1. Apa yang disebut khilafah?
Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum Muslim untuk menerapkan syariat Islam di dalam negeri dan mendakwahkannya ke luar negeri.
- Apa yang menjadi substansi dari gagasan khilafah tersebut?
Pertama, kehidupan yang di dalamnya diterapkan syariat Islam dalam seluruh sendi kehidupan, baik kehidupan pribadi, keluarga maupun kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang menyangkut aspek ibadah, makanan, minuman, pakaian, akhlak maupun muamalat serta ‘uqubah. Kedua adalah bersatunya kembali umat Islam yang kini bercerai berai dalam lebih dari 50 negara, di bawah naungan khilafah Islamiyah dengan seorang khalifah sebagai pemimpinnya.
- Apakah khilafah ada dalam al-Quran?
Tentu. Khilafah berasal dari kata al-khalfu (khalafa – yakhlufu) yang berarti belakang. Lalu berkembang menjadi: khalfun, khalifah, khilafah, khalaif, khulafa, dan ikhtilaf. Didalamnya tekandung makna pengganti, generasi, pemimpin dan pewaris bumi. Ada 127 ayat yang mengandung kata dan turunan khilafah. Misal, al Baqarah 11 kali, Ali Imran 7 kali, an Nisa 3 kali, dll.
Kha-la-fa juga berarti kepemimpinan. Misalnya, terdapat dalam makna (1) Generasi pengganti (Al-A’raf: 169, Maryam: 59); (2) Suksesi generasi dan kepemimpinan (al-An’am: 165, Yunus: 14 dan 73, Fathir:39); (3) Proses dan janji pemberian mandat kekuasaan dari Allah (an-Nur:55); (4) Pemegang mandat kekuasaan dan kewenangan dari Allah (al-Baqarah:30, Shad:26). Jadi, kata khilafah/khalifah dalam arti kepemimpinan jelas ada dalam al-Quran.
- Bagaimana makna khilafah menurut as-Sunnah?
Ada hadits-hadits yang secara keseluruhan diriwayatkan oleh 25 sahabat, 39 tabi’in, dan 62 tabi’it tabi’in. Dalam hadits disebutkan khilafah atau imamah, pemimpinnya disebut khalifah, imam, atau amirul mukminin. Semuanya mengandung arti yang sama, yakni kepemimpinan umum bagi kaum Muslim untuk menerapkan syariat Islam di dalam negeri dan mendakwahkannya ke luar negeri.
- Pendapat ulama tentang khilafah?
Seluruh ulama sepakat tentang wajibnya khilafah, termasuk para ulama dari kalangan ahlu sunnah wal jama’ah. Misalnya:
- Menurut Imam al-Juwaini, “Imamah (Khilafah) adalah kepemimpinan menyeluruh serta kepemimpinan yang berhubungan dengan urusan khusus dan umum dalam kaitannya dengan kemaslahatan-kemaslahatan agama dan dunia.” (Al-Juwaini, Ghiyâts al-Umam, hlm. 5)
- “Khilafah membawa semua urusan kepada apa yang dikehendaki oleh pandangan dan pendapat syar‘i tentang berbagai kemaslahatan akhirat dan dunia yang râjih bagi kaum Muslim. Sebab, seluruh keadaan dunia, penilaiannya harus merujuk kepada Asy-Syâri‘ (Allah SWT) agar dapat dipandang sebagai kemaslahatan akhirat. Jadi, Khilafah, pada hakikatnya adalah Khilafah dari Shâhib asy-Syar’i (Allah), yang digunakan untuk memelihara agama dan mengatur urusan dunia.” (Ibn Khaldun, Muqaddimah, hlm. 190).
