Assalamualaikum
wr. wb.
اَللهُ أَكْبَرُ x 9 ا َللهُ أَكْبَرُ وَ ِللهِ
الْحَمْدُ
إنَّ الحَْمْدَ للهِ نَحْمَدُهُ
وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ باللهِ مِنْ شُرُوْرِ أنْفُسِنَا
وَمِنْ سَيِّئَاتِ أعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ
يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ.
وأَشْهَدَ أَنَّ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ
وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى سَيِّدِ
الْمُرْسَلِيْنَ، وَإِمَامِ الْمُتَّقِيْنَ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ
الطَّيِّبِيْنَ الطَّاهِرِيْنَ،
وَ قَالَ اللهُ تَعَالَى : يَآيُّهَا النَّاسُ
إنَّا خَلقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوْبًا وَقَبَائِلَ
لِتَعَارَفُوْا ِ
فَيَا أيُّهَا النَّاسُ أُوْصِيْكُمْ وَإيَّايَ
بِتَقْوى اللهِ فَاتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إلاَّ
وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
اَللهُ أَكْبَرُ… اَللهُ أَكْبَرُ… اَللهُ
أَكْبَرُ وَ ِللهِ الْحَمْدُ
Ma’asyiral
Muslimin rahimakumullah.
Alhamdulillah,
hari ini kita merayakan Hari Raya Idul Adha yang penuh dengan kegembiraan. Kata
id
itu sendiri memang menunjukkan makna kegembiraan, karena berasal dari
kata ‘aud
yang artinya kembali atau berulang.
Jadi, setiap id artinya ialah ya’udu
as-surur, yakni kembali atau berulangnya kegembiraan. (Imam Syaukani,
Nayl
al-Authar, hlm. 680).
Kegembiraan
seperti ini pula kiranya yang dirasakan oleh saudara-saudara kita yang tengah
melaksanakan serangkaian manasik haji di Tanah Suci.
Namun
demikian, kegembiraan kita ini hendaknya jangan sampai berlebihan atau melampaui
batas, sehingga kita melupakan nasib saudara-saudara kita umat Islam di seluruh
dunia, yang sampai detik ini masih terpuruk di segala bidang. Keterpurukan ini
adalah akibat dominasi Kapitalisme global pimpinan Amerika Serikat, sang
pemimpin kafir penjajah, beserta antek-antek mereka. Keterpurukan ini juga
akibat tiadanya pelindung hakiki bagi umat Islam, yaitu Imam atau Khalifah.
Betapa benar sabda Rasulullah saw.:
إنَّمَا اْلإمَامُ جُنَّةٌ يُقاتَلُ منْ
وَرَائِهِ وَيُتَّقى بهِ
Sesungguhnya
Imam (Khalifah) itu bagaikan perisai; tempat orang-orang berperang di
belakangnya dan berlindung dengannya (HR Muslim).
Rasa
gembira itu hendaknya juga jangan sampai membuat kita gagal menangkap pelajaran
(ibrah)
yang penting dari ibadah haji; ibadah yang menjadi rukun Islam kelima yang
diwajibkan Allah SWT atas kita semua, yang pada hari-hari ini sudah dan sedang
dilaksanakan oleh para jamaah haji di Makkah dan sekitarnya.
Ma’asyiral
Muslimin rahimakumullah.
Dalam
kesempatan yang mulia ini, ada baiknya kita meresapi berbagai pelajaran (ibrah)
penting dari ibadah haji itu. Pelajaran ini tak hanya penting untuk mereka yang
sedang berhaji, melainkan juga bagi seluruh umat Islam di mana pun berada.
Berbagai
pelajaran ibadah haji ini sesungguhnya tercakup dalam apa yang disebut “hikmah
haji“, yaitu manfaat-manfaat yang dapat dipersaksikan oleh para
jamaah haji, sebagaimana firman Allah SWT:
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ
…agar
mereka (jamaah haji) menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka (QS
al-Hajj [22] : 28).
Ayat ini
menunjukkan, dalam ibadah haji kaum Muslim akan mendapatkan berbagai manfaat
yang sangat penting dalam segala aspek kehidupan (Ali bin Nayif Asy-Syahud, Al-Khulashah
fi Ahkam al-Hajj wa al-Umrah, hlm.2).
Ma’asyiral
Muslimin rahimakumullah.
