21 Agustus 2008

Agar Kemerdekaan Tidak Semu


Setelah 63 tahun, tepatnya 17 Agustus 1945, atas nama bangsa Indonesia, Soekarno Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia, yang menandai berakhirnya penjajahan asing secara fisik di bumi pertiwi ini, sudah seharusnya kita kembali berkaca, mengukur prestasi yang telah dicapai oleh sebuah bangsa yang bernama Indonesia, mencatat kelemahan yang ada agar tak terulang kembali, mengidentifikasi masalah yang harus sesegera mungkin diselasaikan.
Marilah berkaca ke negeri lain dalam hal yang positif, seperti kemajuan teknologi, pendidikan, ekonomi, dan yang terpenting sikap mental positif serta keluhuran akhlak dan budi pekerti. Ambilah contoh Jepang, negara yang pernah menjajah kita selama 3,5 tahun itu, kembali ke negerinya dan menyerah kepada sekutu karena dua kota besarnya, Hiroshima dan Nagasaki, hancur di bom atom pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945. Pada saat yang sama, kita sedang memasuki babak baru mematangkan kemerdekaan yang sudah dipersiapkan dari tanggal 28 Mei 1945, dengan dibentuknya BPUPKI, sampai proklamasi 17 Agustus 1945. Boleh dikatakan bahwa saat itu bangsa kita dan Jepang sama-sama mulai membangun dari nol. Akan tetapi, dalam waktu yang sama mengap kita terpaut begitu jauh dengan Jepang dari segi kemajuan teknologi, pendidikan, dan ekonomi?
Kita boleh bangga karena telah mampu membangun industri pesawat terbang, sebuah barang yang masih tergolong mewah. Kita boleh bangga ketika tiga siswa muda Indonesia berhasil meraih medali emas di olimpiade fisika. Kita pun boleh bangga ketika piala thomas dan uber dapat diboyong berkali-kali ke negeri ini, walaupun dengan berbagai catatan. Akan tetapi, dari kesemuanya itu ternyata penghargaan serta perhatian masarakat terhadap hal-hal yang bersifat mendasar dan mendatangkan manfaat masih bisa dihitung dengan jari bila dibandingkan dengan berbagai macam prestasi buruk yang disandang bangsa ini, sebutlah korupsi yang menempati posisi tertinggi, angka pengangguran yang terus bertambah, kemiskinan yang terus membengkak. Belum lagi, merebaknya dekadensi moral yang ditandai dengan tingginya angka kriminalitas, perjudian, perkosaan, prilaku sex bebas, dan seabreg daftar yang membuat hati kita miris.
Bila kita mengamati, kesemuanya itu adalah akibat timpangnya pembangunan yang selama ini diprioritaskan oleh para pemegang kebijakan di negeri yang kaya raya ini. Kita hanya melihat lahiriah bangsa lain, dan ingin berlari mengejarnya, tanpa melihat jerih payah mereka sebelum sampai ke tingkat yang sekarang ini mereka nikmati. Kita terlalu silau dengan kemajuan barat yang dianggap keluar sebagai kampiun dalam segala bidang, sehingga apa yang datang dari mereka (budaya permissif) harus diikuti dan menjadi tren masa kini. Sayangnya bukan hal positif seperti perkembangan ilmu pengetahuan yang kemudian dicontoh, tetapi sebatas simbol-simbol semu kemajuan, perilaku menyimpang dari aturan agama, dan tradisi mulia masarakat. Muhammad Qutb, salah seorang pemikir muslim dari Mesir, mengingatkan bahwa hal paling berbahaya akibat penjajahan adalah mental rendah diri sebagai bangsa yang terjajah dan tradisi membebek pada bangsa yang dahulu menjajahnya atau dianggap lebih hebat dan termasuk super power.
Inilah potret bangsa kita yang selama 63 tahun kemerdekaannya rakyatnya belum mampu mencicipi melimpahnya kekayaan negeri yang mereka diami. Mengapa? Karena pendidikan masih mahal (apalagi gratis), harga terus melambung, sementara di sisi lain pameran mobil sampai harga milyaran rupiah selalu diserbu pembeli, dan laris bak kacang goreng. Kemerdekaan ini ternyata baru dinikmati segelintir orang saja di negeri ini, sementara itu rakyat kecil, bagian terbesar bangsa ini, belum merasakan nikmatnya kemerdekaan. Apalah artinya merdeka jika keadaanya tidak berbeda dengan zaman penjajahan dulu, hidup susah! Ketika Jepang hancur karena dibom, hal pertama kali yang dilakukan kaisar Jepang adalah mengumpulkan guru-guru yang tersisa, dan mulailah mereka membangun negaranya lewat pendidikan. Falsafah hidup harakiri yang dimiliki bangsa Jepang, lebih baik mati daripada hidup menanggung malu, karena tidak mampu melaksanakan tugas, adalah kelebihan tersendiri yang mereka miliki. Itulah yang membedakan kita dengan mereka.
Hal pertama yang kita lakukan ketika hendak membangun negeri ini bukan membenahi dan memperioritaskan pendidikan, tetapi mencari pinjaman pada "drakula IMF" kemudian mendahulukan pembangunan fisik yang ternyata terbukti rapuh, karena dia tidak memiliki pijakan kuat berupa ilmu dan akhlak. Apalagi, ditambah mental bangsa kita yang sedikit demi sedikit terus menurun ke titik nadir, baik karena memang serbuan budaya asing yang destruktif, akibat sikap inferior yang dimiliki sebagai bangsa yang belum bisa melepaskan diri dari mental terjajah atau karena memang kita--terutama para pemimpin--tidak mempunyai budaya malu, padahal jelas, rasa malu itulah kunci dari kesuksesan hidup karena ia merupakan bagian dari iman. Seperti kata Rasulullah "Malu itu sebagian dari iman." (HR Bukhari).
Kita bersukur ketika pemerintah akhirnya menaikan anggaran negara untuk pendidikan sebesar 20%, tetapi di sisi lain kita memiliki satu kekhawatiran, apakah anggaran yang 20% itu akan sampai ke masarakat yang memang betul membutuhkan ataukah akan bernasib seperti anggaran-anggaran terdahulu yang hanya menjadi bancakan para pemegang amanah yang kebanyakan sudah "kehilangan" rasa malu. Jadi, problem terbesar yang pertama kali harus diatasai adalah menghilangkan sifat inferior, sehingga kita dapat bersikap tegas terhadap IMF yang selama ini menjadi alat penjajahan gaya baru negara-negara maju. Dan, yang kedua adalah menanamkan budaya malu, sebab bila rasa malu sudah hilang, orang bisa melakukan apa saja sesuai dengan hawa nafsunya. Rasulullah bersabda "Jika engkau sudah tidak memiliki rasa malu, maka berbuatlah sesukamu." (HR Bukhari)

Print Friendly and PDF

Ditulis Oleh : Muhammad Tohir // 23.54
Kategori:

0 komentar :

Posting Komentar

Ikhwah fillah, mohon dalam memberikan komentar menyertakan nama dan alamat blog (jika ada). Jazakumullah khairan katsir

 
Semua materi di Blog Catatan Seorang Hamba sangat dianjurkan untuk dicopy, dan disebarkan demi kemaslahatan ummat. Dan sangat disarankan untuk mencantumkan link ke Blog Catatan Seorang Hamba ini sebagai sumber. Untuk pembaca yang ingin melakukan kontak bisa menghubungi di HP: 082256352680.
Jazakumullah khairan katsir.