- Abu Zahrah, “Jumhur ulama telah bersepakat bahwa wajib ada seorang imam (khalifah) yang menegakkan shalat Jumat, mengatur para jamaah, melaksanakan hudûd, mengumpulkan harta dari orang kaya untuk dibagikan kepada orang miskin, menjaga perbatasan, menyelesaikan perselisihan di antara manusia dengan hakim-hakim yang diangkatnya, menyatukan kalimat (pendapat) umat, menerapkan hukum-hukum syariah, mempersatukan golongan-golongan yang bercerai-berai, menyelesaikan berbagai problem, dan mewujudkan masyarakat yang utama. (Abu Zahrah, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah, hlm. 88)
- Dr. Dhiya’uddin ar-Rais, “Khilafah merupakan kedudukan agama terpenting dan selalu diperhatikan oleh kaum Muslim. Syariah Islam telah menetapkan bahwa mendirikan Khilafah adalah satu kewajiban mendasar di antara kewajiban-kewajiban agama. Bahkan dia adalah kewajiban terbesar (al-fardh al-a‘’zham). Sebab, padanyalah bertumpu/bergantung pelaksanaan seluruh kewajiban lainnya.” (Ar-Rais, Al-Islâm wa al-Khilâfah, hlm. 99)
- Imam Ibn Hazm, “Para ulama telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu dan adanya Imam merupakan satu keniscayaan; kecuali sekte an-Najadat (sekte Khawarij)—pendapat mereka sesungguhnya telah menyalahi ijmak” (Imam al-Hafizh Abu Muhammad Ali bin Hazm al-Andalusi azh-Zhahiri, Marâtib al-Ijmâ’ , 1/124). Pernyataan Ibn Hzam di atas juga dikuatkan oleh Imam asy-Syaukani (Imam al-Hafidz Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, Nayl al-Awthâr Syarh Muntaqa al-Akhbâr, XIII/290).
- Imam al-Hafidz Abu Yahya Zakaria al-Anshari juga menyatakan, “Mewujudkan Imamah (Khilafah) adalah fardhu kifayah, sebagaimana peradilan (Imam al-Hafidz Abu Yahya Zakaria al-Anshari, Fath al-Wahâb bi Syarhi Minhâj ath-Thullâb, II/ 268).
- Pendapat senada juga terdapat dalam beberapa kitab lain, di antaranya: Mughni al-Muhtâj ilâ Ma’rifah Alfâdz al-Minhâj (XVI/287); Tuhfah al-Muhtâj fî Syarh al-Minhâj (XXXIV/ 159); Nihâyah al-Muhtâj ilâ Syarh al-Minhâj (XXV/419); Hasyiyah Qalyubi wa ‘Umayrah, XV/102).
- Tapi, bukankah khilafah itu hanya 30 tahun saja, selebihnya kerajaan?
Memang ada hadits yang seakan-akan menunjukkan hal itu. Misalnya, hadits:
”Setelah aku, khilafah yang ada pada umatku hanya berumur 30 tahun, setelah itu adalah kerajaan.”[HR. Imam Ahmad, Tirmidziy, dan Abu Ya’la dengan isnad hasan]
Namun, sebenarnya yang 30 tahun itu bukan khalifah secara keseluruhan melainkan khilafah ’ala minhajin nubuwwah. Hal ini jelas bila dihubungkan dengan hadits:
Sesungguhnya awal dari agama ini adalah nubuwwah dan rahmat, setelah itu akan tiba masa khilafah dan rahmat, setelah itu akan datang masa raja-raja dan para diktator. Keduanya akan membuat kerusakan di tengah-tengah umat. Mereka telah menghalalkan sutr, khamer, dan kefasidan. Mereka selalu mendapatkan pertolongan dalam mengerjakan hal-hal tersebu; mereka juga mendapatkan rejeki selama-selamanya, sampai menghadap kepada Allah swt.”[HR. Abu Ya’la dan Al-Bazar dengan isnad hasan]
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fath al-Bariy berkata, “Yang dimaksud dengan khilafah pada hadits ini adalah khilafah al-Nubuwwah (khilafah yang berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip nubuwwah), sedangkan Mu’awiyyah dan khalifah-khalifah setelahnya menjalankan pemerintahan layaknya raja-raja. Akan tetapi mereka tetap dinamakan sebagai khalifah.” Pengertian semacam ini diperkuat oleh sebuah riwayat yang dituturkan oleh Imam Abu Dawud,”Khilafah Nubuwwah itu berumur 30 tahun”[HR. Abu Dawud dalam Sunan Abu Dawud no.4646, 4647]
Jadi, awalnya negara nubuwwah dan rahmah pimpinan Rasulullah, dilanjutkan selama 30 tahun oleh Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Itulah Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Berikutnya, para penguasa yang kadang mengalami penyimpangan tapi tetap masih menjalankan syariat Islam dan dipilih melalui baiat khalifah. Mereka tetap khalifah. Dan kelak akan ada lagi Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah.
