27 September 2011

BOM SOLO: Saatnya Penguasa Koreksi Diri!

Oleh: Harits Abu Ulya
(Pemerhati Kontra-Terorisme & Direktur CIIA –The Community of Ideological Islamic Analyst-)
Isu terorisme kembali menjadi perniagaan yang dianggap menguntungkan oleh sebagian besar media. Momentumnya ada, peristiwa Bom Solo (25 September 2011) yang di lakukan oleh seseorang diduga bernama Achmad Yosepa Hayat alias Ahmad Abu Daud. Presiden juga terlihat cekatan dalam hitungan 6 jam paska ledakan, menggelar jumpa pers menjelaskan  intelijen (produk) disertai mimik yang serius, gesture tubuh yang meyakinkan, intonasi yang menahan “kemarahan”, dan tekanan intruksi untuk menggerakkan seluruh instrument aparat terkait untuk melakukan kontra-terorisme secara maksimal dan menyeluruh.Yang tidak lupa juga, Presiden sudah “memvonis” siapa pelaku dan kelompok jaringannya.Dua arus bekerja, dengan motif yang berbeda dan terkadang beririsan namun yang menjadi korban adalah sama “Islam & kelompok-kelompok Islam”.

Penulis sering ungkap dalam berbagai kesempatan (dalam tulisan dan seminar,ect); Kapan pemerintah mau belajar dan mau muhasabah diri dalam proyek kontra-terorisme? Karena sampai detik ini, secara tidak sadar pemerintah melalui aparatnya (Densus88 dan Lembaga BNPT) telah menjadi sumber dan akar kekerasan yang tidak berujung di negeri Indonesia dengan judul “terorisme”.Kenapa demikian? Ada beberapa aspek alasan yang secara obyektif perlu dikaji:
Pertama; dalam kerangka besar “Global war on terrorism” yang di kumandangkan Amerika paska runtuhnya gedung WTC, menjadikan Indonesia berada dibelakang barisan Amerika.Ini terbukti dengan lahirnya UU Terorisme No 15 Tahun 2003, kemudian juga lahirnya Detasemen 88 yang awal terbentuknya Amerika cs mensuport habis baik teknis dan dananya. Bahkan sampai detik ini, masih terlihat benang merah adanya satu rangkaian upaya penguatan legal frame untuk memperkokoh proyek “war on terrorism” dalam konteks domestic.Misalkan di DPR saat ini in progress RUU Kamnas, RUU Intelijen, dan juga sudah di wacanakan perlunya revisi UU terorisme dan UU Keormasan. Begitupun melalui BNPT sudah di usulkan perlunya pengadilan khusus Tipeter (tindak pidana terorisme).
Namun sangat disayangkan, Indonesia sikap politiknya tidak obyektif dan proporsional. Mengabaikan konstalasi politik global, dimana Amerika menjadi episentrum lahirnya ketidakstabilan di negeri-negeri Islam.Sikap politik arogan imperialis AS tidak pernah menjadi catatan atau kritik dari Indonesia, justru seolah mengaminkan semua tindakan Amerika dengan tanpa koreksi. Langkah arogan AS-lah yang menstimulasi perlawanan-perlawanan dipusat pergolakan, atau bahkan perlawanan sporadis dengan berbagai bentuk dan tehniknya di luar wilayah pergolakan.Secara sosiologis, di negeri Indonesia realitas yang tidak bisa dipungkiri mayoritas penghuninya adalah muslim.Sikap “care” atas penderitaan saudara muslim lainya, dengan sedikit ditopang kesadaran politik atas konstelasi politik global akan menjadi spirit bagi orang atau kelompok tertentu untuk melakukan pembelaan dengan cara mereka.
Begitu pula, Indonesia seolah menutup mata adanya inflintrasi intelijen asing yang melakukan operasi pematangan dari proyek Global War On Terrorism. Dari sejak peristiwa bom Bali, sudah banyak tercium jejak operasi intelijen asing dan bahkan tekanan-tekanan Asing (AS) terhadap pemerintah Indonesia agar bisa segendang seirama dengan skenario mereka. Fakta seperti ini menjadikan sebagian kelompok muslim meposisikan dirinya pada kutub bersebrangan dengan pemerintah, disamping merasa terdzalimi karena pilihan mereka “melawan” di ranah domestik dipolitisir untuk menyudutkan Islam dan kaum muslimin. Dan perkara diatas seolah tidak disadari oleh pemerintah Indonesia dimana posisi kekeliruan, malah sebaliknya membabi buta menyudutkan kelompok muslim tertentu dan menyalahkan Islam sebagai ideology.