Di
antara pelajaran terpenting dari ibadah haji ini adalah pesan persatuan umat (wahdah
al-ummah). Pesan ini tampak jelas sekali. Jamaah haji akan dapat
menyaksikan berkumpulnya umat Islam dari seluruh pelosok dunia untuk melakukan
ibadah yang sama, zikir yang sama, di tempat yang sama dan dengan busana ihram
yang sama; tanpa mempedulikan lagi batasan negara bangsa (nation
state), perbedaan suku, warna kulit dan bangsa.
Semua
itu semestinya mengingatkan umat Islam akan karakter mereka sebagai umat yang
satu (ummat[an]
wahidah), sebagaimana pernah ditegaskan sendiri oleh Nabi Muhammad
saw. dalam Piagam Madinah:
هَذَا كِتَابٌ مِنْ مُحَمَّدٍ النَّبِيِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ مِنْ قُرَيْشٍ
وَيَثْرِبٍ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ فَلَحِقَ بِهِمْ، وَجَاهَدَ مَعَهُمْ إِنَّهُمْ
أُمَّةٌ وَاحِدَةٌ مِنْ دُوْنِ النَّاسِ.
Ini
adalah piagam perjanjian dari Muhammad saw. antara orang-orang Muslim dan
Mukmin dari Quraisy dan Yatsrib serta orang-orang yang menyusul mereka,
bergabung dengan mereka dan berjihad dengan mereka. Sesungguhnya mereka adalah
satu umat (ummat[an] wahidah), berbeda dengan manusia lainnya (Shafiyurrahman
Mubarakfuri, Ar-Rahiq Al-Makhtum, hlm.
153; Abul Hasan Ali An-Nadwi, Ma Dza Khasir al-‘Alam bi-[I]nhithath
al-Muslimin, hlm. 176).
Perwujudan
karakter umat yang satu itu tiada lain karena adanya tali pengikat di antara
mereka, yaitu agama Islam, sebagaimana firman Allah SWT:
وَاعْتَصْمُوْا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعٌا وَلا
تَفَرَّقُوْا
Berpeganglah
kalian semuanya dengan tali (agama) Allah dan jangan bercerai-berai (QS Ali
Imran [3]: 103).
Berkumpulnya
jamaah haji dengan sesama Muslim dari seluruh pelosok dunia akan menyadarkan
mereka, bahwa yang mempersatukan umat Islam hanya satu faktor saja, tidak
lebih, yaitu agama Allah (Islam). Tak ada faktor pemersatu lainnya; apakah itu
suku, warna kulit, bangsa ataupun negara bangsa (nation state).
Faktor
suku, warna kulit dan kebangsaan sesungguhnya bukanlah faktor pemersatu. Semua
itu tidak layak menjadi faktor pemersatu. Semua itu sekadar qadha‘
yang memang bukan dalam kuasa dan hak pilih seorang anak manusia. Tak ada
manusia yang memilih menjadi suku Jawa, atau memilih berkulit hitam, atau
memilih menjadi bangsa Indonesia. Semua itu merupakan qadha`
yang terkait dengan penciptaan manusia, tanpa ada hak memilih bagi manusia.
Jadi
faktor kesukuan, warna kulit dan kebangsaan itu bukanlah pemersatu; juga bukan
pula sebagai dasar pembentukan sebuah negara, melainkan qadha`
Allah dalam penciptaan yang menjadi sarana untuk saling mengenal. Allah SWT
berfirman:
يَآيُّهَا النَّاسُ إنَّا خَلقْنَاكُمْ مِنْ
ذَكَرٍ وَأُنْثى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوْبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا
Hai
manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kalian saling mengenal (QS al Hujurat [49]: 13).
Memang,
dalam kenyataannya umat Islam itu bermacam-macam, terdiri dari beragam
suku-bangsa. Ada bangsa Melayu, bangsa Pakistan, bangsa Mesir, bangsa Afrika,
bangsa Arab, dan seterusnya. Namun demikian, walaupun berbeda-beda bangsa, umat
Islam tetap satu. Walaupun berbeda-beda bangsa, umat Islam seluruh dunia adalah
ibarat satu tubuh, sebagaimana digambarkan dalam sabda Nabi saw.:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فَِي تَواَدِهِمْ
وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُم عُضْوٌ
تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَى
Perumpamaan
orang-orang yang beriman dalam hal saling mencintai, saling menyayangi dan
saling berlemah lembut adalah laksana satu tubuh. Jika ada satu anggota tubuh
yang sakit maka seluruh tubuh lainnya akan turut tak bisa tidur dan merasa
demam (HR Muslim).