- Mungkinkah menerapkan syariat Islam tanpa khilafah?
Kalau bersifat individual atau kelompok mungkin saja. Misalnya, shalat, shaum, dll bisa dilakukan tanpa perlu menunggu adanya khilafah. Tapi, bersatunya kaum Mukmin, pembelaan terhadap umat Islam yang dibantai, mengambil lagi harta kekayaan yang dirampas negara penjajah, menyediakan kebutuhan pokok, menjamin kesehatan dan pendidikan warga, dll. mutlak memerlukan khilafah. Sebab, kalau bukan khilafah yang menjadi benteng (seperti kata Nabi), lalu apa? Jadi, penerapan Islam kafah mengharuskan adanya khilafah.
- Apa kerugian bila tidak ada khilafah?
Banyak sekali, diantaranya umat Islam kehilangan:
a. Keridhaan Allah SWT. Keridhaan Allah SWT dapat dicapai dengan mengikuti seluruh hukum dan aturan-Nya dengan penuh ketaatan sebagaimana dipraktikan oleh nabi kita Muhammad saw. Dengan kata lain menegakkan Khilafah Islam yang merujuk pada syariat baik urusan di dalam maupun luar negeri pada setiap aspek kehidupan.
b. Hilangnya Imam atau Khalifah atau Amirul Mukminin, di mana bai’at kepadanya merupakan suatu yang amat vital bagi setiap muslim. Rasulullah saw bersabda, ” Barangsiapa yang mati sedangkan di pundaknya tidak ada bai’at maka matinya jahiliyah.” Saya ingin Anda membayangkan bagaimana berdosanya kaum muslim sejak runtuhnya Khilafah Ustmani tahun 1924 yang merupakan khilafah terakhir . Akhirnya secara spontan banyak yang hilang ketika kaum muslim kehilangan legitimasi kepemimpinan ini dan kehilangan lainnya menyusul seperti bola salju.
c. Hilangnya rasa aman dan jaminan keamanan yang menyebabkan ketakutan.
d. Hilangnya ilmu pengetahuan, pendidikan dan kepedulian yang lahir dari kepibadian Islam. Hal ini disebabkan oleh begitu dominannya kebodohan dan buta hurup yang diakibatkan oleh kemiskinan dan kepribadian yang goyah.
e. Hilangnya kekuatan dan Jihad yang disebabkan kelemahan dan kekalahan.
f. Hilangnya kekayaan yang disebabkan kemiskinan
g. Hilangnya pencerahan dan pedoman yang benar yang disebabkan kegelapan dan pedoman yang salah.
h. Hilangnya kehormatan dan martabat yang disebabkan penghinaan
i. Hilangnya kedaulatan dan ketergantungan dalam membuat keputusan politik akibat ketundukan kepada negara-negara penjajah kafir barat dan timur.
j. Hilangnya keadilan yang disebabkan penindasan dan ketidakadilan.
k. Hilangnya keimanan dan keikhlasan yang disebabkan pengkhianatan penempatan orang yang salah pada tempat yang salah.
l. Hilangnya sikap dan moral yang terpuji yang menyebabkan kejahatan dan sikap yang tercela.
m. Hilangnya negeri-negeri Islam dan tempat tinggal, tidak hanya Palestina tetapi juga Andalusia (sekarang yang disebut Portugal dan Spanyol), wilayah yang luas di Asia Tengah dan Timur Jauh, Kosovo, Bosnia, Kashmir dan yang lainnya, yang menyebabkan jutaan imigran, gelombang pengungsi dan pendeportasian.
n. Hilangnya tempat suci dan akibatnya adalah kaum muslim dilarang shalat di Masjid Al-Aqsa selama 50 tahun sampai saat ini. Kami juga menyesalkan untuk mengatakannya pada Anda bahwa dua masjid lainnya pun yaitu Masjid Al-Haram dan Masjid Al-Nabawi tidak di dalam kondisi yang diinginkan.
o. Hilangnya kesatuan dan integritas yang diakibatkan terpecahnya negeri kaum muslim menjadi 56 bagian yang tidak sah, dan AS tengah bekerja keras menciptakan bagian ke 57 di Palestina, ke 58 di gurun Afrika barat dan ke 59 di Timor Timur.