Kedua; dari proyek war on terrorism melahirkan turunan-turunan langkah yang dilakukan aparat Densus88 sesuatu yang “luar biasa”.Sejak operasi pemburuan di mulai hingga tahun 2011, sudah 650 orang lebih di tangkap dan di tahan. Bahkan lebih dari 50 orang tewas dalam berbagai aksi penggrebekan. Banyak orang ditangkap hanya karena sangkaan, dugaan, dan banyak orang tewas diluar proses hukum peradilan (extra judicial killing). Dalam catatan evaluasi Komnas HAM akhir tahun 2010; Densus88 banyak melakukan pelanggaran HAM secara serius. Bukankah dalam UU Terorisme no 15 tahun 2003, amanahnya adalah penahanan dan di adili? Bukan di grebek dan di eksekusi. Bukan ditembak ditempat hanya dengan asumsi obyek sangat membahayakan. Jika operasi dengan target mati, mungkin lebih cocok kalau yang  terlibat dalam operasi kontra-terorisme adalah Militer(TNI), bukan aparat kepolisian. Tapi hari ini masyarakat melihat logika-logika langkah yang terbalik dan merancukan semua aturan serta prosedur.
Cara-cara hard power untuk mengikis terorisme  terbukti banyak melahirkan korban, bahkan keluarga mereka yang tidak tersangkutpun menjadi korban (dengan hukuman sosial dari masyarakat sekitar). Dan cara-cara yang tidak proporsional (cenderung arogan) melahirkan sikap “dendam” dan antipasti dari kelompok korban. Bahkan semua tindakan “arogan” tersebut menjadi dasar legitimasi kelompok “teroris” makin massif untuk melakukan perlawanan sampai batas kemampuan yang mereka miliki. Baik operasional lapangnya bersama-sama atau sendiri-sendiri.
Di sisi lain, kedzaliman-kedzaliman yang ditampilkan secara arogan oleh aparat dan pengadilan-pengadilan yang sarat dengan rakayasa dalam kasus terorisme menjadi stimulus tersendiri lahirnya kekerasan baru. Banyak individu yang empati atas nasib saudaranya yang terdzalimi. Cara empatinya di ekspresikan dalam bentuk perlawanan, baik sendiri atau kemudian mengabungkan diri bersama tandzim yang ada. Atau mengispirasi untuk membentuk tandzim baru yang dihimpun didalamnya orang-orang baru dengan spirit yang sama dengan visi perlawanan yang sama. Ini terlihat jelas dari pelaku-pelaku baru yang mereka tidak terkait dengan jihad di Afghanistan pada masa lampau, jihad Ambon dan Poso.
Langkah pemerintah melalui aparatnya ini juga seolah tidak di sadari sama sekali telah menjadi sumber dan lahirnya siklus kekerasan yang tidak berujung.
Ketiga; ditataran soft power yang saat ini menjadi fokus banyak instrument pemerintah juga melahirkan masalah tersendiri. Lebih-lebih paska terbentuknya BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) yang di ketuai Ansyad Mbai. Karena langkah soft power dalam bentuk proyek penguatan legal frame dan deradikalisasi, mengandung muatan yang sangat sensitive terhadap umat Islam. Bahkan cara-cara implementasi proyek deradikalisasi kurang “makruf”.
Sekarang ramai di bicarakan RUU Intelijen, satu piranti penting yang bisa memberi dukungan kontra-terorisme secara maksimal memuat substansi pasal-pasal yang sangat bermasalah dan rentan terjadinya “abuse of power”.Bahkan akan membungkam siapa saja yang bersebrangan dengan status quo hanya dengan alasan atau asumsi subyektif yaitu membahayakan keamanan nasional.
