Oleh Muhammad Tohir
Ada fakta yang menarik dan sangat menggelikan dari statement para penentang syari’at islam dan Negara islam (khilafah). Mereka, terutama dari kalangan liberal-sekuler selalu menggunakan sejarah sebagai “dalil” untuk menolak ide Khilafah islam.
Meluruskan Persepsi
Ummat islam, siapapun ia, sangat tahu bahwa hanya ada dua sumber hukum yang sah di dalam islam, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW, serta instrument-instrument yang bersumber dari keduanaya, baik ijma’, qiyas, ataupun yang lain. Maka, diluar yang dua ini maka tidaklah diterima.. Ini yang harus dipahami terlebih dahulu oleh setiap kaum muslimin. Tak perlulah rasanya dituliskan dalil-dalil yang menunjukan akan hal itu, karena hal itu termasuk yang sudah dipahami oleh ummat, ma’lum minaddin bid darurah.
Jika sudah terbangun pemahaman yang demikian, selanjutnya yang wajib kita pahami adalah setiap apa yang diperintahkan oleh Allah dan rasul-Nya, apapun itu, sulit maupun mudah, maka wajib dilaksanakan. Begitu pula dengan larangan Allah dan Nabi Muhammad, semuanya wajib ditinggalkan. Artinya Haram untuk dilakukan, meskipun itu baik menurut kita.
“apa saja yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.” (QS. Al-Hasyr: 7)
“boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)
Apabila semua ini kita yakini, inilah iman yang benar. Inilah aqidah yang lurus. Dan salah satu yang perintah yang diberikan kepada kita (kaum muslimin) yaitu wajibkan berislam dengan kaffah, tidak setengah-setengah. Dan ke-kaffah-an islam tadi, yang termuat dalam syari’ah tidak akan terwujud keculi dalam sebuah bingkai Negara. Dalam islam, Negara tersebut disebut dengan Khilafah Islamiyah atau Imamah. Bukan kerajaan, republic, ataupun Negara perserikatan dan lainnya. Khilafahlah yang akan menjaga ke-rahmatan lil ‘alamin-an Islam. Atau dalam bahasa imam al-Ghazali, “agama dan kekuasaan (Negara, pen) adalah saudara kembar. Agama adalah asas dan kekuasaan adalah penjaganya. Maka sesuatu yang tidak ada asas akan hancur, dan sesuatu yang tidak dijaga pasti hilang.”
Bai’at Adalah Metode Mangangkat Seorang Khalifah
Dalam sejarahnya, system Islam telah diterapkan selama 13 abad lamanya. Berpuluh-puluh khalifah silih beranganti memimpin ummat. Dan harus diakui memang, dalam perjalannya, sistem khlafah pernah mengalami masa-masa yang “tidak diinginkan” dan banyak penyimpangan. Namun demikian, khilafah tetap pemerintahan yang kuat dan diakui oleh ummat dan dunia.
Dalam sekian banyak teks-teks sejarah, terutama buku-buku Sejarah Peradaban Islam kontemporer masalah yang sering diangkat dan porsinya lebih besar adalah suksesi kepemimpinan. Yakni penunjukan putra mahkota oleh Khalifah yang ada. Dan fakta inilah yang kemudian sering dipakai oleh mereka yang menentang ide khilafah sebagai argument. Mereka mengatakan, “tidak ada Khilafah dalam islam, karena setelah Ali bin Abi Thalib semuanya adalah kerajaan!”
Sebelum kita jawab, harus diketahui bahwa dalam islam ada dua hal yang harus dibedakan, yakni thariqoh (metode) dan Uslub (cara). Metode adalah sesuatu yang wajib dilakukan dan tidak boleh diganti dengan sesuatu yang lain. Sedangkan uslub adalah cara-cara yang dipakai untuk melaksanakan thariqoh dan bersifat alternative saja, boleh dipakai boleh juga tidak. Dalam hal ini, tidak ada satupun riwayat –kecuali rekayasa orang-orang yang dengki, baik dari kalangan kafirun maupun munafiqun— yang menunjukan pengangkatan khalifah dengan cara pewarisan tahta tanpa bai’at.
