Oleh: Harits Abu Ulya
(Pemerhati Kontra-Terorisme & Direktur CIIA –The Community of Ideological Islamic Analyst-)
Isu
terorisme kembali menjadi perniagaan yang dianggap menguntungkan oleh
sebagian besar media. Momentumnya ada, peristiwa Bom Solo (25 September
2011) yang di lakukan oleh seseorang diduga bernama Achmad Yosepa Hayat
alias Ahmad Abu Daud. Presiden juga terlihat cekatan dalam hitungan 6
jam paska ledakan, menggelar jumpa pers menjelaskan intelijen (produk)
disertai mimik yang serius, gesture tubuh yang meyakinkan, intonasi yang
menahan “kemarahan”, dan tekanan intruksi untuk menggerakkan seluruh
instrument aparat terkait untuk melakukan kontra-terorisme secara
maksimal dan menyeluruh.Yang tidak lupa juga, Presiden sudah “memvonis”
siapa pelaku dan kelompok jaringannya.Dua arus bekerja, dengan motif
yang berbeda dan terkadang beririsan namun yang menjadi korban adalah
sama “Islam & kelompok-kelompok Islam”.
Penulis sering ungkap
dalam berbagai kesempatan (dalam tulisan dan seminar,ect); Kapan
pemerintah mau belajar dan mau muhasabah diri dalam proyek
kontra-terorisme? Karena sampai detik ini, secara tidak sadar pemerintah
melalui aparatnya (Densus88 dan Lembaga BNPT) telah menjadi sumber dan
akar kekerasan yang tidak berujung di negeri Indonesia dengan judul
“terorisme”.Kenapa demikian? Ada beberapa aspek alasan yang secara
obyektif perlu dikaji:
Pertama; dalam kerangka
besar “Global war on terrorism” yang di kumandangkan Amerika paska
runtuhnya gedung WTC, menjadikan Indonesia berada dibelakang barisan
Amerika.Ini terbukti dengan lahirnya UU Terorisme No 15 Tahun 2003,
kemudian juga lahirnya Detasemen 88 yang awal terbentuknya Amerika cs
mensuport habis baik teknis dan dananya. Bahkan sampai detik ini, masih
terlihat benang merah adanya satu rangkaian upaya penguatan legal frame
untuk memperkokoh proyek “war on terrorism” dalam konteks
domestic.Misalkan di DPR saat ini in progress RUU Kamnas, RUU Intelijen,
dan juga sudah di wacanakan perlunya revisi UU terorisme dan UU
Keormasan. Begitupun melalui BNPT sudah di usulkan perlunya pengadilan
khusus Tipeter (tindak pidana terorisme).
Namun sangat
disayangkan, Indonesia sikap politiknya tidak obyektif dan proporsional.
Mengabaikan konstalasi politik global, dimana Amerika menjadi
episentrum lahirnya ketidakstabilan di negeri-negeri Islam.Sikap politik
arogan imperialis AS tidak pernah menjadi catatan atau kritik dari
Indonesia, justru seolah mengaminkan semua tindakan Amerika dengan tanpa
koreksi. Langkah arogan AS-lah yang menstimulasi perlawanan-perlawanan
dipusat pergolakan, atau bahkan perlawanan sporadis dengan berbagai
bentuk dan tehniknya di luar wilayah pergolakan.Secara sosiologis, di
negeri Indonesia realitas yang tidak bisa dipungkiri mayoritas
penghuninya adalah muslim.Sikap “care” atas penderitaan saudara muslim
lainya, dengan sedikit ditopang kesadaran politik atas konstelasi
politik global akan menjadi spirit bagi orang atau kelompok tertentu
untuk melakukan pembelaan dengan cara mereka.
Begitu pula,
Indonesia seolah menutup mata adanya inflintrasi intelijen asing yang
melakukan operasi pematangan dari proyek Global War On Terrorism. Dari
sejak peristiwa bom Bali, sudah banyak tercium jejak operasi intelijen
asing dan bahkan tekanan-tekanan Asing (AS) terhadap pemerintah
Indonesia agar bisa segendang seirama dengan skenario mereka. Fakta
seperti ini menjadikan sebagian kelompok muslim meposisikan dirinya pada
kutub bersebrangan dengan pemerintah, disamping merasa terdzalimi
karena pilihan mereka “melawan” di ranah domestik dipolitisir untuk
menyudutkan Islam dan kaum muslimin. Dan perkara diatas seolah tidak
disadari oleh pemerintah Indonesia dimana posisi kekeliruan, malah
sebaliknya membabi buta menyudutkan kelompok muslim tertentu dan
menyalahkan Islam sebagai ideology.