Jelaslah,
berdasarkan uraian di atas, terdapat pelajaran penting sekali dari ibadah haji,
yaitu pesan persatuan umat Islam. Umat Islam dari seluruh pelosok dunia
seharusnya menjadi umat yang satu. Mereka diikat oleh faktor pemersatu hakiki
berupa tali agama Allah semata, bukan diikat oleh faktor lainnya seperti warna
kulit, suku, bangsa, atau negara bangsa.
Ma’asyiral
Muslimin rahimakumullah.
Persatuan
umat Islam dan karakter umat yang satu itulah yang menjadi dasar dari adanya
negara yang satu (dawlah wahidah), yaitu satu negara Khilafah untuk umat Islam
di seluruh dunia.
Maka dari
itu, jika kebangsaan menjadi dasar bagi negara-bangsa, maka bagi umat Islam,
karakter umat yang satu menjadi dasar bagi negara Khilafah yang satu. Tidak
boleh ada lebih dari satu negara Khilafah di seluruh dunia. Khilafah yang satu
itu sajalah yang akan menaungi seluruh umat Islam seluruh dunia, mulai dari
Maroko hingga Merauke, dalam satu negara. Dasarnya adalah sabda Nabi Muhammad
saw.:
إِذَا بُوْيِعَ لِخَلِيْفَتَيْنِ فَاقْتُلُوْا
الآخِرَ مِنْهُمَا
Jika
dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya (HR
Muslim).
Berdasarkan
dalil-dalil seperti itulah, para ulama mazhab yang empat dari mazhab Hanafi,
Maliki, Syafii dan Hanbali sepakat untuk melarang adanya dua orang khalifah di
seluruh dunia pada waktu yang sama. Syaikh Abdurrahman Al-Jazairi dalam
kitabnya, Al-Fiqh
‘ala Al-Madzahib al-Arba’ah (Fiqih Menurut Empat Mazhab),
menegaskan:
وَعَلَى أَنَّهُ لاَ يَجُوْزُ أَنْ يَكُوْنَ
عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ فِي وَقْتٍ وَاحِدٍ فِي جَمِيْعِ الدُّنْيَا إِمَامَانِ لاَ
مُتَّفِقَانِ وَلاَ مُفْتَرِقَانِ
(Imam
mazhab yang empat sepakat) bahwa tidak boleh kaum Muslim pada waktu yang sama
di seluruh dunia mempunyai dua Imam (Khalifah), baik keduanya bersepakat maupun
bermusuhan (Abdurrahman al-Jazairi, Al-Fiqh ‘ala
al-Madzahib al-Arba’ah, V/416).
Iman
an-Nawawi juga menegaskan:
وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ أَنَّهُ لاَ
يَجُوْزُأَنْ يعقِدَ لِخَلِيْفَتَيْنِ فَي عَصْرٍ وَاحِدٍ سَوَاءٌ اِتَّسَعَتْ
دَار الإِسْلاَمِ أَمْ لاَ
Para
ulama telah sepakat bahwa tidak boleh mengangkat dua orang Khalifah pada waktu
yang sama, baik Darul Islam luas maupun tidak (Imam
an-Nawawi, Syarh Muslim,
XII/232).
Ma’asyiral
Muslimin, rahimakumullah.
Pelajaran
penting lainnya dari ibadah haji adalah kesadaran akan urgensi negara Khilafah
(ahammiyah
dawlah al-Khilafah). Betapa tidak, jamaah haji akan menyaksikan,
bahwa Muslim yang datang di Tanah Suci untuk berhaji bermacam-macam asal
negerinya, bermacam-macam asal benuanya; bukan hanya dari Jazirah Arab
yang memang menjadi tanah kelahiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw.
Ada yang berasal dari Sudan, Mesir, Libia; dari benua Afrika. Ada yang berasal
dari Uzbelistan, Tajikistan dan Turkmenistan; dari Asia Tengah). Ada yang
datang Cina, Eropa, dan seterusnya.
