[Al Islam 540] Pemerintah selama ini sering mengklaim bahwa APBN disusun untuk menciptakan sebanyak mungkin lapangan pekerjaan, mengentaskan kemiskinan, menciptakan pertumbuhan yang tinggi dan mendukung kelestarian lingkungan.
Namun nyatanya, besaran APBN justru lebih untuk kepentingan birokrat, politisi dan Pemerintah.
Dari hasil analisis Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) terhadap APBN 2011, ditemukan data bahwa anggaran ‘pelesiran’ Pemerintah pada 2011 membengkak: dari rencana Rp 20,9 triliun dalam RAPBN 2011 menjadi Rp 24,5 triliun dalam realisasi APBN 2011.Menurut FITRA, Pemerintah terkesan hendak menyembunyikan hal itu. ”Belanja perjalanan yang biasanya diuraikan pada nomenklatur belanja barang, pada dokumen Data Pokok APBN 2011 tidak lagi dicantumkan. Rupanya, untuk menghindari kritik masyarakat atas membengkaknya belanja perjalanan, Pemerintah justru menutupi belanja perjalanan ini,” tegas Sekjen FITRA, Yuna Farhan.
Menurut Yuna, belanja perjalanan adalah belanja yang terus membengkak setiap tahunnya. Dalam APBN 2009, misalnya, alokasi belanja perjalanan ‘hanya’ Rp 2,9 triliun. Namun, dalam APBN-P 2009 melonjak menjadi Rp 12,7 triliun, bahkan dalam realisasinya membengkak menjadi Rp 15,2 triliun. Lalu dalam APBN 2010, Pemerintah menetapkan anggaran perjalanan Rp 16,2 triliun, kemudian membengkak menjadi Rp 19,5 triliun dalam APBN-P (Republika, 17/1/2011).
Membengkaknya anggaran belanja perjalanan di APBN 2011 ini bukan semata karena peran Pemerintah, tetapi DPR. Pasalnya, RAPBN 2011 yang diajukan Pemeritah harus mendapat persetujuan DPR hingga bisa disahkan menjadi APBN 2011. Selama ini para anggota DPR memperlihatkan salah satu hobi mereka: pelesiran, meski dengan judul “studi banding”, dengan dana miliaran rupiah.
Sebagaimana diketahui, belanja perjalanan selama ini menjadi lahan subur penghasilan baru pejabat. Berdasarkan hasil audit BPK pada Semester I 2010, belanja perjalanan adalah belanja yang paling banyak mengalami penyimpangan. Setidaknya ditemukan penyimpangan anggaran perjalanan dinas di 35 kementerian/lembaga senilai Rp 73,5 miliar. Angka penyimpangan sebenarnya diyakini jauh lebih besar dari angka itu mengingat audit yang dilakukan oleh BPK beluk secara menyeluruh dan detil. Selain biaya perjalanan, pada tahun ini juga ada rencana pembelian mobil dinas dengan total mencapai Rp 32,572 miliar, selain biaya perawatan gedung yang mencapai Rp 6,1 triliun.
Di sisi lain, DPR telah memutuskan tetap membangun gedung baru. Gedung baru itu akan dibangun 36 lantai dengan luas sekitar 161.000 meter persegi dengan biaya Rp 1,3 triliun.
Mengabaikan Rakyat
Berbagai kenyataan di atas menunjukkan bahwa keuangan negara yang seharusnya dibelanjakan untuk sebesar-besarnya kemaslahatan rakyat, justru banyak digunakan untuk fasilitas dan kepentingan birokrat, politisi dan Pemerintah. Jumlah anggaran perjalanan di atas, misalnya, jauh lebih besar dari jumlah anggaran Jamkesmas 2011 yang hanya sebesar Rp 5,6 triliun. Bahkan menurut analisis FITRA, Pemerintah justru memangkas belanja fungsi kesehatan dari 19,8 triliun Rupiah di APBN P 2010 menjadi 13,6 triliun Rupiah di APBN 2011. Anggaran yang dialokasikan untuk menanggulangi gizi buruk pada balita hanya Rp 209,5 miliar. Padahal dari berbagai data, di Indonesia terdapat 4,1 juta balita yang mengalami gizi buruk. Artinya, untuk satu balita hanya dialokasikan sekitar Rp 50 ribuan/balita/tahun atau sekitar Rp 4 ribuan/balita/bulan.
Sebagaimana diketahui, pada akhir tahun 2010 tercatat masih ada sebanyak 31,02 juta jiwa penduduk miskin di negeri ini. Bisa jadi kondisi mereka sangat mengenaskan seperti yang terjadi pada enam orang bersaudara dari Desa Jebol, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, yang meninggal dunia akibat keracunan makanan tiwul yang terbuat dari bahan ketela pohon yang terpaksa mereka konsumsi karena kemiskinan dan minimnya pendapatan mereka.
Di sisi lain, dengan alasan untuk menghemat anggaran, Pemerintah memutuskan melakukan pembatasan BBM bersubsidi. Padahal, seperti yang diprediksi oleh BPS, pembatasan BBM bersubsidi itu pasti menyebabkan kenaikan harga barang atau inflasi. Ujung-ujungnya rakyat secara umum jugalah yang harus menanggung akibatnya.