Kedua; dari
proyek war on terrorism melahirkan turunan-turunan langkah yang
dilakukan aparat Densus88 sesuatu yang “luar biasa”.Sejak operasi
pemburuan di mulai hingga tahun 2011, sudah 650 orang lebih di tangkap
dan di tahan. Bahkan lebih dari 50 orang tewas dalam berbagai aksi
penggrebekan. Banyak orang ditangkap hanya karena sangkaan, dugaan, dan
banyak orang tewas diluar proses hukum peradilan (extra judicial
killing). Dalam catatan evaluasi Komnas HAM akhir tahun 2010; Densus88
banyak melakukan pelanggaran HAM secara serius. Bukankah dalam UU
Terorisme no 15 tahun 2003, amanahnya adalah penahanan dan di adili?
Bukan di grebek dan di eksekusi. Bukan ditembak ditempat hanya dengan
asumsi obyek sangat membahayakan. Jika operasi dengan target mati,
mungkin lebih cocok kalau yang terlibat dalam operasi kontra-terorisme
adalah Militer(TNI), bukan aparat kepolisian. Tapi hari ini masyarakat
melihat logika-logika langkah yang terbalik dan merancukan semua aturan
serta prosedur.
Cara-cara hard power untuk mengikis terorisme
terbukti banyak melahirkan korban, bahkan keluarga mereka yang tidak
tersangkutpun menjadi korban (dengan hukuman sosial dari masyarakat
sekitar). Dan cara-cara yang tidak proporsional (cenderung arogan)
melahirkan sikap “dendam” dan antipasti dari kelompok korban. Bahkan
semua tindakan “arogan” tersebut menjadi dasar legitimasi kelompok
“teroris” makin massif untuk melakukan perlawanan sampai batas kemampuan
yang mereka miliki. Baik operasional lapangnya bersama-sama atau
sendiri-sendiri.
Di sisi lain, kedzaliman-kedzaliman yang
ditampilkan secara arogan oleh aparat dan pengadilan-pengadilan yang
sarat dengan rakayasa dalam kasus terorisme menjadi stimulus tersendiri
lahirnya kekerasan baru. Banyak individu yang empati atas nasib
saudaranya yang terdzalimi. Cara empatinya di ekspresikan dalam bentuk
perlawanan, baik sendiri atau kemudian mengabungkan diri bersama tandzim
yang ada. Atau mengispirasi untuk membentuk tandzim baru yang dihimpun
didalamnya orang-orang baru dengan spirit yang sama dengan visi
perlawanan yang sama. Ini terlihat jelas dari pelaku-pelaku baru yang
mereka tidak terkait dengan jihad di Afghanistan pada masa lampau, jihad
Ambon dan Poso.
Langkah pemerintah melalui aparatnya ini juga
seolah tidak di sadari sama sekali telah menjadi sumber dan lahirnya
siklus kekerasan yang tidak berujung.
Ketiga;
ditataran soft power yang saat ini menjadi fokus banyak instrument
pemerintah juga melahirkan masalah tersendiri. Lebih-lebih paska
terbentuknya BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) yang di
ketuai Ansyad Mbai. Karena langkah soft power dalam bentuk proyek
penguatan legal frame dan deradikalisasi, mengandung muatan yang sangat
sensitive terhadap umat Islam. Bahkan cara-cara implementasi proyek
deradikalisasi kurang “makruf”.
Sekarang ramai di bicarakan RUU
Intelijen, satu piranti penting yang bisa memberi dukungan
kontra-terorisme secara maksimal memuat substansi pasal-pasal yang
sangat bermasalah dan rentan terjadinya “abuse of power”.Bahkan akan
membungkam siapa saja yang bersebrangan dengan status quo hanya dengan
alasan atau asumsi subyektif yaitu membahayakan keamanan nasional.
