidur. Aku juga menikahi wanita. Oleh
karena itu, barangsiapa mengabaikan sunnahku, maka ia bukan termasuk
golonganku”.[HR. Imam Bukhari]
Hadits ini dengan sharih menunjukkan bahwasanya Islam tidak memusuhi kehidupan
dunia (materi) atau menempatkannya sebagai sesuatu yang rendah yang harus
dijauhi dan dibenci. Selain itu, di banyak ayat, Al-Quran telah
menjelaskan bahwasanya alam semesta ini diciptakan untuk manusia. Allah
swt berfirman:
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami
angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang
baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.[TQS
Al Israa` (17):70]
“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa
yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum
yang berpikir”.[TQS Al-Jaatsiyah (45):13]
“Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari
Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rezeki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu
(disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk
mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi
orang-orang yang mengetahui”.[TQS
Al-A’raaf (7):32]
Ayat-ayat di atas, dan masih banyak lagi ayat yang lain, menunjukkan bahwasanya
semua yang ada di dunia ini diperuntukkan bagi manusia, agar manusia
memanfaatkan dan menggunakannya sesuai dengan ketentuan Allah swt.
Berdasarkan ayat-ayat di atas dapatlah dipahami bahwasanya Islam tidak pernah
mempertentangan antara kehidupan materi (dunia) dengan ruh atau
ruhaniyyah. Untuk itu, orang yang memakan makanan yang dihalalkan
Allah swt karena keimanan dan ketundukannya kepada Allah swt, pasti merasakan
Keagungan dan Kebesaran Allah swt, disamping ia juga merasakan kelezatan
makanan. Dalam keadaan seperti ini, ruhaniyyah telah ada di dalam diri
orang tersebut, walaupun pada saat yang sama ia menikmati kelezatan
materi. Allah swt berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki
yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika
benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah”.[TQS
Al Baqarah (2):172]
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan
apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu
melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas”.[TQS Al Maidah (5):87]
Pedagang yang mencari keuntungan dari perdagangannya juga memiliki
“ruuhaniyyah” ketika aktivitas perdagangannya selalu terikat dengan hukum-hukum
Allah swt. Disebutkan di dalam hadits:
“Pedagang yang jujur dan amanah, kelak akan bersama dengan
para Nabi, orang-orang yang benar, dan orang-orang yang mati syahid”.[HR. Imam Al-Daramiy, Sunan al-Daramiy, Hadits No:2539]
Orang yang menjalin hubungan seksual dengan isterinya yang sah, juga dianggap
memiliki “ruhaniyyah”, walaupun pada
saat yang sama ia juga menikmati kelezatan dunia. Nabi saw bersabda:
“Di dalam jima’ (yang dilakukan oleh) seseorang di antara
kalian ada sedekah. Para shahabat bertanya, “Ya Rasulullah, seorang di
antara kita melepaskan syahwatnya, dan di dalamnya ia akan mendapatkan
pahala? Rasulullah saw menjawab, “Tidakkah kalian tahu, seandainya ia
berjima’ dengan wanita yang diharamkan, bukankah ia akan mendapatkan dosa
karenanya? Demikian pula, jika ia berjima’ dengan wanita yang dihalalkan,
maka ia akan mendapatkan pahala”.[HR.
Imam Muslim]
Nash-nash di atas menunjukkan bahwasanya ketinggian ruh, atau ruhaniyyah sama
sekali tidak berhubungan dengan kemampuan seseorang menjauhi materi atau
kelezatan duniawi. Bahkan, nash-nash di atas menunjukkan bahwa seorang
Muslim diperkenankan untuk menikmati kehidupan dunia beserta
kenikmatannya. Hanya saja, dalam menikmati kehidupan dunia itu, seorang
Muslim harus selalu memperhatikan halal dan haram. Selain itu, ia tidak
boleh menjadikan dunia sebagai tujuan hidup, atau segala-galanya bagi
hidup. Atas dasar itu, ruhiyyah hanya bisa dicapai ketika seseorang
selalu mengikatkan seluruh perbuatannya dengan ‘aqidah dan hukum syariat.
Ketika seseorang berbuat sesuai dengan tuntunan Allah swt dan RasulNya (syariat
Islam); maka, dia telah memiliki ruhiyyah. Sebaliknya, jika seseorang
berbuat menyimpang dari tuntunan Allah swt dan RasulNya, dia tidak dikatakan
memiliki ruhiyyah.
[1]
Di kemudian hari ajaran ini disebut dengan ajaran wihdat
al-wujud (kesatuan eksistensi). Menurut ajaran ini, seluruh yang ada
alam semesta ini sesungguhnya tidak ada (laa maujud), dan yang ada
hanyalah Realitas Tunggal (Al-Wujud/Tuhan).
Alam materi hanya serpihan dari Sang Wujud Hakiki (Tuhan).
[2]
Yang dimaksud dengan tashawwuf
falsafiyyah adalah tashawwuf yang berdiri di atas pemikiran-pemikiran
filsafat Yunani dan ajaran-ajaran agama selain Islam. Tashawwuf
falsafiyyah adalah model tashawwuf yang telah menyimpang dari ajaran Islam.
====================
0 komentar :
Posting Komentar
Ikhwah fillah, mohon dalam memberikan komentar menyertakan nama dan alamat blog (jika ada). Jazakumullah khairan katsir