Bagaimana
fenomena mengagumkan ini dapat dipahami? Bukankah dulu agama Islam lahir di
Jazirah Arab? Bagaimana Islam lalu dapat tersebar sedemikian luas?
Sesungguhnya, jawaban untuk itu hanya satu saja. Adanya umat Islam yang berada
di berbagai negeri di berbagai pelosok bumi terjadi karena adanya negara
Khilafah yang melakukan futuhat (penaklukan) dan aktivitas
dakwah ke seluruh dunia.
Bahkan
termasuk Walisongo yang menyebarkan dakwah di Tanah Jawa pada sekitar abad 14
atau 15 M yang lalu, juga tak lepas dari jasa Khilafah. Khilafah Utsmaniyah di
Turki-lah yang dulu berjasa besar mengirim para dai yang kelak disebut Walisongo
itu untuk menyebarkan dakwah Islam di Tanah Jawa.
Maka
dari itu, fenomena jamaah haji yang berasal dari berbagai negeri di segala
penjuru dunia itu semestinya menyadarkan kita akan urgensi Daulah Khilafah.
Sebab, salah satu urgensi Khilafah adalah mengemban risalah Islam ke seluruh
dunia, dengan dakwah dan jihad fi sabilillah. Tanpa adanya negara Khilafah yang
melakukan aktivitas dakwah dan jihad, niscaya kita tak akan menyaksikan
fenomena hebat dalam ibadah haji, yakni adanya kaum Muslim yang asal-usulnya
bukan hanya dari Jazirah Arab sebagai tempat lahirnya Islam, melainkan berasal
dari segala negeri di segala benua dunia.
Jelaslah,
negara Khilafah sangat urgen karena menjadi pelaksana aktivitas dakwah dan
jihad itu untuk menyebarkan Islam kepada seluruh umat manusia. Aktivitas
Khilafah ini sejalan dengan karakter agama Islam sebagai risalah universal
untuk semua manusia. Allah SWT berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ كَافَةً لِلنَّاسِ
بَشِيْرًا وَنَذِيْرًا وَلَكِنْ أَكْثَرُ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُوْنَ
Tidaklah
Kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan kepada seluruh umat manusia, sebagai
pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui (QS Saba` [34]: 28).
Ma’asyiral
Muslimin rahimakumullah.
Selain
urgen untuk misi dakwah dan jihad, Khilafah juga sangat urgen demi penerapan
syariah Islam. Boleh dikatakan, semua kewajiban syariah-seperti penegakan hudud,
jinayat,
pemungutan dan pendistribusian zakat, serta pelaksanaan berbagai sistem
kehidupan-bertumpu dan bergantung pada satu poros, yaitu keberadaan negara
Khilafah. Artinya, tanpa adanya Khilafah, pelaksanaan berbagai kewajiban
syariah itu tak akan mungkin terlaksana secara keseluruhan.
Ibadah
haji, tanpa negara Khilafah, memang dapat terlaksana. Namun, tetap
pelaksanaaanya menjadi kurang sempurna karena masih banyak mendapat hambatan
dan kendala tanpa Khilafah. Misalnya, urusan paspor haji. Dengan Khilafah yang
akan menghapuskan Negara-bangsa di Dunia Islam, paspor menjadi tidak relevan
dan tak dibutuhkan lagi. Sebab, orang Indonesia, Mesir, atau Sudan, tatkala
pergi ke Makkah, tak akan dianggap lagi pergi ke luar negeri, melainkan masih
perjalanan dalam negeri. Paling banter perjalanan antarpropinsi. Dengan
demikian, pengelolaan administrasi haji akan lebih sederhana dan menghemat
banyak ongkos. Mereka yang pernah naik haji, tentu sangat memahami kerepotan
administrasi yang sebenarnya tidak perlu ini.
Maka dari
itu, Khilafah jelas sangat urgen demi pelaksanaan berbagai kewajiban syariah.
Khilafah menjadi mutlak adanya. Hal ini sesuai kaidah syariah:
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ
فَهُوَواَجِبٌ
Selama
suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib
pula hukumnya.
Ma’asyiral
Muslimin rahimakumullah.