- Benarkah khilafah itu otoriter?
Tidak benar. Sebab, rakyat baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama wajib melakukan koreksi (muhasabah). Kalau menyimpang dari Islam, khalifah diluruskan. Bahkan, bila melakukan kekufuran yang nyata dapat diperangi.
- Bagaimana kebijakan khilafah tentang penyelesaian kemiskinan?
Khilafah menjamin kebutuhan pokok. Tolok ukur kesejahteraan rakyat sangatlah sederhana, misalnya berapa banyak orang yang tidak punya rumah, pengemis, pengangguran, sakit dan tak mampu berobat, dll. Jadi, sandang, pangan, dan papan dijamin. Tidak boleh ada yang kelaparan sehingga rakyat makan aking atau gaplek. Pendidikan dan kesehatan pun gratis.
- Bagaimana khilafah memperlakukan warga negaranya yang non Muslim?
Dalam kehidupan pribadi, implementasi syariat Islam terhadap warga dilakukan secara berbeda mengikuti agama yang dianut. Bagi seorang muslim tentu ia harus mengikuti syariat. Ia wajib melaksanakan ibadah, menjaga makanan dan minuman halal selalu, menutup aurat dan berakhlaq mulia. Sementara, bagi non-muslim dia tidak wajib mengikuti syariat Islam, tapi mengikuti ajaran agamanya masing-masing. Menyangkut masalah pakaian, makanan atau minuman dan ibadah, pendek kata semua yang berkenaan dengan keyakinan agama, mereka tidak wajib mengikuti syariat Islam karena dalam Islam memang tidak boleh ada paksaan dalam agama (la ikraha fiddin).
Dalam kehidupan publik, baik menyangkut aspek ekonomi, politik, sosial, pendidikan dan sebagainya warga muslim maupun non-muslim semuanya wajib mengikuti syariat Islam. Larangan bermuamalah secara ribawi atau larangan berzina, menjual makanan dan minuman haram, mencuri, melakukan tindak kriminal dan sebagainya, semua itu berlaku untuk muslim maupun non muslim. Termasuk misalnya bila dalam kehidupan Islam itu berhasil diwujudkan pendidikan bebas biaya, layanan kesehatan yang murah dan bermutu atau kegiatan bisnis yang kondusif serta kehidupan yang aman, damai dan sejahtera, dan infrastruktur transportasi, telekomunikasi, penerangan dan tata kota yang canggih semua itu juga akan dinikmati baik oleh muslim maupun non muslim tanpa kecuali. Di sinilah rahmat Islam bagi sekalian alam yang dijanjikan itu akan terwujud.
- Sejarah menunjukkan bahwa kekhilafahan penuh dengan kisah suram?
Harus diakui ada beberapa penyimpangan dari kekhilafahan. Hal ini sama dalam kekuasaan apapun. Tapi ini tidak dapat dijadikan alasan untuk menolak khilafah. Seperti halnya tidak boleh menolak Islam hanya karena ada perilaku orang Islam yang jahat.
Juga, banyak sisi lain khilafah yang justru gemilang. Paul Kennedy dalam The Rise and Fall of The Great Powers: Economic Change an Military Conflict from 1500 to 2000, menulis tentang ke-khilafah-an Utsmani dengan: Imperium Utsmani, lebih dari sekadar mesin militer. Dia telah menjadi penakluk elite yang mampu membentuk kesatuan iman, budaya, dan bahasa pada sebuah area lebih luas dari yang dimiliki Imperium Romawi dan untuk jumlah penduduk yang lebih besar. Lihat juga pendapat senada dari William Durant.
- Bagaimana khilafah mempersatukan umat yang sudah tersekat-sekat nasionalisme dan nation-state?