Deradikalisasi yang dikomandoi BNPT dengan anggaran 90 Miliar rupiah dan tahun depan di usulkan 126 Miliar rupiah, melahirkan kritik dan kontraksi internal umat Islam. Dengan cara pandang dan paradigma sekuler yang di miliki BNPT, kemudian menebar persepsi dan paradigma tentang akar terorisme dan solusinya. Intinya, Islam Iedologilah atau Islam Fundamentalis radikal yang dituduh menjadi akar terorisme di negeri Indonesia. Dan dalam pandangan BNPT perlunya dikembangan Islam Rahmatan (bahasa halus dari keyakinan liberal dan moderat sebagai seorang muslim).Akhirnya mereka mengenalkan definisi-definisi baru terhadap Islam dalam level pokok atau perkara cabangnya. Menggelar berbagai workshop, seminar, talkshow, dan semisalnya untuk menebarkan pandangan sekuler ala BNPT, dengan mengandeng NGO-NGO atau ormas yang ada atau bahkan mencatut MUI secara illegal untuk melaksanakan Halqoh Nasional Penanggulangan Terorisme diberbagai kota.
Perkara dan langkah ini juga, dengan sengaja atau tidak bahwa pemerintah telah membuat polarisasi kehidupan sosial politik masyarakat Indonesia (khususnya umat Islam).Sebuah cara “dialog” yang tidak fair, akan melahirkan kecurigaan terhadap motif dan semua langkah yang dilakukan oleh pemerintah.Mengkritaskan perlawanan dari jiwa-jiwa yang labil minim pemahaman terhadap kaidah-kaidah perubahan dan perlawanan secara syar’i.
Keempat; pemerintah dan media masa sekuler seperti setali tiga uang,media kompak untuk berteriak menjadi corong proyek kontra-terorisme.Tanpa lagi melakukan kajian elaborative dan holistic terhadap fenomena terorisme. Jika ada media yang investigative, faktanya penulis menemukan “deal” transaksi data-data aparat plus paradigmanya dengan pihak media tersebut, kemudian di ekspos plus vonis-vonis tendensiusnya. Media membranding isu terorisme dengan menjadikan para pengamat (tepatnya:komentator pesanan), untuk mematangkan opini dan isu dan mengkonstruksi persepsi masyarakat mengarah kepada kesimpulan tertentu.
Betapa timpangnya media melihat isu seksi “terorisme”, begitu gegabahnya media menghakimi dan mengarahkan persepsi masyarakat kepada kesimpulan-kesimpulan premature.Lihatlah, bagaimana orang membuat bom selevel petasan kemudian opini di giring bahwa NKRI, dan pilar-pilar bangsa yang ada dalam ancaman serius. Bahkan “teroris” hendak mengganti NKRI menjadi negara Islam. Atau bopengnya media terlihat dari kasus terbaru, rusuh Ambon paska Idul fitri kemarin. Seolah Media sekuler bungkam seribu bahasa, tapi ganti kasus  menimpa kepada penganut minoritas (Kristen) di negeri ini mereka berteriak menggonggong secara massif. Apakah karena di Ambon yang menjadi korban adalah umat Islam? Dan apakah karena di Solo korban luka-lukanya orang Kristen? Tentu media akan bersilat lidah menjawab tidak, tapi fakta tindakan dan sikap media jelas-jelas tidak berimbang dan tidak lagi bisa obyektif. Apakah kita sadar dalam kontek isu terorisme media telah menjadi salah satu pemicu munculnya “teroris-teroris” baru. Bagaimana tidak, ekspos secara fulgar operasi aparat yang ditampakkan bak jagoan “Rambo”, tapi semua orang muslim Indonesia “ngeh” bahwa itu arogansi dan kedzaliman. Dan ini menjadi catatan alam bawah sadar untuk generasi Islam, pada kesempatan mendatang mereka akan teriak “melawan” ketika akumulasi kedzaliman yang mereka saksikan sudah overload di benak dan perasaan mereka.
