Saya sebagai salah satu orang yang tergabung dalam Partai Politik
Internasional Hizbut Tahrir aka HTI di Indonesia pernah diledek. Gak cuma saya,
teman-teman juga mungkin pernah. Bukan hanya syabab Hizbut Tahrir, siapapun
mungkin pernah diledek. Tapi diledek disini bukan karena fisik atau harta, tapi
karena dakwah. Misalnya saja, beberapa hari yang lalu, di facebook saya baca ada
komentar yang menyudutkan seorang pengemban dakwah. Si peledek menulis yang
kurang lebih, “Nahwu aja gak ngerti sok ngomongin Khilafah”,
di temapat lain “baru tahu islam”, di lain waktu, “ngaji aja belepotan”, dan
yang semisal dengan itu. Intinya, yang diledek adalah kita sebagai person, bukan
pada ide atau pemikiran yang kita emban. Pengalaman saya sendiri, saya
pernah diledek karena tidak bisa bahasa arab. Itu terjadi empat tahu yang lalu.
Juga terjadi di facebook. Kenapa marak di medsos? karena di medsos, orang gak
bertemu langsung, bahkan gak tahu wajah asli masing-masing, jadi rada berani.
Karena kalo tatap muka, mungkin akan sungkan karena bisa melihat bagaimana wajah
saat berubah ekspresi.
Pertanyaannya, apa yang harus kita lakukan kalau kita diledek atau
direndahkan seperti itu? Bagi saya pribadi, sekaligus saran bagi teman-teman
sekalian, berikut yang bisa dilakukan.
1. Pahami, bahwa yang meledek kita itu sudah kalah secara intelektual.
Kenapa? karena mereka tidak membantah ide kita, melainkan menyerang kita. Hal
semacam ini termasuk dalam “cacat logika” atau logical fallacy.
Menyerang person itu disebut argumentum ad hominem. So, kalau
teman-teman diledek karena “suatu kelemahan” yang ada pada diri, maka banggalah.
Apalagi dalam konteks dakwah. Serangan yang lakukan kepada kita menunjukan
mereka tidak bisa membantah argumen atau ide yang kita sampaikan.
2. Apa yang disampaikan oleh peledek itu, tidak lain karena ia malas atau
enggan berdiri di posisi kita. Logikanya, jika mereka yang meledek itu bagus
bacaan Qur’annya, atau hebat bahasa arabnya, lantas kenapa mereka gak
mendakwahkan apa yang kita sampaikan? Aneh kan?! Kanyataannya juga, tidak semua
yang bagus bahasa arab atau ngajinya mau dakwah. Bahkan banya juga yang malah
menghalangi dakwah.
3. Jika, ingat ya jika, apa yang mereka ucapkan kepada kita itu benar, maka
kita terima saja itu sebagai sebuah nasihat sekaligus renungan. Kita jadikan
ledekan itu sebagai motivasi untuk kita menjadi lebih baik. Kalo memang kita
tidak bisa bahasa arab, maka kita harus belajar bahasa arab. Begitu juga, jika
memang kita masih kesulitan membaca al Qur’an atau belum pas hukum dan sifat
hurufnya maka segeralah untuk belajar al Qur’an. Jangan malu. Malulah kalau kita
malas menuntut ilmu.
3. Belajarnya kita dalam ilmu nahwu, tajwid, fiqih dan lainnya tidak boleh
membuat kita berhenti dalam dakwah. Jangan sampai kita malah terlena dalam
menuntut ilmu dan melupan dakwah, khususnya dakwah ideologis. Tak perlu nunggu
hebat dan pintar untuk dakwah. Sampaikan saja apa yang kita tahu, berikan
argumen yang masuk akal. Karena hidayah itu bisa diterima oleh dan dari siapa
saja. Kisah Al Ustadz Mahmudi Syukri –hafidzahullah- sebagai contoh bahwa
perbedaan dari sisi keilmuan tak harus membuat kita berhenti dakwah. Beliau
adalah alumni Tarim – Hadramaut, Yaman. 5 tahun di sana. Nyanti bertahun-tahun
sebelum ke negeri habaib itu. Belajar bahasa arab, fiqih dan ushulnya. Bahkan
beliau menulis dalam bidang ini. Namun, sebagaimana penuturan beliau, beliau
malah menemukan pencerahan dari seorang mahasiswa yang belum selesai kuliahnya
dan hanya penjaga maktab. Ini menunjukan, jika yang disampaikan itu haq,
maka derajat keilmuan seharusnya tak membuat yang haq itu harus
ditolak dan yang membawanya boleh dihinakan.
Teman-teman, sebelum diakhir tulisan ini, saya ingin berwasiat khususnya
kepada diri saya pribadi. Belajarlah fiqih, nahwu, sharaf, tafsir, hadits,
tajwid, dan sebagainya sebagai pemenuhan kita terhadap perintah nabi untuk
menuntut ilmu. Manfaatkan semua sarana dan kesempatan. Jangan mencukupkan diri
dengan apa yang sudah ada. Giatlah belajar, dengan catatan tanpa harus
meninggalkan dakwah. Karena dakwah juga kewajiban. Allahu ta’ala a’lam.
[Muhammad Tohir]