Dulu, berbagai kabilah di Jazirah Arab yang selama itu tidak pernah akur, dapat disatukan oleh Nabi dan para khalifah sesudahnya. Pertama, tanamkan kekuatan ruhiyah. Orang Arab tidak lebih baik dari non Arab, begitu juga sebaliknya. Jadi, siapapun siap bersatu dengan dipimpin oleh siapapun. Kalau selama ini suku-suku di Indonesia siap dipimpin oleh orang dari Jawa, semestinya siap juga dipimpin oleh bangsa apapun dan memimpin bangsa apapun.
Kedua, secara realitas, dunia makin menjadi dusun kecil. Istilah globalisasi telah menjadi kenyataan yang tidak dapat ditawar lagi. Dunia Islam pun dalam kenyataannya ’menyatu’ dalam sistem dunia. Mulai dari moneter, standar mata uang, hingga penanganan flu burung dilakukan secara global. Jadi, kenyataannya, dunia tengah menyatu. Karenanya, persoalannya bukan pada bersatunya, melainkan pada apakah kapitalisme global akan tetap dijadikan dasar kebersatuan dunia itu ataukah Islam dengan kekhalifahannya.
Ketiga, salah satu kewajiban kita adalah bersatu. Kaum Mukmin bersaudara laksana satu bangunan dan satu tubuh, dan haram berpecah belah. Bukankah Tuhan kita sama: Allah SWT, kitabnya sama: al-Quran, Rasulnya sama: Muhammad, kiblatnya sama: baitullah? Semua itu merupakan kekuatan ruhiyah yang akan menyatukan umat melewati batas-batas nasionalisme. Bila dengan alasan material Uni Eropa dapat bersatu, maka dengan alasan umat Islam adalah umat yang satu (ummah wahidah) semestinya umat Islam dapat bersatu melebihi mereka.
- Tapi bukankah setiap negara Islam memiliki national interest yang berbeda-beda?
Kalaulah setiap pemimpin negara muslim berpikir seperti para pemimpin negara-negara Eropa pada saat ini, persoalan itu mudah saja diatasi. Bukankah negara-negara Eropa itu juga mempunyai national interest masing-masing? Kenapa kemudian mereka bisa dengan mudah melebur dalam Uni Eropa? Sekarang mereka terus bergerak. Di bidang imigrasi, bahkan sudah diperbolehkan satu visa untuk 14 negara, mungkin sekarang sudah lebih. Mata uang sudah satu. Sebentar lagi mungkin pertahanan dan militer, kemudian parlemen. Nanti akan ada pemilu untuk Eropa, dan sebagainya. Jadi kenapa umat Islam tidak bisa begitu? Umat Islam lebih punya dasar teologis dan historis. Secara teologis, jelas sekali dalil yang mewajibkan kita mewujudkan dan menjaga persatuan umat. Secara historis, kita tinggal meneruskan apa yang sudah kita pernah alami di masa lalu, di masa kejayaan kekhilafahan Islam.
- Bagaimana menyatukan keragaman?
Keragaman tidak selalu harus disatukan. Beberapa ayat al-Quran dan as-Sunnah, termasuk praktek pada masa Rasulullah SAW dan sahabat, menunjukkan kehidupan di dalam kekhilafahan membiarkan keragaman. Keragaman budaya, adat, etnis dll dipandang sebagai alami agar manusia kenal mengenal (lihat al-Hujurat:13). Bahkan, tidak sedikit pernikahan antar etnis terjadi. Wali Songo yang kebanyakan dari Timur Tengah menikah dengan puteri Jawa. Agama-agama yang beraneka ragam diberi kebebasan hidup, karena tidak ada paksaan bagi nonMuslim untuk berpindah menganut Islam (lihat al-Baqarah:256). Beraneka mazhab pun berkembang. Dulu, ada puluhan mazhab, sekalipun yang banyak dikenal hingga kini hanya empat saja. Keragaman yang disatukan hanyalah keragaman yang apabila dibiarkan akan memporakporandakan tatanan masyarakat. Jadi, keragaman bukanlah merupakan kesulitan dalam penegakkan khilafah.
- Bagaimana mekanisme pemilihan Khalifah ditengah perbedaan etnik, mazhab dan kepentingan politik?