Bai’at secara bahasa berarti janji. Sedangkan menurut syara’, bai’at yang dimaksud adalah janji setia kepada khalifah untuk menjalankan pemerintahan (khilafah). Bai’at termasuk dalam perkara thariqoh dan tidak boleh diganti dengan yang lain. oleh karena itu, dalam sejarah pengangkatan Khulafaur Rasyidin banyak variasi uslub yang digunakan. Abu Bakar as-Siddiq ra diangkat dengan musyawarah. Sedangkan yang lain ada dengan rekomendasi maupun “pemilu”. Namun, semua tetap menjalani thariqoh pengangkatan: bai’at. Jadi, terlalu dangkal cara berpikir orang-orang liberal-sekuler yang menolak ide khilafah hanya karena sejarah yang ada.
Pada masa-masa tertentu bai’at diambil dari ummat secara langsung, pada masa yang lain melalui ahlul halli wal aqdi. Bahkan pernah diambil hanya dari satu orang saja, yakni Syaikhul Islam, yakni pada masa kemunduran ummat.
Sabda Rasulullah SAW, “barang siapa mati sedangkan tidak ada bai’at di pundaknya, maka mati jahiliyah.” (HR. Muslim), jika kita cermati yang diwajibkan adalah adanya bai’at, bukan membai’at. Dan tidak ada bai’at kecuali untuk mengangkat khalifah. Disinilah letak wajibnya meneegakan khilafah, karena khalifah (pemimpin) tidak mungkin ada jika institusi yang dipimpin tidak ada yakni Khilafah. Maka khilafah adalah wajib untuk ditegakan.
Mereka tetap menjalankan Syariat Islam
Kembali harus ditegaskan bahwa sejarah yang ada memang pernah tercoreng karena penyimpangan yang dilakukan oleh para penguasa pada zaman setelah khulafaur rasyidin. Ini adalah fakta. Suka ataupun tidak, begitulah adanya. Hanya saja, ada fakta lain yang seringkali dilupakan oleh kaum liberal-sekuler, setelah metode penganngkatn khalifah –bai’at—, yakni, dalam prakteknya sepanjang sejarah semua kekhilafahan yang ada tetap menjalankan syari’at islam sebagai Qonun Asasi, Undang-Undang Dasar-nya.
Penerapan syari’at islam inilah yang menjadi patokan untuk mengklasifikasikan sebuah Negara merupakan Negara Islam atau Negara Kafir. Jika ia menjalankan syari’at islam, maka ia adalah Negara Islam. Namun jika tidak, maka ia jelas Negara Kafir.
Khatimah: Fakta Harus Dirubah
Qaidah berpikir yang juga harus dibangun dalam diri ummat yaitu fakta adalah objek, bukan subjek. Jadi, fakta yang rusak harus dirombak agar sesuai dengan kondisi ideal, yang berstandarkan islam tentunya. Bukan malah larut terhadap fakta ataupun realita yang ada, seperti orang-orang pragmatis. Apalagi berusaha merubah islam agar sesuai dengan fakta yang ada seperti yang dilakukan para budak orientalis barat. Mereka membalik ajaran islam, dari subjek menjadi objek. Oleh karena itu, pada titik inilah sebuah gerak dakwah itu wajib adanya. Bukankah perintah Allah SWT kepada Rasul agar menyeru kepada jalan-Nya?!
“Maka karena itu serulah (mereka kepada agama ini) dan tetaplah (dalam agama Islam dan lanjutkan berdakwah) sebagai mana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka …” (QS. Asy-Syuura’: 15)
“serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah (dengan tegas dan benar) dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. “ (QS. An-Nahl: 125)
Mari bersama bergerak menuju kemuliaan. Bangkit bersama Islam. Tak sekedar slogan, namun terimplementasi dalam wujud nyata. Mari penuhi kewajiban kita untuk membai’at seorang khalifah. Serukan Syariah dan Khilafah. Allahu Akbar‼!
0 komentar :
Posting Komentar
Ikhwah fillah, mohon dalam memberikan komentar menyertakan nama dan alamat blog (jika ada). Jazakumullah khairan katsir