Deradikalisasi
yang dikomandoi BNPT dengan anggaran 90 Miliar rupiah dan tahun depan
di usulkan 126 Miliar rupiah, melahirkan kritik dan kontraksi internal
umat Islam. Dengan cara pandang dan paradigma sekuler yang di miliki
BNPT, kemudian menebar persepsi dan paradigma tentang akar terorisme dan
solusinya. Intinya, Islam Iedologilah atau Islam Fundamentalis radikal
yang dituduh menjadi akar terorisme di negeri Indonesia. Dan dalam
pandangan BNPT perlunya dikembangan Islam Rahmatan (bahasa halus dari
keyakinan liberal dan moderat sebagai seorang muslim).Akhirnya mereka
mengenalkan definisi-definisi baru terhadap Islam dalam level pokok atau
perkara cabangnya. Menggelar berbagai workshop, seminar, talkshow, dan
semisalnya untuk menebarkan pandangan sekuler ala BNPT, dengan
mengandeng NGO-NGO atau ormas yang ada atau bahkan mencatut MUI secara
illegal untuk melaksanakan Halqoh Nasional Penanggulangan Terorisme
diberbagai kota.
Perkara dan langkah ini juga, dengan sengaja atau
tidak bahwa pemerintah telah membuat polarisasi kehidupan sosial
politik masyarakat Indonesia (khususnya umat Islam).Sebuah cara “dialog”
yang tidak fair, akan melahirkan kecurigaan terhadap motif dan semua
langkah yang dilakukan oleh pemerintah.Mengkritaskan perlawanan dari
jiwa-jiwa yang labil minim pemahaman terhadap kaidah-kaidah perubahan
dan perlawanan secara syar’i.
Keempat; pemerintah
dan media masa sekuler seperti setali tiga uang,media kompak untuk
berteriak menjadi corong proyek kontra-terorisme.Tanpa lagi melakukan
kajian elaborative dan holistic terhadap fenomena terorisme. Jika ada
media yang investigative, faktanya penulis menemukan “deal” transaksi
data-data aparat plus paradigmanya dengan pihak media tersebut, kemudian
di ekspos plus vonis-vonis tendensiusnya. Media membranding isu
terorisme dengan menjadikan para pengamat (tepatnya:komentator pesanan),
untuk mematangkan opini dan isu dan mengkonstruksi persepsi masyarakat
mengarah kepada kesimpulan tertentu.
Betapa timpangnya media
melihat isu seksi “terorisme”, begitu gegabahnya media menghakimi dan
mengarahkan persepsi masyarakat kepada kesimpulan-kesimpulan
premature.Lihatlah, bagaimana orang membuat bom selevel petasan kemudian
opini di giring bahwa NKRI, dan pilar-pilar bangsa yang ada dalam
ancaman serius. Bahkan “teroris” hendak mengganti NKRI menjadi negara
Islam. Atau bopengnya media terlihat dari kasus terbaru, rusuh Ambon
paska Idul fitri kemarin. Seolah Media sekuler bungkam seribu bahasa,
tapi ganti kasus menimpa kepada penganut minoritas (Kristen) di negeri
ini mereka berteriak menggonggong secara massif. Apakah karena di Ambon
yang menjadi korban adalah umat Islam? Dan apakah karena di Solo korban
luka-lukanya orang Kristen? Tentu media akan bersilat lidah menjawab
tidak, tapi fakta tindakan dan sikap media jelas-jelas tidak berimbang
dan tidak lagi bisa obyektif. Apakah kita sadar dalam kontek isu
terorisme media telah menjadi salah satu pemicu munculnya
“teroris-teroris” baru. Bagaimana tidak, ekspos secara fulgar operasi
aparat yang ditampakkan bak jagoan “Rambo”, tapi semua orang muslim
Indonesia “ngeh” bahwa itu arogansi dan kedzaliman. Dan ini menjadi
catatan alam bawah sadar untuk generasi Islam, pada kesempatan mendatang
mereka akan teriak “melawan” ketika akumulasi kedzaliman yang mereka
saksikan sudah overload di benak dan perasaan mereka.