Dari sisi pemahaman harus sama bahwa siapapun yang memenuhi syarat boleh menjadi khalifah, tanpa membedakan etnis dan mazhab. Syarat keturunan Quraisy bukanlah syarat utama, melainkan syarat keutamaan (afdhaliyah). Adanya kekhilafahan Umayyah, Abbasiyah, dan Utsmaniyah menunjukkan hal ini. Realitas pun menunjukkan, Cina dapat mengurus rakyat yang jumlahnya 1,5 milyar dengan berbagai keragamannya, maka sejatinya Umat Islam pasti lebih bisa mengurus kaum Muslim dunia sebesar itu juga.
Pada sisi lain, mekanisme pemilihan Khilafah melalui pemilihan, baik langsung ataupun lewat perwakilan Majelis Umat/MU (ahlul halli wal ’aqdi). Dengan merujuk jejak para khulafaur rasyidin dapat dilaksanakan mekanisme berikut. Di daerah dilakukan pemilihan para anggota Majelis Wilayah/MW (’wakil umat di daerah’) langsung oleh rakyat daerah masing-masing. Yang dipilih bukanlah gambar partai atau organisasi melainkan langsung orangnya. MW benar-benar menjadi representasi daerahnya. Lalu, para anggota MW memilih sejumlah orang diantara mereka untuk menjadi Majelis Umat/MU. Jadi, MU pun merupakan representasi umat secara keseluruhan. Persoalan etnik dan mazhab tidak akan menjadi masalah karena dapat diselesaikan dengan mekanisme tersebut.
Sementara itu, kepentingan politik ditampung dengan dibiarkan adanya partai-partai politik dan organisasi. Tidak perlu ijin, cukup pemberitahuan kepada pemerintah. Syaratnya, dasarnya adalah Islam dan untuk kepentingan Islam. Partai/organisasi ini dapat menyiapkan kader-kadernya untuk menjadi MW, MU atau khalifah, yang beradu kualitas dalam pemilihan.
- Bagaimana cara menuju tegaknya Khilafah?
Inti dari persoalan ini adalah kesadaran masyarakat. Masyarakat yang sadar akan kewajiban penerapan syariah dan menyatu dalam khilafah akan berupaya mewujudkannya. Bila masyarakat ini didukung oleh ahlu quwwah (militer, dll), lalu memberikan kekuasaannya kepada pemimpin Islam untuk menjadi khalifah maka tidak ada siapapun yang dapat menghalanginya. Sebab, kekuasaan ada di tangan rakyat. Hanya saja, memang negeri-negeri Muslim harus melepaskan diri dari kungkungan dan penjajahan negara-negara besar. Untuk itu, perlu ada upaya di tiap negeri Muslim untuk menggerakkan umat bersatu dalam khilafah. Perlu gerakan ’transnasional’.
Pada awalnya khilafah Islamiyah tetaplah merupakan sebuah unit negara. Proses berikutnya, dia akan mengembangkan wilayah dan pengaruhnya itu ke negara-negara lain yang penduduknya mendukung gagasan penyatuan negara mereka ke dalam khilafah. Misalnya khilafah berdiri tegak di Mesir, maka khalifah akan berusaha menyatukan wilayah khilafah di sekitarnya, entah itu Libya, Sudan, Aljazair, Maroko atau bahkan wilayah yang lebih jauh seperti Palestina, Syiria, Yordania, Irak, Iran dan lain-lain.
- Kita ini lemah, padahal ada negara besar penghadang?
Alasan ini memang bukan isapan jempol. George W Bush menegaskan akan menyerang siapapun yang menginginkan pendirian kembali Kekhilafahan Islam di Timur Tengah, sebagai bagian dari “perang melawan teror”. Realitas ini bukanlah perkara baru. Rasulullah SAW sejak awal dikepung dan diusir, setelah berhasil menegakkan daulah nubuwah wa rahmah pimpinan Nabi, mereka siap diserbu oleh kaum kafir Quraisy serta menghadapi tantangan dari dua negara besar kala itu, Persia dan Romawi. Tapi, hal ini justru menjadi pintu kemenangan yang lebih besar. ”(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung“, begitu firman Allah dalam surat Ali ’Imran ayat 173. Jadi, secara i’tiqodi dan historis ancaman tersebut merupakan sunnatullah. Tapi, kemenangan Islam dan umatnya pun merupakan janji dari Allah Pencipta alam semesta. Lalu, sebenarnya kita kuat. Masalahnya, karena kita tidak bersatu maka banyak diantara kaum Muslim yang merasa lemah. Bayangkan, Indonesia saja membentang dari Inggris hingga Turki dan dari Polandia/Jerman hingga Yugosavia, atau membentang dari Maroko sampai dengan Yaman, dan dari Chad sampai Tunisia.