Sikap penguasa juga tidak jauh beda dengan media. Melalui Presiden SBY, kesannya terlalu sumbang menyikapi Bom Petasan di Solo.Justru langkah sigap ditengah carut marut dan bopengnya pemerintahan SBY yang di jerat kasus korupsi dan intrik-intrik politik lainya, dimaknai lain. Teori konspirasi banyak tersingkap di kemudian hari di negeri ini, dan masyarakat juga percaya dengan logika sederhana bahwa bom Solo kali ini bisa jadi produk operasi intelijen. Artinya, ada upaya pengalihan isu dari bobroknya pemerintah dan partai penguasa dengan kasus korupsinya (bahkan cenderung mendelegitimasi status quo) kepada isu terorisme. Seolah isu terorisme selalu menjadi tumbal untuk menutupi rusaknya sistem dan para penguasanya. Atau bahkan ada pihak-pihak yang bermain dengan motif politik lainya, missal; menjadi penguatan untuk melegislasi RUU Intelijen, atau memelihara proyek War On Terrorism yang di komandani oleh BNPT. Kenapa tidak?
Dan penulis menegaskan ulang; kalau realitas diatas terus saja di pelihara maka siapa sebenarnya yang menjadi sumber dan akar siklus kekerasan yang tidak berujung ini? Apakah akan terus-terusan Islam Ideologi (Islamis) yang dikambing hitamkan untuk menerima semua kesalahan? Apakah para pengusung syariat dan ideologi jihad yang akan di salahkan? Dan sangat aneh lagi, yang menuduh dan menyudutkan Islam dan umatnya adalah anak dan cucu umat Islam sendiri.
Kenapa pemerintah tidak pernah berbenah diri dalam sikap politik luar negeri dan domestiknya yang ramah terhadap kepentingan umat Islam? Nota bene mereka adalah mayoritas penghuni negeri ini. Kenapa pemerintah tidak sigap dan serius menciptakan keadilan dan kesejahteraan untuk rakyat ini? Justru loyalitas dan kepentingan Asing di negeri ini lebih dominan. Dan Kenapa pemerintah membisu terhadap VOC-VOC gaya baru sekarang? Benar memang, Amerika cs tidak menjajah secara fisik, tapi banyak aspek (dalam bidang;politik, ekonomi, pendidikan, budaya, hukum dan lainya) negeri ini dikelola mengikuti arahan dan kepentingan asing (Amerika).
Penulis (dalam hati kecil terkadang memaklumi), tidak bisa berharap banyak kepada para penguasa di negeri ini untuk bisa mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi umat Islam di negeri ini. Kenapa?, karena ideologi sistem yang dipakai adalah sistem sekuler-liberal dan sistem politiknya adalah demokrasi.Justru dalam berbagai kajian empirik, inilah yang menjadi akar carut marutnya negeri Indonesia termasuk negara pengusungnya (Amerika cs).Sistem ini telah melahirkan krisis permanen dan periodik.Ditambah lagi pejabat yang tidak amanah, dengan mekanisme sistem politik demokrasi mereka tersandra oleh uang dan kepentingan kelompok.
Wajar jika sampai hari ini isu terorisme dan kontra-terorisme baik di ranah global atau domestik, hanya menjadi kedok dan tumbal dari kepentingan-kepentingan pragmatis para opuntunir lokal dan imperialisme global. Dan sekaligus dijadikan alat untuk memberangus (dengan cara hard power maupun soft power) setiap gejolak kebangkitan (islam ideologis) yang akan meruntuhkan dominasinya pada masa yang akan datang.
Dan jika bom-bom terus meletup, kita mengerti siapa yang sesungguhnya berkontribusi. Saatnya penguasa (pemerintah) berbenah diri, megevaluasi tiap jengkal langkahnya dalam isu terorisme sebelum di runtuhkan oleh umat Islam dan di berikan balasan setimpal oleh  Allah swt. Wallahu a’lam bishowab
Sumber: http://www.facebook.com/notes/harits-abu-ulya/bom-solo-saatnya-pemerintah-evaluasi-diri/224991400892214

Print Friendly and PDF

Ditulis Oleh : Muhammad Tohir // 08.18
Kategori:

0 komentar :

Posting Komentar

Ikhwah fillah, mohon dalam memberikan komentar menyertakan nama dan alamat blog (jika ada). Jazakumullah khairan katsir

 
Semua materi di Blog Catatan Seorang Hamba sangat dianjurkan untuk dicopy, dan disebarkan demi kemaslahatan ummat. Dan sangat disarankan untuk mencantumkan link ke Blog Catatan Seorang Hamba ini sebagai sumber. Untuk pembaca yang ingin melakukan kontak bisa menghubungi di HP: 082256352680.
Jazakumullah khairan katsir.