Sikap
penguasa juga tidak jauh beda dengan media. Melalui Presiden SBY,
kesannya terlalu sumbang menyikapi Bom Petasan di Solo.Justru langkah
sigap ditengah carut marut dan bopengnya pemerintahan SBY yang di jerat
kasus korupsi dan intrik-intrik politik lainya, dimaknai lain. Teori
konspirasi banyak tersingkap di kemudian hari di negeri ini, dan
masyarakat juga percaya dengan logika sederhana bahwa bom Solo kali ini
bisa jadi produk operasi intelijen. Artinya, ada upaya pengalihan isu
dari bobroknya pemerintah dan partai penguasa dengan kasus korupsinya
(bahkan cenderung mendelegitimasi status quo) kepada isu terorisme.
Seolah isu terorisme selalu menjadi tumbal untuk menutupi rusaknya
sistem dan para penguasanya. Atau bahkan ada pihak-pihak yang bermain
dengan motif politik lainya, missal; menjadi penguatan untuk melegislasi
RUU Intelijen, atau memelihara proyek War On Terrorism yang di
komandani oleh BNPT. Kenapa tidak?
Dan penulis menegaskan ulang;
kalau realitas diatas terus saja di pelihara maka siapa sebenarnya yang
menjadi sumber dan akar siklus kekerasan yang tidak berujung ini? Apakah
akan terus-terusan Islam Ideologi (Islamis) yang dikambing hitamkan
untuk menerima semua kesalahan? Apakah para pengusung syariat dan
ideologi jihad yang akan di salahkan? Dan sangat aneh lagi, yang menuduh
dan menyudutkan Islam dan umatnya adalah anak dan cucu umat Islam
sendiri.
Kenapa pemerintah tidak pernah berbenah diri dalam sikap
politik luar negeri dan domestiknya yang ramah terhadap kepentingan umat
Islam? Nota bene mereka adalah mayoritas penghuni negeri ini. Kenapa
pemerintah tidak sigap dan serius menciptakan keadilan dan kesejahteraan
untuk rakyat ini? Justru loyalitas dan kepentingan Asing di negeri ini
lebih dominan. Dan Kenapa pemerintah membisu terhadap VOC-VOC gaya baru
sekarang? Benar memang, Amerika cs tidak menjajah secara fisik, tapi
banyak aspek (dalam bidang;politik, ekonomi, pendidikan, budaya, hukum
dan lainya) negeri ini dikelola mengikuti arahan dan kepentingan asing
(Amerika).
Penulis (dalam hati kecil terkadang memaklumi), tidak
bisa berharap banyak kepada para penguasa di negeri ini untuk bisa
mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi umat Islam di negeri ini.
Kenapa?, karena ideologi sistem yang dipakai adalah sistem
sekuler-liberal dan sistem politiknya adalah demokrasi.Justru dalam
berbagai kajian empirik, inilah yang menjadi akar carut marutnya negeri
Indonesia termasuk negara pengusungnya (Amerika cs).Sistem ini telah
melahirkan krisis permanen dan periodik.Ditambah lagi pejabat yang tidak
amanah, dengan mekanisme sistem politik demokrasi mereka tersandra oleh
uang dan kepentingan kelompok.
Wajar jika sampai hari ini isu
terorisme dan kontra-terorisme baik di ranah global atau domestik, hanya
menjadi kedok dan tumbal dari kepentingan-kepentingan pragmatis para
opuntunir lokal dan imperialisme global. Dan sekaligus dijadikan alat
untuk memberangus (dengan cara hard power maupun soft power) setiap
gejolak kebangkitan (islam ideologis) yang akan meruntuhkan dominasinya
pada masa yang akan datang.
Dan jika bom-bom terus meletup, kita
mengerti siapa yang sesungguhnya berkontribusi. Saatnya penguasa
(pemerintah) berbenah diri, megevaluasi tiap jengkal langkahnya dalam
isu terorisme sebelum di runtuhkan oleh umat Islam dan di berikan
balasan setimpal oleh Allah swt. Wallahu a’lam bishowab
Sumber: http://www.facebook.com/notes/harits-abu-ulya/bom-solo-saatnya-pemerintah-evaluasi-diri/224991400892214
Sumber: http://www.facebook.com/notes/harits-abu-ulya/bom-solo-saatnya-pemerintah-evaluasi-diri/224991400892214
0 komentar :
Posting Komentar
Ikhwah fillah, mohon dalam memberikan komentar menyertakan nama dan alamat blog (jika ada). Jazakumullah khairan katsir