- Ada yang menilai konteks kekhilafahan ini tidak cocok bagi Indonesia?
Boleh saja siapapun memberikan pendapat itu. Tapi, justru kita harus mempertanyakan ketidakcocokan itu di mana. Inti dari khilafah itu adalah syariah dan yang kedua persatuan (ukhuwah). Syariah itu kita perjuangkan dengan keinginan mendalam untuk menggantikan sekularisme yang telah memimpin Indonesia selama 60-an tetapi tidak memberikan apa-apa kecuali berbagai persoalan. Sementara persatuan bukan hanya kewajiban melainkan tuntutan fitrah manusia.
- Bagaimana dengan Pancasila?
Harus diakui, Pancasila hanya merupakan sekumpulan prinsip-prinsip dasar yang sangat umum sehingga dapat ditarik kesana kemari, tergantung penguasanya. Lihatlah perjalanan negeri kita dari Orde Lama hingga Orde Reformasi. Dalam realitasnya untuk menyelesaikan kemiskinan, kebodohan, kezhaliman, ketidakadilan, penjajahan, dll Pancasila tidaklah memadai. Tidak operasional. Karenanya, perlu ada yang operasional. Itulah syariat dengan sistem khilafahnya. Jadi, gagasan syariat dan khilafah merupakan solusi yang dapat membebaskan Indonesia dan umat secara keseluruhan dari krisis multidimensi. Sosialis-Komunis terbukti gagal, Kapitalisme justru menghasilkan tatanan penuh krisis seperti sekarang. Kalau bukan syariat dan khilafah yang diperintahkan oleh al-Quran dan as-Sunnah, lalu apa?
- Ada sejumlah kalangan berpendapat, ide khilafah ini akan mengancam NKRI?
Mengancam dari sisi mana? Khilafah dan syariah itu akan menggantikan sekularisme. Di mana sekularisme sudah membuat celaka negeri kita, justru yang mengancam itu sekularisme dan kapitalisme global. Fakta sudah nyata. Ukhuwah justru akan mensolidkan negara dari ancaman separatisme yang mengancam. Bentuk separatisme, seperti RMS dan Papua Merdeka itu yang mengancam, bukannya khilafah. Khilafah malah akan menyelamakan NKRI dari kehancuran.
- Tapi, ’kan ide khilafah meniscayakan adanya perubahan sistem?
Semua orang tahu bahwa sistem di Indonesia sudah berubah-ubah. Lihatlah, sistem parlementer, presidential, demokrasi terpimpin, dll semuanya pernah dicoba. Undang-undang Dasar sudah berkali-kali diamandemen. Sistem pemilu juga berubah. Nah, kenapa takut dengan perubahan sistem? Kalau ternyata sistem yang selama ini justru memurukkan rakyat, semestinya kita berusaha mencari sistem yang baik untuk semua. Itulah syariat dan khilafah. Kalau konsisten kepada konsep ‘Kekuasaan ada di tangan rakyat’ kita serahkan saja kepada rakyat. Bila rakyat menghendaki diterapkan syariat Islam dan Khilafah maka tidak ada siapapun yang dapat mencegahnya.
- Adakah kaitan khilafah dengan demokrasi?
Inti dari demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Inti gagasan ini bertentangan dengan Islam. Sebab, jelas sekali Islam mengajarkan kedaulatan itu di tangan Allah, di tangan syariat. Kehendak yang paling tinggi itu di tangan syariat. Ke sanalah rakyat dan seluruh elemen negara itu wajib tunduk. Dalam Al-Qur’an tertulis: innama kaana kaula al-mu’minina idza du’u iIallahi wa rasulihi liyahkuma baynahum ayyakulu sami’na wa atho’na“ (Kami mendengar dan kami mentaati)”. Itu menunjukkan bahwa syariat itu menempati posisi yang paling tinggi. Begitu syariat Islam menyatakan sesuatu, menyuruh sesuatu atau melarang sesuatu, mereka tunduk, sami’na wa atho’na. Itu jelas sekali.