Demikianlah
sekilas pelajaran terpenting dari ibadah haji yang dapat kami sampaikan pada
kesempatan ini. Kesimpulannya, paling tidak ada dua pelajaran terpenting. Pertama:
pesan persatuan umat dalam Khilafah (wahdah al-ummah fi dawlah al-Khilafah
al-wahidah). Kedua: urgensi negara Khilafah (ahammiyah
dawlah al-Khilafah) untuk dakwah dan penerapan syariah. Kedua
pelajaran penting itu tak dapat dilepaskan dari keberadaan negara Khilafah.
Mudah-mudahan
Khilafah ‘ala
Minhaj an-Nubuwwah yang kita idam-idamkan akan berdiri sebentar
lagi. Tanda-tanda kehadirannya mulai tampak dengan terang. Gelombang perubahan
politik yang dahsyat di Timur Tengah merupakan salah satu tanda akan datangnya
negara baru itu. Para thaghut mulai berjatuhan dan
bergelimpangan. Yang masih bertahan insya Allah akan segera jatuh
menyusul teman-temannya.
Semoga
kita semua nanti masih sempat mengalami indahnya hidup di bawah naungan
Khilafah. Amin, ya Rabbal ‘Alamin.
Ma’asyiral
Muslimin rahimakummullah.
Akhirnya,
marilah kita berdoa kepada Allah SWT.
أَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَ
الْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اَْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ
وَاْلأَمْوَاتِ
نَسْأَلُكَ اَللَّهُمَّ اَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ
الْكَرِيْمَ رَبِيْعَ قُلُوْبِنَا، وَ نُوْرَ صُدُوْرِنَا، وَ جَلاَءَ
اَحْزَانِنَا، وَ ذِهَابَ هُمُوْمِنَا وَ غُمُوْمِنَا، وَ قَائِدَنَا وَ
سَائِقَنَا اِلَى رِضْوَانِكَ، اِلَى رِضْوَانِكَ وَ جَنَّاتِكَ جَنَّاتٍ
نَعِيْمٍ.
اَللَّهُمَّ اجْعَلِ الْقُرْآنَ شَفِيْعَنَا، وَ
حُجَّةً لَنَا لاَ حُجَّةً عَلَيْنَا.
أَللَّهُمَّ اغْفِرْلَنَا وَلِوَالِدَيْنَا وَ
ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانَا صِغَارًا،
اَللَّهُمَّ ارْحَمْ اُمَّةَ سَيِّدِنَا
مُحَمَّدٍ رَحْمَةً عَامَّةً تُنْجِيْهِمْ بِهَا من النَّارَ وَتُدْخِلُهُمْ بِهَا
الْجَنَّةَ
اَللَّهُمَّ اجْعَلْناَ فِي ضَمَانِكَ
وَأَمَانِكَ وَبِرِّكَ وَاِحْسَانِكَ وَاحْرُسْنَا بِعَيْنِكَ الَّتِيْ لاَ
تَناَمُ وَاحْفِظْناَ بِرُكْنِكَ الَّذِيْ لاَ يُرَامُ.
اَللَّهُمَّ يَامُنْـزِلَ الْكِتَابِ وَمُهْزِمَ
اْلأَحْزَابِ اِهْزِمِ اْليَهُوْدَ وَاَعْوَانَهُمْ وَصَلِيْبِيِّيْنَ
وَاَنْصَارَهُمْ وَرَأْسُمَالِيِّيْنَ وَاِخْوَانَهُمْ وَاِشْتِرَاكِيِّيْنَ
وَشُيُوْعِيِّيْنَ وَاَشْيَاعَهُمْ
اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ دَوْلَةَ
الْخِلاَفَةِ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ تُعِزُّ بِهَا اْلإِسْلاَمَ وَاَهْلَهُ
وَتُذِلُّ بِهَا الْكُفْرَ وَاَهْلَهُ، وَ اجْعَلْناَ مِنَ الْعَامِلِيْنَ
الْمُخْلِصِيْنَ ِلإِقَامَتِهَا
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي
اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
وَسُبْحَانَ رَبُّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا
يَصِفُوْنَ وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ
الْعَالَمِيْنَ، كُلُ عَامٍ وَ أَنْتُمْ بِخَيْرٍ.
Wassalamu
‘alaikum wr. wb.
0 komentar :
Posting Komentar
Ikhwah fillah, mohon dalam memberikan komentar menyertakan nama dan alamat blog (jika ada). Jazakumullah khairan katsir