Menutup Defisit dengan Utang
Besarnya biaya perjalanan dan fasilitas birokrasi, pejabat dan politisi itu semestinya bisa dipangkas sehingga setidaknya akan mengurangi defisit APBN. Selama ini defisit APBN itu selalu ditutupi oleh Pemerintah dengan mencari utang. Tahun ini pun Pemerintah berencana menerbitkan surat utang hingga 200 triliun. Padahal menurut data Utang Luar Indonesia yang diterbitkan oleh Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia (BI), tercatat hingga September 2010, utang Indonesia sudah mencapai US$ 194,349 miliar (setara Rp 1.755 triliun dengan kurs Rp 9000 perdolar AS). (Detikfinance.com, 9/1/2011).
Tentu utang itu harus dibayar dengan uang APBN yang notabene adalah uang rakyat karena hampir 80% APBN berasal dari pajak yang dipungut langsung dari rakyat dan pendapatan dari kekayaan alam yang juga adalah milik rakyat. Di dalam APBN 2011, pembayaran utang negara (cicilan pokok+bunga utang) meningkat menjadi Rp 247 triliun. Jumlah ini naik Rp 10 triliun dibandingkan tahun 2010. Pembayaran utang tersebut menghabiskan pendapatan negara yang seharusnya digunakan untuk rakyat, misalnya saja untuk anggaran subsidi pendidikan dan bahan bakar minyak (BBM).
Pragmatisme Ekonomi
Besarnya biaya perjalanan dan fasilitas untuk birokrasi, pejabat dan politisi ini adalah cermin dari pandangan ekonomi Pemerintah seperti yang diungkapkan oleh Presiden SBY: pragmatisme. Menurut Pengamat Kebijakan Publik Ichsanuddin Noorsy, pragmatisme adalah ‘ideologi’ yang membuat penganutnya tak mau bersusah payah. Ujung dari pragmatisme adalah keuntungan individu sebagai segala-galanya. “Jadi pusat kegiatan ekonominya adalah keuntungan pribadi, bukan kesejahteraan bersama!” (Mediaumat.com, 4/1/2011).
Lebih dari itu, itulah buah dari ideologi Kapitalisme-sekular yang dianut dan diterapkan di negeri ini. Ideologi itu membuat penyelenggara negara tak lagi memiliki rasa malu melakukan semua hal diatas. Sebab, semuanya itu dalam pandangan mereka adalah legal dan bisa diatur.
Segera Terapkan Sistem Islam
Akan sangat berbeda jika yang dianut dan diterapkan di negeri ini adalah ideologi Islam. Sebab, ideologi Islam menyatakan bahwa pemimpin adalah penanggung jawab urusan dan kemaslahatan rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas hal itu di hadapan Allah SWT. Nabi saw bersabda:
اَلْإِمَامُ رَاعٍ فَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Seorang imam (pemimpin) pengatur dan pemelihara urusan rakyatnya; dia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Keuangan negara yang sejatinya uang rakyat itu adalah amanah yang dipercayakan kepada Pemerintah untuk dikelola demi sebesar-besarnya kemaslahatan rakyat. Karena itu, saat uang rakyat itu justru digunakan untuk kepentingan dan fasilitas birokrat, pejabat dan politisi, maka kebijakan tersebut merupakan pengkhianatan terhadap amanah itu. Padahal Allah SWT berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad); jangan pula kalian mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadalian, padahal kalian mengetahuinya (QS al-Anfal [8]: 27).
Tentu hanya orang yang berimanlah yang takut untuk mengkhianati amanah itu. Hanya birokrat, pejabat dan politisi yang berimanlah yang akan dengan amanah mengelola keuangan negara yang merupakan uang rakyat itu, demi sebesar-besarnya kemaslahatan rakyat. Sebab, mereka yakin akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah atas pengaturan urusan rakyat yang diamanahkan kepada mereka. Semua itu tidak akan terwujud kecuali di dalam negara yang menerapkan syariah Islam.
Syariah Islam memiliki serangkaian hukum dan aturan yang menjadi panduan bagi pemerintah dan rakyat tentang bagaimana keuangan negara itu dikelola. Jika pemerintah lalai dalam hal itu, rakyat secara individual maupun berkelompok, termasuk partai politik, memiliki kesempatan yang luas untuk mengoreksi pemerintah. Bahkan mereka bisa mengajukan penguasa itu ke hadapan Mahkamah Mazhalim. Jika terbukti mereka berkhianat, bisa saja mereka diberhentikan.
Jelas, semua kenyataan buruk di atas hanya akan bisa diakhiri jika syariah Islam diterapkan dalam sistem pemerintahan Islam. Itulah Khilafah Islamiyah yang menjadikan akidah Islam sebagai dasarnya dan syariah sebagai hukum untuk mengatur urusan masyarakatnya.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul jika Rasul menyeru kalian pada suatu yang memberikan kehidupan kepada kalian (QS al-Anfal [8]: 24).
WalLâh a’lam bi ash-shawâb.
KOMENTAR AL-ISLAM:
Sebanyak 17 dari 33 gubernur di Indonesia tersangkut perkara hingga harus dinonaktifkan. Hampir setiap minggu ada kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka (Kompas, 18/1/2011).
(1) Inilah fakta di negeri yang menjadi ‘jawara demokrasi’. Demokrasi/Pemilu yang berbiaya puluhan triliun rupiah ternyata hanya menghasilkan para pejabat ‘kriminal’, selain tidak menghasilkan kesejahteraan bagi rakyat. (2) Saatnya negeri ini hanya menerapkan sistem pemerintahan Islam (Khilafah), yang akan melahirkan para pejabat amanah sekaligus menjamin kesejahteraan bagi rakyat.
0 komentar :
Posting Komentar
Ikhwah fillah, mohon dalam memberikan komentar menyertakan nama dan alamat blog (jika ada). Jazakumullah khairan katsir