Ditegaskan dalam ayat lain, wa ma kaana li mu’minin wa la mu’minatin idza qadha alllahu wa rasulahu amran ayyakuna lahumul khiyarat min amrihim. Jadi kalau Allah dan Rasul-Nya sudah menetapkan keputusan hukum, maka tidak pantas bagi seorang mukmin laki-laki dan perempuan untuk mencari keputusan hukum selain yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul itu. Itu menunjukkan bahwa yang memiliki kehendak paling tinggi adalah Allah dan Rasul-Nya. Atau dalam bahasa yang lebih simpel, syariat. Karenanya, syariat itu semestinya bukan option (pilihan), tapi obligation (kewajiban). Dalam sistem demokrasi di negeri-negeri muslim termasuk Indonesia, syariat itu masih sekadar option, bukan obligation. Di situlah kita wajib menolak, karena syariat itu merupakan kewajiban, bukan pilihan, yang semestinya diterapkan sebagai satu-satunya sistem hukum yang mengatur tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Jadi, khilafah tidak terkait dengan demokrasi.
- Mungkinkah khilafah melalui proses demokrasi?
Tergantung. Kalau yang dimaksud adalah harus mempertahankan kedaulatan di tangan rakyat sehingga halal-haram, baik-buruk, benar-salah, dan terpuji-tercela ditetapkan oleh wakil rakyat maka tidak mungkin khilafah dapat tegak dalam sistem demikian. Tapi, bila yang dipegang adalah kekuasaan ada di tangan rakyat baik langsung ataupun tidak langsung maka sangat mungkin. Asal rakyat mau dan didukung oleh pemilik kekuatan (ahlu quwwah), maka sangat mungkin terjadi.
- Kalau begitu, bagaimana jalan menuju Khilafah?
Melalui jalan dakwah yang ditempuh dengan mengikuti thariqah dakwah Rasulullah, yaitu:
- Dimulai dengan pembentukan kader yang bersyakhshiyyah Islamiyyah, melalui pembinaan intensif (halqah murakkazah) dengan materi dan metode tertentu
- Pembinaan umat (tatsqif jamaiy) untuk terbentuknya pendapat masyarakat (al-wa’yu al-amy) tentang Islam
- Pembentukan kekuatan politik melalui pembesaran tubuh jamaah (tanmiyatu jizmi al-hizb) agar kegiatan pengkaderan dan pembinaan umum dapat dilakukan dengan lebih intensif, hingga terbentuk kekuatan politik (al-quwwatu al-siyasiya)
- Penegakan syariah dan khilafah memerlukan kekuatan politik. Kekuatan politik adalah kekuatan umat yang memilliki kesadaran politik Islam (al-wa’yu al-siyasiy al-islamy)), yakni kesadaran bahwa kehidupan bermasyarakat dan bernegara harus diatur dengan syariah Islam. Maka harus ada upaya penyadaran politik islamy masyarakat terus menerus, yang dilakukan oleh kader. Makin banyak kader, makin cepat kesadaran terbentuk sehingga kekuatan politik juga makin cepat terwujud
- Massa umat yang memiliki kesadaran politik menuntut perubahan ke arah Islam
- Di dukung oleh ahl-quwwah (polisi, militer, politisi, orang kaya, tokoh masyarakat dan sebagainya) yang melalui pendekatan intensif, setuju mendukung perjuangan syariat dan khilafah. Kekuatan politik yang didukung oleh berbagai pihak semacam ini tidak akan terbendung.
- Rakyat menuntut tegaknya sistem (syariah) dan kekuasaan khilafah atau penyatuan ke dalam khilafah Islam.
0 komentar :
Posting Komentar
Ikhwah fillah, mohon dalam memberikan komentar menyertakan nama dan alamat blog (jika ada). Jazakumullah khairan katsir