Pada hari selasa kemaren, tanggal 8 desember, kupergi menuju PascaSarjana IAIN,untuk browsing di warnet. Karena alasan listrik yang tidak sanggup menahan beban maka warnet belum dibuka. Hal itu karena pada waktu itu sedang berlangsung kuliah. Mendengar hal itu, sayapun memutuskan untuk melihat-lihat buku yang dijual didepan pintu masuk gedung Pasca Sarjana. Sayapun asyik membolak-balik buku-buku yang ada cukup lama, karena memang tak ada niat untuk membeli.
Dalam keasyikanku, penjual buku dan pengujung lain membicarakan tentang buku yang mereka anggap sebagai buku bagus dan bermutu. Salah satu yang dianggap sebagai buku yang bagus adalah buku “ILUSI NEGARA ISLAM”. Komentar pun meluncur dari penjual buku, bahwa buku itu adalah hasil penelitian yang ilmiah dan merupakan sebuah fakta.
Bukan bermaksud ashobiyah, karena saya tahu bahwa buku itu sangat jauh dari Ilmiah. Maka saya pun mencoba untuk menyampaikan hal itu kepada penjual buku, tentu saja dengan Hikmah. Entah kenapa, penjual buku itu tetap ngotot tak perduli, dia tetap pada pendiriannya bahwa buku itu sebuah fakta yang nyata, dan merupakan sebuah kebenaran. Terutama mengenai Hizbut Tahrir (HT). Mulai dari pengambilan mesjid, pengusiran terhadap orang-orang yang tidak sepaham dengan HT, sampai fitnah bahwa HT adalah aliran sesat, semua dibenarkannya!
Sebagai seorang muslim, dan sekaligus sebagai kader HT, saya terus menyampaikan semua bahwa semua itu tidak benar, itu hanya fitnah. Saya katakan bahwa HT mempunyai methode yang jelas dalam perjuangannya. HT hanya ingin mengembalikan kemuliaan Islam dan Ummat Islam, yang dalam dalam pandangan HT adalah dengan kembali kepada Islam itu sendiri. Yakni kembali kepada Islam yang kaffah, menerapkan syari’at Islam secara sempurna dalam suatu institusi Negara, Daulah Khilafah Islamiyah.
Dari sini kemudian kami terlibat debat, terutama tentang penerapan syari’at. Menurutnya HT dan gerakan-gerakan yang ingin menerapkan syariat islam adalah gerakan radikal. Gerakan-gerakan itu menurutnya memaksakan kehendak untuk menerapkan syari’at di Indonesia.
Tanpa henti saya terus sampaikan bahwa syari’at Islam itu adalah sebuah keawajiban. HT dan gerakan yang ingin menerapkan syari’at Islam tidaklah memaksakan kehendak, tapi islamlah yang “memaksa” (baca: mewajibkan) kita untuk menerapkan Syariat.
Yang paling membuatku terenyuh adalah ketika dia membantah pendapatku bahwa syari’at islam itu tidak wajib. Termasuk juga memakai jilbab, menurutnya bukan sebuah kewajiban. Pun dengan potong tangan, rajam, qishash dan hukum Islam dalam masalah public lainnya. Menurutnya ayat-ayat tentang syari’at tadi tidaklah qath’I, tapi bersifat ijtihadi.
Dalam mengemukakan pendapatnya, dia mengatakan bahwa, ”Quraish Shihab menganggap Jilbab sebagai khilafiah”, dia juga mengatakan “ulama NU tidak mewajibkan syari’at islam”.
Berulang kali saya mengucapkan istighfar sambil terus menjelaskan bahwa ulama-ulama salaf maupun khalaf tak ada perbedaan dalam kewajiban berjilbab bagi wanita dan syari’at-syari’at lainnya, kecuali ulama-ulama gadungan yang menjual agamanya.
“Jika anda berbohong, berarti anda telah memfitnah para ulama”. Begutu vonisku. Diapun telihat gugup. Selain itu juga saya katakana, “saya tidak peduli siapapun yang mengatakan Jilbab tidak wajib maka ulama itu adalah ulama yang bathil”.
Karena mungkin memang yang ada dalam otaknya adalah, “say no to syari’at” atau “say no to HT”, maka argument-argumen yang saya berikan tak membuatnya berubah pendirian.
Menurutnya HT dan gerakan-gerakan radikal memahami ayat al-Qur’an dengan tekstual. Tentu saja saya luruskan. Tidak ada ulama yang mamahami al-Qur’an itu secara tekstual. Semuanya menggunakan metode tafsir yang jelas. Asbabun Nuzul dan kaidah-kaidah tafsir yang lain menunjukan tidak ada penafsiran secara tekstual. Termasuk dalam memahami ayat potong tangan dan lain sebagainya yang sudah qath’i.
Anehnya si penjual buku itu menyarankan saya untuk memperdalam tafsir al-Qur’an dengan membuka buku yang berkenaan dengan KOSA KATA AL-QUR’AN. “Bukankah itu artinya anda memahami al-Qur’an secara tekstual?!!!”, bantahku.
Setelah cukup lama adu argument, akhirnya penjual buku mulai diam. Sayapun mengajaknya untuk tidak menerima informasi begitu saja tanpa ada tabayyun. “Mari kita perdalam ilmu agama kita dengan pemahaman yang benar!”.
Akupun kemudia mengucapkan salam dan meninggalkan penjual buku itu dengan hati panas. Bukan karena dia benci HT, bukan pula karena dalam debat itu dia sempat mengatakan, “kamu perlu banyak baca lagi” yang maksudnya mengatakan bahwa saya masih bodoh. Bukan.
Hati ini panas karena dia adalah seorang muslim, tapi kok benci benci syari’at. Hati ini panas karena disekitarku, dikampusku, telah tumbuh tanaman-tanaman liar yang mengancam aqidah ummat.
Saya hanya berdo’a semoga penjual buku dan orang-orang yang sejenis dengannya kembali kepada pemahaman yang benar. Dalam hati sayapun bertekad untuk menjadi Penjadi Penjaga Islam. Semoga Allah menolongku dan meridhoi harapanku. Amin!!!
Home » suara hati » Debatku dengan Penjual Buku
10 Desember 2009
Debatku dengan Penjual Buku
lainnya dari suara hati
Ditulis Oleh :
Muhammad Tohir
//
22.02
Kategori:
suara hati
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar :
Posting Komentar
Ikhwah fillah, mohon dalam memberikan komentar menyertakan nama dan alamat blog (jika ada). Jazakumullah khairan katsir